Puasa Bukan Alasan Pantang Berolahraga
dr.Zaini K. Saragih Sp.KO sedang membawakan materi tentang "Hidup Sehat di Bulan Ramadhan." |
Puasa
kadang dijadikan alasan untuk tidak berolahraga. Berubahnya pola hidup terutama
makan dan minum serta istirahat dijadikan dalih untuk mengurangi aktivitas
fisik. Padahal kebugaran tubuh tetap diperlukan, tidak hanya untuk menjalani
rutinitas juga melewati ziarah iman selama sebulan penuh.
Apa
yang dicemaskan tersebut di sisi tertentu cukup berdasar. Hal ini diakui oleh dr. Zaini K. Saragih Sp.KO,
sport medicine physician
dari Mayapada Hospital Jakarta Selatan. dr.Zaini berbicara saat acara buka bersama Mayapada Healthcare Group (MHG), Rabu
(31/05/2017) di salah satu hotel berbintang di bilangan Jakarta Pusat. Turut
hadir Jonathan Tahir, selaku Group CEO Mayapada Healthcare, Arif Mualim,
Direktur Mayapada Healthcare Group, serta direkrut dari dua rumah sakit
Mayapada yang terletak di Tangerang, Banten dan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Dalam
materinya bertajuk “Hidup Sehat di Bulan Ramadhan”, dokter spesialis
keolahragaan tersebut mengaku ada kecenderungan umum saat bulan puasa terutama
di negara-negara rumpun Melayu. Beberapa kecenderungan, untuk tidak mengatakan
kebiasaan, tersebut adalah malas-malasan (less
physical activity), makan sedikit (less
eat), makan banyak dan tidak beraturan (bad
eating), tidur berkurang (less sleep),
dan “balas dendam” setelah Ramadhan.
Beberapa kecenderungan itu kemudian mengemuka dalam beberapa
pertanyaan. Apakah perubahan tersebut karena proses metabolisme dalam tubuh
atau tersebab mindset atau pola pikir yang keliru?
Secara umum tubuh membutuhkan keseimbangan, termasuk dalam urusan
energi. Keseimbangan itu mengacu pada energi yang masuk dan energi yang keluar.
Apa yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan (food intake) dan energi yang dikeluarkan selama beraktivitas (energy expenditur) berjalan seimbang.
Selama bulan puasa keseimbangan itu menghadapi tantangan. Salah
satunya karena perubahan pola makan. Sangat jelas perbedaan pola makan saat
hari-hari biasa dan selama Ramadhan. Bila diluar masa puasa tubuh mendapat
pasokan makanan dari tiga kali jam makan (pagi, siang dan malam) ditambah saat
ekstra di antara jam-jam tersebut, saat puasa tubuh hanya mendapat asupan
makanan di pagi hari saat sahur, dan selanjutnya saat berbuka puasa. Jeda di
antara sahur dan berbuka cukup panjang, diantarai puasa makan dan minum selama
13 jam. Baru setelah berbuka, tubuh bisa mendapatkan asupan ekstra dengan jeda
waktu sesuai keinginan.
Begitu juga waktu istirahat. Di waktu normal, tubuh mendapat
waktu istirahat hingga sembilan jam. Sementara di bulan puasa tubuh hanya
beroleh waktu jeda selama lima jam. Bila ketidakseimbangan ini terjadi maka
akan berdampak pada tubuh, terutama berat badan. Entah berat badan bertambah
atau sebaliknya.
Menarik dicatat, seperti disampaikan dr.Zaini, pada orang
dewasa kelebihan energi akan membuat ukuran sel lemak kian membesar, yang
terlihat pada tubuh yang semakin gemuk.Sementara pada anak-anak kelebihan
energi itu tidak membuat ukuran sel lemak membesar, tetapi sel-selnya akan semakin
bertambah.
“Jumlah sel tersebut akan dibawa sampai dewasa. Anak-anak
yang terlalu gemuk menjadi tidak sehat,” tegas dr.Zaini sambil menerangkan
bahwa lapisan kulit hitam di belakang leher anak yang gemuk menunjukkan adanya gangguan
pada metabolisme tubuh, bukan kelainan kulit.
Proses metabolisme dalam tubuh sangat ditentukan oleh insulin.
Hormon yang
diproduksi di pankreas ini amat berperan dalam metabolisme lemak dan protein. Insulin akan menyebabkan gula dalam darah bisa
masuk ke dalam sel tubuh. Maka tak heran
bila tubuh akan lemas saat tidak makan dan minum, lantaran insulin tidak keluar
sehingga gula tidak masuk dalam sel. Insulin membantu menyerap glukosa dari
sirkulasi darah dan menyimpannya sebagai glikogen di hati dan otot sebagai
sumber energi.
Belakangan telah
ditemukan oleh para ilmuwan cara untuk memasukan gula ke dalam sel tanpa
insulin. Menurut keterangan dr.Zaini, terdapat alat pengangkut lain yang
disebut glucose transporter 4 (GLUT
4). Alat transport ini hanya bisa berfungsi saat ada aktivitas fisik. Saat berolahraga GLUT 4 akan keluar sehingga tidak perlu
menunggu insulin untuk mengkondisikan masuknya gula dalam darah ke sel tubuh. Tak
heran setelah berolahraga tubuh akan terasa segar.
Karena itu
menurut dr.Zaini, “Selama puasa diusahakan harus tetap bergerak. Makin tidak
gerak maka makin lemas.”
Meskipun
demikian tidak berarti bahwa aktivitas fisik atau olahraga dilakukan secara
serampangan. Penting untuk berolahraga sesuai kebiasaan dan keadaan tubuh. Jangan
sampai jenis, durasi dan intensitas olahraga sengaja dibedakan dari kebiasaan
atau dilebih-lebihkan.
Bila olahraga
bukan hal tabu, malah dianjurkan saat puasa, lantas kapan waktu terbaik untuk
berolahraga? Ada banyak versi dan keyakinan yang berkembang terkait waktu
olahraga yang pas. Kadang kita menjumpai orang berolahraga di pagi hari sebelum
sahur, atau setelah sahur. Begitu juga sebelum atau setelah berbuka puasa di
sore hari.
Jonathan
Tahir (kiri) dan Arif Mualim,
jajaran manajemen Mayapada Healthcare Group
|
Tidak ada
yang salah dengan waktu olahraga tersebut. Namun spesialis lulusan Universitas
Indonesia ini tidak menganjurkan untuk berolahraga di luar ruangan, apalagi
bila itu dilakukan setelah sahur. Alasannya sederhana. Indonesia beriklim
tropis dengan tingkat kelembaban tinggi. Berolahraga di luar ruangan, apalagi
di bawah terpaan sinar matahari akan mempercepat penguapan dan keringat
berlebihan.
Patut diingat
selama puasa kita tidak mungkin mendapatkan cairan pengganti. Padahal cairan
tersebut sangat dibutuhkan bagi tubuh. Selain membutuhkan energi untuk
berolahraga, tubuh juga butuh cairan pengganti. Kekurangan cairan tubuh akan
menimbulkan persoalan. Bila berkurang 5
persen saja dari berat badan maka membuat konsentrasi berkurang. Bila sampai
berkurang 10 persen makan akan menyebabkan dehidrasi sehingga harus dirawat di
rumah sakit dan mendapat pasokan cairan melalui infus.
dr.Zain
memberi analogi menarik. Berangkat dari keahlian dan pengalamannya menangani
para pesepakbola, anggota Komite Medis PSSI periode 2009-2011, memberi
contoh para pemain di lapangan. Setelah sekitar 30 menit pertandingan gerak dan
aksi para pemain di lapangan kadang mulai terganggu. Hal ini terjadi karena
berkurangnya konsentrasi akibat dehidrasi.
“Karena itu di pinggir lapangan selalu disediakan fresh water bila para pemain butuh akan
langsung diberikan,” bebernya.
Karena itu
persoalan cairan ini tidak bisa dianggap remeh. Menyiasati keringat berlebihan
dan tubuh tidak sampai mengalami kekurangan cairan maka berolahraga di tempat
teduh adalah pilihan terbaik.
Bila tidak
ingin mengambil risiko dengan hal ini, pilihan lain yang lebih bijak adalah
mengambil waktu olahraga sebelum makan. Luangkan waktu secukupnya untuk berolahraga
sebelum berbuka agar setelah itu tubuh bisa segera mendapat pasokan makanan.
Tak kalah
penting adalah makan yang cukup dengan gizi yang seimbang, serta istirahat yang
cukup. Hal yang disebutkan terakhir ini juga menjadi persoalan selama bulan
puasa. Banyak keluhan bermunculan karena sulitnya mendapat tidur yang
berkualitas (deep sleep).
Dokter Zaini
meluruskan anggapan bahwa tidur berkualitas itu berkorelasi dengan lamanya
waktu tidur. Semakin lama tidur berarti semakin berkualitas. Anggapan tersebut
dibantah. Menurutnya deep sleep tidak
ditentukan oleh lama waktu tidur tetapi oleh gelombang otak kita, yakni tetha
dan delta.
Bila kedua
gelombang ini muncul maka tubuh akan segar. Tidak hanya melalui tidur selama
kurang lebih empat jam, gelombang tersebut bisa muncul saat otak rileks, tidak
stres atau bekerja keras. Saat menjalankan ibadah agama bisa memunculkan
gelombang tersebut.
“Orang Islam
saat dzikir bagus akan delta dan tetha. Penganut Budha saat meditasi pun akan
delta-tetha. Tak heran para pemuka agama yang menjalankan aktivitas agama
hingga tengah malam akan tetap segar keesokan harinya.”
Selain itu
ada cara lain untuk merangsan agar cepat tidur. Kenali diri apakah lebih
dominan menggunakan otak kiri atau kanan. Lantas mengambil stimulus sesuai
kecenderungan tersebut. Bila seseorang lebih dominan menggunakan otak kiri maka
bisa dirangsang dengan melihat sesuatu yang teduh. Orang dengan kecenderungan
ini tidak boleh diajak untuk memfokuskan pikirannya. Cara terakhir itu baru
cocok dipakai untuk orang yang dominan menggunakan otak kanan.
Di samping
itu berolahraga teratur bisa merangsang
otak menghasilkan kedua gelombang tersebut. Jadi tak perlu ragu berolahraga
saat puasa. Berolahragalah sejauh dapat asalkan tidak berpotensi mengeluarkan
banyak cairan, makanlah setelah berolahraga dengan gizi yang seimbang, dan
beristirahatlah yang cukup. Niscaya tubuh Anda akan sehat selama berziarah di
bulan yang penuh berkah ini.
Para blogger besama jajaran manajemen Mayapada |
Puasa memang bukan alasan untuk bermalas-malasan. Anak-anak saya tetap latihan taekwondo. Awalnya mereka protes tapi alhamdulillah tetap kuat berpuasa hingga maghrib :)
ReplyDeleteMantap kalau begitu olahraga memang penting termasuk saat puasa ya..salam
Delete