Luis Milla Setelah Laga Perdana: Belajarlah dari Masa Lalu Timnas U-19
Luis Milla saat latihan bersama timnas U-22/Kompas.com |
Kita tentu sedikit kecewa hasil baik tak
berpihak pada Luis Milla Aspas dan anak asuhnya timnas Indonesia U-22. Dalam
laga uji coba internasional perdana sebagai pelatih tim muda merangkap tim
senior, Selasa (21/3) lalu, Garuda muda
takluk di tangan Myanmar, 1-3. Meski bermain di kandang sekalipun tetap tak
bisa menutupi fakta bahwa rombongan “Malaikat Putih” datang dengan persiapan
yang lebih. Tengok saja pola permainan dan mental bertanding mereka. Mereka
lebih siap, menunjukkan bahwa mereka telah bersiap diri lebih lama.
Ya, tim muda Indonesia baru dibentuk beberapa
bulan terakhir, tak lama setelah Milla datang dari Spanyol. Bila kita baru
diperkenalkan secara intensif dengan permainan cepat dengan operan-operan
pendek, Myanmar selangkah lebih dulu mendalami dan telah mempraktikkannya lebih
sering. Tak hanya Myanmar, beberapa negara tetangga kita seperti Thailand pun
sudah berkarib dengan apa yang disebut sebagai “tiki taka” itu.
Meski mengakui itu, tidak pernah ada kata
terlambat untuk berkembang. Toh itu hanya laga uji coba sebagai evaluasi menuju
sasaran sesungguhnya yakni SEA Games di Kuala Lumpur, Malaysia beberapa bulan
mendatang serta Asian Games di tanah air setahun kemudian.
Masih ada waktu untuk berkembang sejatinya
tidak dipandang sebagai penghiburan semata. Tetapi benar-benar sebagai itikad
untuk serius berbenah. Ekspektasi kepada Milla boleh saja melambung tinggi,
tetapi perlu dibarengi akal sehat bahwa membangun sebuah tim sepak bola tidak
sekadar perkara mengumpulkan para pemain, menempatkan mereka pada setiap posisi
untuk menggenapi sebuah keseblasan plus pemain cadangan.
Bagaimana tim itu berjalan dan beraksi di
lapangan adalah hal esensial yang sepenuhnya diserahkan kepada para pemain,
bukan lagi sepenuhnya urusan pelatih. Sehebat apapun Milla dan sementereng
apapun kesuksesan masa lalunya, ia tetap pelatih yang hanya bisa berbicara,
memotivasi, dan berbagi keterampilan, tetapi saat pertandingan tiba, ia tak
ubahnya seperti penonton umumnya. Berdiri di luar lapangan, mengamati, dan
sesekali berkoar-koar, lantas memberi evaluasi saat jeda tiba. Tidak lebih dari
itu. Pemain itulah yang bertindak sebagai eksekutor.
Karena itu penting untuk tidak hanya
mengarahkan perhatian kepada pelatih, tetapi juga kepada para pemain. Apa yang
bisa dilakukan seorang pelatih saat laga tiba, apalagi dalam kondisi
tertinggal? Ya, seperti di atas tadi.
Meski demikian antara pelatih dan pemain serta
para pihak terkait harus dilihat sebagai satu kesatuan. Saling mempengaruhi dan
berdampak terjadi di antara mereka. Ada simbiosis di sana. Karena itu bagaimana
perlakuan pelatih terhadap pemain, sebaliknya tanggapan pemain terhadap pelatih,
penting. Selain itu bagaimana respon dan dukungan dari PSSI, klub dan
lingkungan di sekitar itu juga menentukan berhasil tidaknya kerja sama
tersebut.
Pada titik ini saya jadi teringat timnas U-19
yang pernah dibentuk dan ditangani Indra Sjafri beberapa tahun lalu. Di antara
kedua tim, beberapa pemain jebolan U-19 saat ini menghuni timnas U-22, memiliki
persamaan. Keduanya sama-sama sedang di jalan menuju timnas senior. Para pemain
muda itu dipersiapkan menjadi matang dan mapan.
Namun seperti kita ketahui harapan dan ikhtiar
itu tidak selalu berkarib dengan kenyataan. Antara harapan dan kenyataan tidak
selalu sejalan. Beberapa pemain timnas U-19 yang pernah kita elu-elukan
sekarang entah ke mana rimbanya. Bisa dihitung dengan jari pemain yang pernah
membanggakan Indonesia dengan trofi Piala AFF U-19 yang menunjukkan
perkembangan baik di level klub maupun timnas saat ini. Selebihnya? Entah di
mana mereka berada dan apa yang sedang mereka lakukan saat ini.
Bukan hal aneh para pemain yang cemerlang di
usia muda lantas layu tak lama berselang. Ibarat kembang, luruh kuncup sebelum
berbunga. Selain paling nyata terjadi di tanah air, nasib seperti itu
bertebaran pula di beberapa negara. Bila kita sedikit membuka data yang ada di
internet akan kita temukan nama-nama seperti Peter Coyne, John Bostock, Nil
Odartey Lamptey, dan Freddy Adu. Pemain yang disebutkan terakhir pernah
disebut-sebut sebagai titisan legenda sepak bola Brasil, Pele. Tetapi sayang
kebesaran Adu hanya berakhir di prediksi dan sanjungan sesaat.
Kita kadang terlalu cepat termakan euforia dan
puja-puji. Timnas U-19 besutan Indra Sjafri menjadi contoh paling nyata. Ada
kebanggaan, tetapi kemudian hanya sesaat saja. Saat baru menjadi juara tingkat
Asia Tenggara saja kita merasa sudah seperti menjadi juara dunia. Mereka
diperlakukan dengan sangat istimewa, bahkan bak selebriti dengan beragam agenda
yang tak punya sangkut paut dengan sepak bola.
Padahal, seperti disebut sebelumnya, mereka
itu masih muda dan jalan mereka masih panjang, sangat panjang malah. Sukses
sesungguhnya adalah saat mereka telah menjadi matang dan mapan. Perayaan
kemenangan yang terlalu berlebihan akhirnya menjebak kita sendiri. Terlalu
terbawa kemenangan sampai-sampai melalaikan target lainnya yang lebih tinggi.
Timnas U-19 juara Piala AFF 2013/Kompas.com |
Setelah menjadi juara Piala AFF U-19 di 2013, 12 bulan
kemudian Evan Dimas dan kolega harus menghadapi Piala AFC U-19. Kemenangan
heroik di Piala AFF membuncahkan optimisme bahwa para pemain muda Indonesia
bisa mengatasi tantangan di level lebih tinggi. Indonesia memang mampu melewati
hadangan di babak kualifikasi. Laos digasak tanpa ampun empat gol tanpa balas
di Gelora Bung Karno, Jakarta. Begitu juga tim kuat Korea Selatan tak berkutik
di tempat yang sama beberapa waktu kemudian. Indonesia pun berangkat ke Myanmar
untuk mengikuti putaran final dengan modal sembilan gol. Fantastis!
Ujian itu akhirnya datang. Indonesia tergabung
di grup B yang dihuni tiga tim kuat: Uzbekistan, Uni Emirat Arab dan Australia.
Laga pertama kontra Uzbekistan terjadi pada 19 Oktober 2014. Pertandingan
berlangsung sore hari di Yangoon. Praktis tidak ada perbedaan waktu signifikan
dengan tiga zona waktu di Indonesia sehingga cukup ideal bagi penonton di tanah
air.
Oh ya sehari sebelumnya film fiksi tentang
kejayaan tim ini dirilis. Euforia pun semakin meluap-luap. Tetapi apa yang
terjadi di Myanmar kemudian? Alih-alih lolos ke Piala Dunia U-20, tim Indonesia
tak bisa berbuat banyak di fase grup. Tiga negara itu ternyata masih terlalu
kuat bagi Indonesia. Nama besar Indonesia ternyata masih sebatas Asia Tenggara,
dan kejayaan itu hanya bisa ditegakkan di Sidoarjo, Jawa Timur, tanah air
sendiri.
Cerita tentang timnas U-19 itu perlahan-lahan menjadi
kisah masa lalu. Hilang perlahan seiring nasib sejumlah pemainnya yang tak
tentu keberadaannya. Kini kita hanya bisa melihat jejak kecilnya dalam diri
sejumlah pemain yang masih bertahan, plus Indra Sjafri yang kembali mengemban
tugas yang sama, untuk kembali membentuk tim muda impian.
Seperti Milla dan timnas U-22, begitu juga
Indra Sjafri dan timnas U-19 yang akan dibentuk nanti. Antara dua jenjang ini
terhubung seutas benang harapan yang sama. Harapan itu tidak lepas dari
“kekeliruan” masa silam sebagaimana disinggung di bagian sebelumnya.
Satu lagi yang patut dicatat sehingga perlu
dipertimbangkan masak-masak bila ingin mengulanginya lagi. Sebelum terbang ke
Myanmar untuk mengikuti putaran final Piala AFC U-19, tim muda Indonesia yang
sedang dimabuk kemenangan itu melakukan sesuatu yang tidak biasa. Mereka
melakukan anjangsana ke sejumlah pelosok negeri dengan jadwal pertandingan yang
padat. Bahkan tak kalah padat dari jadwal tour sebuah band legendaris yang
telah lama dinanti kehadirannya.
Tidak masalah dengan uji coba demi uji coba.
Tetapi ke mana mereka pergi, dengan tim
apa mereka bertanding, dan seperti apa jadwal pertandingan itu jadi soal.
Melakukan perjalanan dari ujung ke ujung
menggunakan berbagai moda transportasi yang tidak sedikit menghabiskan waktu
berjam-jam. Mulai dari Jawa Tengah, berlanjut ke Jawa Timur, selanjutnya
seminggu di Kalimantan Timur, lantas terbang ke Timur Tengah.
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke
Sumatera untuk melakoni lima pertandingan dalam tiga pekan, lantas kembali ke
Jawa untuk dua pertandingan. Setelah libur dua minggu, tour berlanjut lagi. Tak
tanggung-tanggung langsung terbang ke timur Nusantara, Pulau Ternate, sebelum
ke Spanyol untuk turnamen L’Alcudia International Football Tournament
menghadapi Mauritania, Argentina, dan tim muda Barcelona.
Pengalaman dan tentu saja rasa lelah datang
bersama. Tetapi kita tidak bisa berbuat banyak mendapatkan kenyataan bahwa para
pemain hanya punya waktu istirahat sedikit sebelum melakoni pertandingan
sesungguhnya. Tak heran hasilnya demikian.
Mengapa kita tidak bisa lebih selektif memilih
laga uji coba? Mengapa harus membuang waktu menghadapi tim-tim lokal yang tidak
mempunyai nilai lebih? Mengapa tidak terus berorientasi global, menatap
pertandingan dengan tim-tim yang lebih kuat ketimbang harus kembali ke belakang
dan turun ke pertandingan-pertandingan remeh temeh? Semua pertanyaan itu berakhir dengan hasil
yang tidak sesuai harapan dan meninggalkan segala euforia, puja-puji, dan
kultus bak selebriti sebagai masa lalu.
Memang kita tak bisa menebak masa depan.
Setidaknya dari kisah timnas U-19 itu dan nasib para pemain muda yang berjaya
pada masanya dan gagal menjadi “pemain” saat beranjak senior kita mendapat hikmah. Dan kita berharap Milla dengan
segala pengalaman unggul lebih paham bagaimana memperlakukan timnas U-22 saat
ini: tidak hanya untuk kepentingan sini kini, tetapi lebih dari itu bagaimana
menyiapkan jalan mereka menuju tim senior kelak.
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana 23 Maret 2017
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/setelah-laga-perdana-luis-milla-belajarlah-dari-masa-lalu-timnas-u-19_58d374b3187b617f0706a95b
Comments
Post a Comment