Enam Gelar “The Minions” dan Harapan Baru Ganda Putri Indonesia
Marcus dan Kevin raih gelar Hong Kong Open 2017/Badmintonindonesia.org |
“Quite frankly, they are doing a
demonstration at the moment. A masterclass.”
Pernyataan tersebut meluncur dari mulut Gillian Clarck
ketika memandu pertandingan final ganda putra Hong Kong Super Series 2017,
Minggu (26/11/2017). Komentator resmi BWF bernama lengkap Gillian Margaret
Clark melayangkan pernyataan itu kepada Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin
Sanjaya Sukamuljo. Ganda putra nomor satu dunia itu mampu mempertahankan tren
positif sepanjang turnamen yang dihelat di di Hong Kong Coliseum, Kowloon
hingga laga pamungkas ketika menghadapi Mads Conrad Petersen dan Mads Pieler
Kolding.
Ganda Denmark itu dibuat tak berkutik dan akhirnya menyerah
straight set 21-12 dan 21-18. Sepanjang pertandingan berdurasi 37 menit, Marcus
dan Kevin mampu mengendalikan jalannya pertandingan. Di set pertama kecepatan,
tipuan dan bobot pukulan “the Minions” hampir tak bisa diimbangi duo Mads.
Pasangan terbaik dunia itu sempat memimpin jauh 15-5 dan 19-8 sebelum
mengakhiri game pertama dengan skor 21-12.
Duo Mads yang cukup mengenal karakter permainan Marcus dan
Kevin coba memberi perlawanan di game kedua. Kedua pasangan sudah empat kali
berhadap-hadapan. Saling berbagi dua kemenangan menunjukkan bahwa duo Mads
bukan lawan mudah. Hal ini mereka tunjukkan dengan memaksa pertandingan sedikit
ketat. Skor sempat berbeda tipis 2-4 dan 8-9.
Dua pertemuan terakhir yang terjadi pada tahun ini
masing-masing di All England dan India Open menjadi milik duo Minions. Tidak sampai
di situ keduanya pun mampu meraih dua gelar dalam dua pekan secara beruntun. Catatan
apik ini kembali dipertontonkan di game kedua. Sempat kendor di awal game
kedua, Marcus dan Kevin perlahan-lahan mendapatkan kembali ritme permainan.
Berani adu kecepatan, sesekali melakukan tipuan dan melayangkan smash kencang
membuat lawan kerepotan. Pasangan liliput itu pun berhasil mengunci game kedua
atas pasangan raksasa dengan skor 21-18.
Kemenangan tersebut tidak hanya mengunggulkan Marcus dan
Kevin dalam catatan head to head denagn duo Mads. Lebih penting dari itu
menjadi gelar keenam yang diraih sepanjang tahun ini. Selain menjuarai China
Super Series Premier pekan lalu, Marcus dan Kevin lebih dulu menjenjakan kaki
di podium tertinggi Japan Super Series, Malaysia Super Series Premier, India
Super Series dan All England.
Tidak banyak pasangan yang mampu merebut gelar super series
sebanyak itu dalam satu kalender turnamen. Catatan mentereng itu hanya bisa
diukir pasangan sekelas Lee Yong Dae dan Yoo Yeon Seong pada 2015 lalu. Saat
itu jagoan Korea Selatan itu meraih gelar juara sejak Australia Super Series,
Japan Super Series, Korea Super Series, Denmark Super Series Premier, France
Super Series dan Hong Kong Super Series.
Semua penggemar bulu tangkis di dunia tentu sepakat tahun
ini menjadi tahun emas “the Minions.” Keduanya memiliki segalanya untuk menjadi
juara. Sekalipun berpostur pendek, mereka mengantongi senjata yang tidak
dimiliki pasangan lain. Kecepatan, lompatan yang tinggi, serta skill individu
yang membuat lawan kelabakan. Kevin misalnya memiliki kelenturan tangan yang
menyata dalam pukulan-pukulan tak terduga. Pria kelahiran Banyuwangi, 22 tahun
silam pun dijuluki si “tangan petir.”
Kelebihan Kevin itu berpadu dengan Marcus yang dikenal
memiliki servis mematikan. Keduanya saling mengisi saat menyerang maupun
diserang. Bersama mereka membentuk pertahanan yang sulit ditembus, melakukan
rotasi secara apik, dan silih berganti melancarkan pukulan dan tipuan. Smash,
lob, drive hingga dropshot mampu mereka peragakan.
Sepanjang turnamen Hong Kong Open kita mendengar beberapa
kali Gillian Clarck mengeluarkan kata-kata andalannya seperti “oh my goodness”,
“magnificent” , “unbelievable” hingga “a masterclass” kepada “The Minions.”
Rasa-rasanya kata-kata yang dilontarkan mantan pebulutangkis Inggris yang
gantung raket pada 1994 itu tidaklah berlebihan. Marcus dan Kevin memang pantas
mendapatkannya.
Harapan baru
Selain Marcus dan Kevin, Greysia Polii dan Apriani Rahayu
juga mencuri perhatian. Pasangan ganda putri itu mampu menginjak partai final.
Meski akhirnya harus puas sebagai runner-up, pasangan berbeda generasi itu
sudah membuat pasangan nomor satu dunia, Chen Qingchen dan Jia Yifan harus
bermain rubber-set.
Pertandingan antarkedua pasangan menjadi yang terpanjang
dibanding empat partai lainnya. Laga berlangsung selama lebih dari satu jam
sebelum unggulan pertama itu meraih kemenangan dengan skor akhir 21-14, 16-21
dan 15-21.
Kekalahan ini cukup disayangkan. Kurang dari sebulan Greysia/Apriyani
membuat Qingchen dan Yifan tak berkutik saat bertemu di semi final France Super
Series. Saat itu Greysia/Apriyani menang mudah dua game langsung 21-5 dan
21-10.
Namun situasi berbeda terjadi di partai final ini. Di satu
sisi Qingchen dan Yifan sedang berada di trek positif setelah pekan sebelumnya
berjaya di tanah air sendiri di ajang China Super Siries Premier. Di sisi lain
seperti dikatakan pelatih ganda putri Eng Hian, daya tahan dan fokus anak
asuhnya menurun. Kualitas pukulan Greysia dan Apriani tidak sebagus babak-babak
sebelumnya yang berpuncak di semi final. Sempat meraih kemenangan di game
pertama, Greysia dan Apriani gagal menjaga ritme permainan dan sigap menghadapi
perubahan strategi lawan di dua game berikutnya. Mereka pun harus menyerah 21-14,
16-21 dan 15-21.
Meski begitu apresiasi tetap patut diberikan kepada Greysia
dan Apriani. Keduanya mencatatkan perkembangan pesat sejak dipasangkan enam
bulan lalu. Satu gelar Grand Prix Gold dan Super Series masing-masing di
Thailand dan Prancis menjadi bukti. Greysia Polii tidak butuh waktu lama untuk
meraih gelar super series setelah “berpisah” dengan Nitya Krishinda Maheswari.
Sebelum Greysia dan Apriani muncul, ganda putri Indonesia
sepenuhnya bergantung pada Greysia dan Nitya. Greysia dan Nitya yang
dipasangkan kembali pada 2013 baru bisa memanen prestasi pada 2015. Artinya mereka
butuh waktu dua tahun untuk menjejaki final super series hingga meraih titel
super series pertama.
Greysia dan Apriani pun menjadi harapan baru ganda putri
Indonesia. Pasangan yang mulai berduet
pada Juni tahun lalu akan mengisi top 10 BWF dalam rilis resmi pada Kamis pekan
depan.
Pertanyaan, mengapa Greysia dan Apriani begitu cepat
melesat? Greysia yang telah berusia kepala tiga memiliki segudang pengalaman
yang memungkinkannya dengan mudah menuntun dan mengeluarkan kemampuan terbaik
Apriani. Selain jam terbang, Greysia cukup piawai dalam memainkan dropshot.
Sementara Apriani walau baru berusia 18 tahun memiliki smash yang keras dan
lincah di depan net.
Keduanya mampu berotasi secara baik dan berkomunikasi secara
baik pula. Tidak hanya kualitas individu, hal penting lainnya adalah mental
bertanding. Greysia mampu membuat Apriani menjadi pemain bermental baja.
Keduanya pantang menyerah, apalagi menyerah kalah dengan mudah. Banyak
pengalaman membuktikan, salah satu yang masih segar adalah laga semi final
menghadapi pasangan China, dalam situasi tertinggal mereka tak patah arang. Sabar
dan yakin untuk bangkit.
Di tengah harapan yang membuncah masih ada pekerjaan rumah
yang harus segera diselesaikan pasangan ini. Ketahanan mental dan stamina untuk
menghadapi perubahan permainan lawan serta hal-hal mendasar seperti service
perlu dibereskan bila ingin bersaing di papan atas dunia. Bila segala hal
berjalan lancar bukan tidak mungkin target prestasi di All England dan Asian
Games tahun depan bukan sesuatu yang mustahil.
Greysia dan Apriani bersama juara Hong Kong Open/@Antoatustian |
Berani bongkar pasang
Selain menaruh harapan pada Marcus dan Kevin serta Greysia
dan Apriani, kita pun ingin melihat pebulutangkis Indonesia lainnya unjuk gigi.
Di ganda putra misalnya, Angga Pratama dan Ricky Karanda terlihat semakin
melempem. Sementara sepak terjang Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto
belum meyakinkan.
Alih-alih menunggu mereka bangkit, entah kapan itu terjadi,
patut mempertimbangkan langkah berani sejumlah negara seperti China, Denmark
dan Korea Selatan yang nekat melakukan bongkar pasang pemain. Bila Angga,
Ricky, Rian dan Fajar tercatat sebagai pemain China, hampir pasti telah lama “diceraikan.”
Salah satu bukti keberanian China yang telah menuai hasil
positif adalah menduetkan Zheng Siwei dan Huang Yaqiong di nomor ganda
campuran. Ketiganya langsung memanen gelar di tiga turnamen yang telah diikuti.
Duet baru China ini meraih podium juara Hong Kong Open dengan mengalahkan pasangan
baru dari Denmark, Mathias Christiansen dan Christinna Pedersen, 21-15 dan
21-13. Menariknya kedua pasangan baru itu sama-sama menjadi finalis di China
Super Series pekan sebelumnya, yang akhirnya dimenangkan Siwei dan Yaqiong.
China menjadi pengoleksi gelar terbanyak tahun ini,
berbanding terbalik dengan Denmark yang pulang dengan tangan hampa. Namun
Negeri Dinamit itu berhasil memanen keberanian dari bongkar pasang di ganda
campuran, hal mana yang masih enggan dilakukan Indonesia.
Sementara itu gelar tunggal putra
diboyong Lee Chong Wei. Di partai final Datok Lee menumbangkan Chen Long, 21-14 21-19.
Ini menjadi gelar super series ke-45 bagi pebulutangkis andalan Malaysia itu
sekaligus gelar kelima di turnamen tersebut setelah sebelumnya menjadi jawara
pada tahun 2009, 2010, 2013 dan 2015.
Tai Tzu Ying merebut gelar keenam
sepanjang tahun ini, menyusul pencapaian di All England, Malaysia, Singapura,
Kejuaraan Asia dan Prancis. Tunggal putri nomor satu dunia itu menumbangkan
harapan India, Pusarla V. Sindhu, 21-18 dan 21-18.
Bagi saya pertandingan ini
menarik, bukan terutama mengulangi final tahun sebelumnya. Tetapi kehadiran sosok
yang setia mendampingi Sindhu di pinggir lapangan. Mulyo Handoyo. Kita hanya bisa melihat pelatih kita menuntun
pemain asing wira-wiri di level super series, sementara para pemain kita masih
berkutat di Grand Prix Gold, bahkan International Series.
N.B
Hasil final #HongKongSS 2017:
Www.tournamentsoftware.com |
Comments
Post a Comment