Teman adalah Kekuatan
Salah satu yang membuat masa lalu berwarna
adalah kehadiran teman-teman. Tak terhitung secara pasti berapa banyak yang
telah singgah dan memberi warna pada perjalanan hidup saya. Bila teman-teman
itu diartikan sebagai mereka yang pernah bersama karena alasan sekolah atau
pendidikan, berarti sejak Taman Kanak-Kanak, panti pendidikan paling dasar,
hingga perguruan tinggi, sudah ratusan teman yang saya miliki.
Semua mereka hadir dengan berbagai kisah dan
pengalaman. Ada yang masuk kategori dekat, ada pula sebaliknya, hanya sekadar
bertegur sapa. Hubungan pertemanan dengan beberapa kawan dekat masih bertahan
hingga kini, setelah sekian tahun berlalu dan kini telah jauh berbeda.
Saya bersyukur pernah melewatkan sekitar 12
tahun di panti pendidikan berasrama. Hari-hari kebersamaan menjadi lebih
panjang. Bahkan sepanjang hari kami bersama. Sejak bangun pagi hingga tidur
malam, begitu seterusnya. Hanya waktu libur di pertengahan tahun yang membuat
kami berpisah beberapa hari. Setelah itu kembali berkumpul lagi.
Kebersamaan yang begitu intens membuat
tingkat kedekatan di antara kami begitu kuat. Suka dan duka dijalani bersama.
Susahnya hidup jauh dari keluarga, makanan yang tidak sesuai selera, hingga mengurus
segala sesuatu sendiri, kami jalani dan lewati bersama. Di sana terbangun
solidaritas dan soliditas. Saat ada yang berkekuarangan kami membantu. Begitu
pula saat ada yang berkelebihan, akan dengan senang hati berbagi. Singkat kata,
kelebihan dan kekurangan kami rasakan bersama.
Inilah yang membuat saya sulit untuk memilah
mereka dalam kategori “teman dekat” dan “sekadar teman.” Setiap mereka memiliki
bagian tersendiri dalam sejarah pertemanan. Sedikit banyak mereka turut menenun
kebersamaan menjadi sebuah lembaran sejarah.
Meski begitu saya coba mengingat-ingat
beberapa teman yang memiliki pengalaman unik. Salah satu teman yang masih
membekas hingga kini pernah satu kelas dengan saya. Saat itu kami tercatat
sebagai siswa sekolah menengah pertama.
Ia duduk selang beberapa meja dari saya. Saya
memilih tempat duduk di deretan tengah. Tinggi badan saya saat itu termasuk
jangkung sehingga tidak perlu mengambil bangku di deretan depan. Sementara teman
saya ini sedikit lebih pendek dari saya. Oleh wali kelas ia ditempatkan di
barisan paling depan.
Ia selalu baik saat saya meminta bantuan
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Kemampuannya dalam bidang ilmu pasti cukup
mumpuni. Karena itu ketika mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal
matematika misalnya, maka saya akan segera berpaling padanya. Meski begitu ia
tidak menonjolkan diri dan merasa diri penting.
Saat membantu saya, ia akan memberi jalan
sampai saya bisa mendapatkan jawaban. Ia tidak langsung memberi jawaban, tetapi
membantu saya menemukan letak persoalan. Tak pelak setelah mendapat bimbingan
darinya saya akan menyimpan pemahaman yang diberikan saat menyelesaikan
soal-soal ujian.
Ia sosok rendah hati. Di bidang yang lain ia
harus mengakui saya sedikit lebih unggul darinya. Meski begitu di antara kami
tidak ada rivalitas dangkal yang menjerumuskan kami dalam kompetisi yang tidak
sehat.
Saya cukup berutang budi pada kebaikannya.
Sulit membayangkan bila tanpa campur tangannya saya akan mampu melewatkan ujian
akhir sekolah. Saya sadar dengan bantuannya itu saya pun bisa menyelesaikan
mata pelajaran ilmu pasti. Tentu dengan perolehan nilai yang tidak lebih
menggembirakan dari dia. Lulus saja saya sudah bersyukur.
Masih banyak pengalaman menarik. Kenangan itu
masih tersimpan meski mulai memudar seiring waktu yang terus berlalu dan
perjumpaan yang semakin jarang. Beberapa dari antara teman-teman saya tidak
pernah bertemu sejak hari terakhir kami berpisah dari asrama.
Meski begitu saya
yakin persabahatan yang telah dibangun adalah bagian penting yang membentuk
sejarah hidup saya saat ini. Mereka adalah bagian dari fondasi masa depan saya.
Dari mereka saya mendapat banyak hal. Benar ungkapan Latin, “ubi amici ibi opes”
yang berarti “di mana ada teman di situ ada kekuatan.”
Comments
Post a Comment