Tommy Sugiarto Sumbang Gelar Pertama Bagi Indonesia di 2018
Tommy Sugiarto/@antoagustian |
Tommy Sugiarto membuka perolehan gelar bagi Indonesia di
tahun 2018. Pebulutangkis 29 tahun itu meraih gelar tunggal putra di turnamen Thailand
Masters yang baru saja berakhir di Nimibutr Stadium, Bangkok, Minggu (14/1/2018).
Hasil ini sekaligus mengulangi pencapaian tahun lalu. Saat itu putra mantan
pemain bulu tangkis Indonesia era 1980-an, Icuk Sugiarto menang dua game
langsung atas wakil tuan rumah Kantaphon Wangcharoen, 21-17, 21-11.
Tahun ini pria yang berulang tahun saban 31 Mei itu
ditantang pemain muda Malaysia, Leong Jun Hao. Tommy menunjukkan kelasnya.
Akurasi dan bobot pukulan peraih medali perunggu Kejuaraan Dunia 2014 itu belum
mampu ditandingi pemain 18 tahun itu. Tommy ditempatkan sebagai unggulan kedua
butuh 43 menit untuk meraih kemenangan straight set 21-16 dan 21-15.
Tommy membuktikan bahwa sepak terjangnya di dunia bulu
tangkis belum berakhir. Tak lagi bermarkas di pelatnas, tidak menjadi alasan
bagi peraih emas SEA Games 2011 itu untuk menyerah. Justru sebaliknya, Tommy membuktikan
bahwa dirinya masih bisa menjadi yang terbaik, termasuk atas para pemain muda
Indonesia. Indonesia masih bisa berharap pada tunggal berperingkat 25 dunia itu
di kala para penerus belum juga meraih prestasi yang diharapkan.
Podium tertinggi yang dijejaki Tommy gagal disusul dua wakil
Indonesia lainnya. Pasangan ganda putri
dan putra, Anggia Shitta Awanda dan Ni Ketut Mahadewi Istarani serta Wahyu
Nayaka Arya Pangkaryanira dan Ade Yusuf Santoso belum bisa mencapai klimaks.
Kedua pasangan ini menyerah dari pasangan tuan rumah.
Anggia/Ketut yang dijagokan di tempat kedua harus
menyerahkan gelar juara kepada unggulan pertama, Jongkolphan Kititharakul dan
Rawinda Prajongjai. Pertemuan kedua pasangan ini memenuhi ekpektasi untuk
sebuah final ideal. Jongkophan dan
Rawinda lebih dijagokan seturut peringkat BWF. Keduanya adalah pasangan ganda
putri terbaik Thailand saat ini yang berada di lingkaran 10 besar dunia, atau
satu strip di depan pasangan terbaik Indonesia saat ini, Greysia Polii dan
Apriyani Rahayu.
Anggia dan Ketut bukan pemain dan pasangan yang berusia
seumur jagung. Pasangan yang berusia sepantaran, 23 tahun itu, terbilang senior
di sektor putri. Keduanya sudah lama berpasangan hingga menjejak rangking 20
dunia saat ini. Mereka sempat menjadi
andalan untuk melapis Greysia Polii dan Nitya Krishinda Maheswari. Namun
pencapaian mereka belum sesuai ekspektasi. Termasuk saat mengulangi pertemuan
dengan Kititharakul dan Prajongjai hari ini.
Bila di pertemuan pertama di babak pertama Malaysia Super
Series Premier 2016 lalu keduanya mampu memetik kemenangan dua game langsung,
21-12 dan 21-14, tidak demikian kali ini. Anggi dan Ketut berbalik menyerah
straight set 21-19 dan 21-17 setelah bertarung selama 53 menit.
Kekalahan hari ini tidak lepas dari penampilan Anggi yang
kurang memuaskan. Wanita kelahiran Bekasi itu kerap melakukan kesalahan yang
tidak perlu. Eror demi eror yang dilakukan, di antaranya kok yang tak
menyebrang sempurna dan pukulan yang keluar dari bidang permainan, tidak
dibarengi dengan semangat untuk balik mengejar dan memperbaiki diri. Anggi dan
Ketut belum berhasil mengatasi tekanan dan kesalahan yang sendiri yang kerap
dilakukan.
Kita boleh saja bersyukur keduanya telah mencapai partai
puncak. Namun runner-up di turnamen yang semula bernama Thailand Grand Prix
Gold ini tidak menjadi alasan untuk terus memberi mereka kesempatan. Eng Hian
dan tim pelatih perlu memikirkan alternatif untuk mendapatkan kombinasi baru.
Bila mau jujur pasangan ini bisa tetap berada di top 20 bukan karena prestasi
tetapi karena lama dipasangkan. Perlu rotasi untuk memberi tempat kepada pemain
muda untuk membuktikan kualitas dan mengasah kemampuan. Perlu keberanian
membuka jalan kepada pemain muda seperti Apriyani Rahayu yang kiprahnya cukup
mencengangkan tahun lalu dan kini mulai berkibar di jajaran ganda putri elite
dunia.
Mengikuti Anggi dan Ketut, Wahyu dan Ade pun bernasib
serupa. Ditempatkan sebagai unggulan tujuh, Wahyu dan Ade gagal menjegal
pasangan non unggulan tuan rumah, Tinn
Isriyanet/Kittisak Namdash. Mendapat dukungan penuh publik tuan rumah membuat
Tinn dan Kittisak tampil percaya diri. Keduanya mampu menyulitkan pasangan
berperingkat 38 dunia itu di game pertama. Wahyu dan Ade mampu mengatasi
tekanan wakil tuan rumah dan memaksa rubber set. Sayang di set penentu Wahyu
dan Ade gagal menjaga konsistensi sehingga harus memberikan gelar ganda putra
kepada tuan rumah.
Performa Tinn dan
Kittisak memang patut diwaspadai. Keduanya menyisihkan pasangan kawakan
Malaysia yang menempati unggulan kelima, Chang Peng Soon dan Liu Ying Goh di
semi final. Sementara Wahyu dan Ade memenangkan “perang saudara” menghadapi ungulan
pertama Berry Angriawan dan Hardianto Hardianto. Tak heran laga pamungkas ini
berjalan sengit hingga mencapai satu jam lamanya. Sempat deuce di set ketiga sebelum wakil tuan rumah mengunci kemenangan
dengan skor akhir 21-18 11-21 22-20.
Tuan rumah perkasa
Dua gelar
masing-masing dari ganda putra dan ganda putri melengkapi gelar pertama yang
diraih tuan rumah dari nomor tunggal putri. Final sesama pemain Thailand yang
membuka partai final dimenangkan oleh Nitchaon Jindapol yang mengalahkan
juniornya, Pornpawee Chochuwong, 21-11, 21-18.
Kemenangan unggulan pertama itu melanjutkan tradisi juara
dan dominasi tunggal putri Thailand. Tahun sebelumnya Busanan
Ongbumrungpan menduduki podium tertinggi, menggantikan tunggal putri
terbaik Negeri Gajah Putih, Ratchanok Intanon di tahun sebelumnya. Sejak
pertama kali bergulir pada 2016, Thailand belum pernah kehilangan gelar tunggal
putri.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan Thailand di sektor ini
masih menyulitkan negara-negara lain terutama di kawasan Asia Tenggara. Para
pemain putri Indonesia belum mampu menjegal dominasi tuan rumah yang kali ini
tanpa diperkuat Intanon. Harus diakui, bila tanpa China, India, Korea Selatan
dan Jepang, hampir pasti nomor tersebut dikuasai Thailand seperti terlihat pada
kejuaraan yang tahun ini berada di level BWF World Tour Super 300.
Tuan rumah hampir saja memborong empat gelar andaisaja
Dechapol Puavaranukroh dan Puttita Supajirakul mampu memenangkan nomor ganda
campuran. Unggulan tujuh ini harus mengakui ketangguhan unggulan kelima asal
Malaysia, Chang Peng Soon dan Liu Ying Goh. Pertandingan ini berlangsung seru
dan menjadi yang terlama di antara partai-partai lainnya. Pasangan yang baru
bersatu lagi ini sanggup membuktikan kelasnya sebagai peraih medali perak
Olimpiade Rio 2016 dengan memenangkan laga bertempo 1 jam dan 7 menit itu
dengan skor 21-15 14-21 dan 21-16.
Thailand memberi isyarat sebagai kekuatan baru bulu tangkis
dunia. Sementara Indonesia yang dalam beberapa nomor telah disalip negara
tetangga itu perlu semakin “rasa diri”. Satu gelar dari turnamen pembuka tahun
baru, tidak dirasa cukup untuk meneruskan tradisi tak pernah pulang dengan
tangan kosong sejak edisi pertama melalui ganda putra Mohammad Ahsan dan Hendra
Setiawan. Melainkan lecutan untuk terus berbenah dan bekerja lebih keras agar
tak makin tertinggal.
Hasil final #ThailandMasters/www.tournamentsoftware.com |
Comments
Post a Comment