China dan Denmark, Penguasa di Dua Benua
Kamilla Rytter Juhl, Christina Pedersen pertahankan gelar juara Eropa/bwfbadminton.com |
Kekuatan bulu tangkis dunia masih berada di Asia dan Eropa. Peta
persaingan bulu tangkis di dua benua “utama” itu tidak bergeser jauh dari muka-muka
lama. Kejuaraan tingkat kontinental yang baru saja berakhir, Minggu, 30 April,
menunjukkan itu.
Di Eropa, Denmark masih superior. Negeri Dinamit mengirim lima wakil ke partai
puncak. Pada kejuaraan yang berlangsung di Kolding, Denmark, tuan rumah
menyabet dua gelar. Sementara dua gelar lainnya direbut Inggris, dan satu gelar
lagi menjadi milik Spanyol.
Dengan tanpa menyebut nama para pemenang kita sudah bisa
menerka. Mudah menebak para jawara di Eropa dengan berlandaskan pada pengalaman
dan prestasi di tingkat dunia. Tidak banyak negara Eropa yang mampu bersaing
dengan wakil-wakil dari Asia.
Apakah regenerasi di tingkat Eropa berjalan lambat atau
perkembangan bulu tangkis Asia berjalan terlalu cepat? Entahlah. Yang pasti para
pemain senior dari benua Biru yang telah malang melintang di tingkat dunia
masih mendominasi.
Para pemain senior seperti Kamilla Rytter Juhl, Christina
Pedersen, Mathies Boe, Carsten Mogensen, Joachim Fischer Nielsen dan Chris
Adcock serta Gabrielle Adcock belum menemukan lawan sepadan. Mereka adalah
kawanan singa tua yang masih haus gelar.
Di ganda putri, Kamilla dan Christinna membuktikan diri
sebagai unggulan pertama. Begitu juga Boe/Mogensen di ganda putra. Boe/Mogensen
menjadi juara setelah menundukkan kompatriotnya Mas Conrad-Petersen/Mads Pieler
Kolding, 21-16 dan 22-20. Meski Boe/Mogensen menundukan duo Mads sebagai juara
bertahan dalam pertarungan ketat selama 51 menit, hal ini tidak terlalu
mengagetkan. Sama seperti Kamilla/Christinnna yang sukses merengkuh gelar Eropa
keempat kalinya usai menggasak Gabriela Stoeva/Stefani Stoeva asal Bulgaria,
21-11 15-21 dan 21-11 dalam tempo 1 jam dan 14 menit.
Di ganda campuran
pertarungan puncak antara duo Adcock dari Inggris dan Nielsen/Pedersen sudah
bisa ditebak. Kedua pasangan senior ini memainkan pertarungan terlama sekaligus
menciptakan klimaks di antara seluruh partai. Menariknya Inggris untuk pertama
kali memiliki juara di nomor ini setelah pasangan suami istri itu menaklukkan
juara bertahan. Pertarungan ketat selama 78 menit itu berakhir dengan skor
21-17 18-21 dan 21-19.
Ungkapan Adcock seusai meraih medali emas menggambarkan
bahwa pasangan Denmark itu masih menjadi momok. Lebih dari itu sejarah mencatat
bahwa di nomor ini Denmark adalah penguasa. Sehingga meruntuhkan rantai dominasi
di kandang sang penguasa adalah pencapaian luar biasa.
"Ini sangat berarti bagi kami bisa mengalahkan Fischer
dan Pedersen di Denmark," ungkap Adcocks dikutip dari bwfbadminton.com.
“ Perasaan
memenangkan sebuah medali emas Eropa secara bersama seperti tidak ada perasaan
lain,” lanjutnya.
Perasaan yang sama mengemuka dari Rajiv Ouseph. Pemain 30
tahun ini melengkapi prestasi Inggris kali ini. Kemenangan straight set 21-19
21-91 atas Anders Antonsen dari Denmark menjadikannya orang Inggris pertama
yang menjadi juara Eropa setelah 27
tahun.
Rajiv Ouseph persembahkan gelar tunggal putra bagi Inggris setelah 21 tahun/bwfbadminton.com |
Mahkota tunggal putra yang dikenakan pemain keturunan India
itu mengikuti jejak Steve Baddelley pada tahun 1990. Setelah itu belum ada
pemain Inggris yang mampu menggusur dominasi Denmark.
"Saya berada di atas bulan untuk memenangkan gelar
ini," ungkap Ouseph sambil
menambahkan bahwa ia sempat tergelincir tetapi berhasil memanfaatkan kesempatan
untuk bangkit dan tidak ingin kesempatan berharga itu lepas.
Selain domunasi dua negara itu, Spanyol, masih tetap
mengandalkan sang ratu, Carolina Marin. Caro masih menjadi penguasa di tiga
tahun terakhir. Menariknya di partai final kali ini yang memberinya “hattrick”
gelar, ia kembali beradu dengan Kirsty Gilmour dari Skotlandia. Namun jarak
prestasi dan pengalaman mantan pemain nomor satu dunia itu masih sulit dikejar
para pemain Eropa lainnya. Caro, 23 tahun menang mudah, 21-14 dan 21-12.
Berbeda ketika Caro bertemu para pemain putri dari Asia, di
Eropa belum ada pemain putri yang mampu menandinginya. Bila Caro harus bekerja
ekstra keras menghadapi P.V.Sindhu dari India, dan selalu apes ketika bertemu
Tai Tzu-ying, tidak demikian di benuanya.
Selama belum ada lawan sepadan, dominasi Caro spertinya akan
berlanjut. Apalagi tahun depan event ini akan berlangsung di negaranya.
“Saya melihat ke depan untuk mempertahankan gelar di kota
asal saya tahun depan di hadapan keluarga dan teman-teman saya.”
Terlepas dari nama besar Denmark, di kejuaraan ini Eropa
mulai menghasilkan penerus. Meski berjalan lambat dan masih seputar
negara-negara yang sama, setidaknya beberapa pemain mulai menunjukkan diri
sebagai calon pemenang setelah generasi tua berakhir.
Ada Anders Antonsen yang mengalahkan seniornya Viktor
Axelsen di babak sebelumnya. Begitu juga Gabriela Stoeva/Stefani Stoeva yang
semakin baik. Bila ganda putri ini terus meningkatkan kemampuan, bukan
mustahil, saat para pemain veteran Denmark gantung raket, Bulgaria akan
menorehkan sejarah baru di level Eropa.
Bahkan pintu masuk ke jajaran elit dunia sudah terbuka. Saat
ini Gabriela, 22 tahun dan Stevani, 21 perlahan tetapi pasti mulai merangksek
dari peringkat 13 dunia.
Setali tiga uang
Seperti Eropa dengan Denmark, begitu juga Asia dengan China.
Tahun ini China mendominasi.Dari lima wakilnya di partai puncak, tuan rumah
mengunci tiga gelar. Lu Kai/Huang Yaqiong, unggulan tiga, merebut emas ganda
campuran usai menyisihkan satu-satunya wakil Thailand, Dechapol
Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanacahai, 21-18 dan 21-11.
Penampilan Lu/Huang memang sedang menanjak. Ini adalah gelar
keempat dari enam partai final yang dijajaki musim ini. Sebelumnya pasangan
berperingkat dua dunia, di belakang rekan senegara, Zhen Siwei/Cheng Qingchen,
merebut mahkota All Englang, India Open dan Singapore Open.
Tuan rumah juga menguasai tunggal putra. Runner-up tahun
lalu Chen Long sukses membunuh harapan rekan senegaranya Lin Dan. Chen,
unggulan dua sempat kalah di game pertama, namun berhasil bangkit di dua game berikutnya.
Chen menang 21-23 21-11 21-10 atas
unggulan empat yang menyisihkan unggulan pertama sekaligus musuh bebuyutannya,
Lee Chong Wei di semi final.
All China final juga terjadi di ganda putra. Li Junhui/Liu
Yuchen berhadapan dengan Huang Kaixiang/Wang Yilyu. Li/Liu yang dijagokan di
tempat keenam masih terlalu tangguh bagi pasangan non unggulan itu yang
dikalahkan dengan mudah, 21-14 dan 21-12.
Selain China, Jepang menguasai ganda putri. Unggulan pertama
Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi merengkuh gelar pertama tahun ini sekaligus
mempertahankan gelar usai mengalahkan wakil Korea Selatan, Kim Hye Rin / Yoo
Hae Won, 21-19 16-21 21-10.
Misaki dan Ayaka pertahankan gelar ganda putri/bwfbadminton.com |
Dengan performa puncak yang tetap dipertahankan bukan
sesuatu yang aneh bila Tai Tzu-ying merengkuh gelar tunggal putri. Pemain putri
asal Taiwan ini beradu dengan sesama pemain muda dari Jepang, Akane Yamaguchi. Ini
adalah final ideal yang mempertemukan dua unggulan teratas.
Tai lebih dulu tertinggal di game pertama. Namun pemain
nomor satu dunia itu berhasil bangkit untuk menyudahi perlawanan unggulan dua, 18-21
21-11 21-18 dalam waktu 59 menit. Konsistensi Tai menunjukkan dirinya sebagai
pemain putri istimewa.
Belum ada dalam sejarah seorang pemain merebut enam gelar
secara beruntun. Hanya Tai yang bisa melakuan itu. Sejak kalah dari pemain
China, Sun Yu di China Open, November tahun lalu, pemain 22 tahun itu tak
pernah kalah. Lima gelar direbut berturut-turut sejak Hong Kong Open dan Dubai
Super Series Finals di tahun 2016, All England, Malaysia Open dan Singapore
Open. Gelar keenam ini menegaskan bahwa dominasi Tai belum tergoyahkan.
Ratchanok Intanon dari Thailand sempat mencuri perhatian tetapi belum
sekonsisten putri mantan petugas pemadam kebakaran itu.
Tai Tzu-ying merebut gelar keenam secara berutun/bwfbadminton.com |
Indonesia? Apakah absennya Marcus Fernaldi Gideon/Kevin
Sanjaya Sukamuljo dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menjadi alibi hasil buruk
yang dituai? Saya kira itu lebih sebagai pelipur lara, ketimbang bertanya diri
dan melakukan pembenahan serius. Sampai kapan kita terus bergantung pada
Owi/Butet dan menyodorkan duo Minions sebagai “bumper” untuk meraih prestasi?
Mari berkaca, dan bekerja lebih keras bila tidak ingin nasib
serupa berulang di Piala Sudirman, 21-28 Mei di Gold Coast, Australia.
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 1 Mei 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/china-dan-denmark-penguasa-di-dua-benua_5907340328b0bdc038e56630
Comments
Post a Comment