Lelaki Bertato dan Angkot
Ilustrasi angkot menuju Lebak Bulus, Jakarta Selatan/Kompas.com |
Angkutan kota atau angkot atau angkota masih menjadi moda
transportasi primadona dari dan ke Jakarta atau di seputaran daerah-daerah
sekitar. Selain murah, jenis kendaraan berupa mini bus atau bus kecil ini lebih
fleksibel karena bisa berhenti di mana saja. Meski tempat pemberhentian sudah
ditentukan, misalnya terminal, dibanding bus, angkot lebih leluasa menurunkan
dan menaikkan penumpang sesuai keinginan penumpang.
Kemudahan tersebut justru
mendatangkan persoalan. Lalu lintas menjadi tergangguh oleh pola perjalanan
angkot yang ngetematau berhenti di tempat di mana penumpang berada. Pun dengan
sengaja menanti penumpang di tempat-tempat yang tidak semestinya seperti di
belokan atau persimpangan.
Saya bukan orang yang anti-angkot karena sebelum
merantau ke ibu kota, di tempat asal saya angkot adalah sarana transportasi
sehari-hari. Situasinya pun tidak jauh berbeda karena stigma buruk angkot itu
seperti berlaku di mana-mana.
Bedanya angkot-angkot di daerah saya lebih
terawat. Penampilannya pun lebih menarik dengan penamaan pada setiap mobil,
plus ornamen-ornamen yang dipadu dengan iringan musik dengan lagu-lagu yang
selalu update.Angkot-angkot itu berlomba-lomba memenangkan hati penumpang
dengan riasan dan servicemusik, meski kadang dengan volume yang mengganggu
indra pendengaran, untuk mengatakan memekakan teling.
Masih ada perbedaan lain.
Selain sopir, angkot-angkot tersebut pun memiliki kondektur yang bertugas
“menarik” penumpang sekaligus mengatur transaksi pembayaran. Sementara
angkot-angkot yang saya temui di ibu kota hanya mengandalkan kerja keras sopir
yang mengambil alih seluruh tugas tersebut. Selain itu angkot-angkot di Jakarta
dan sekitarnya juga kerap kedatangan penumpang tak diundang. Mereka adalah para
pria atau remaja berpenampilan nyentrik dengan gitar atau alat musik seadanya
di tangan.
Angkot dengan banyak penumpang menjadi target utama. Menyempil di
antara kursi penumpang, atau biasanya duduk di muka pintu, penumpang tak
diundang itu pun segera memainkan alat musik. Tak sampai beberapa saat, hanya
menyajikan beberapa potong syair, langsung menyodorkan kantong plastik atau
topi ke hadapan penumpang satu per satu. Tujuannya, tidak lain, meminta uang
receh. Model yang sama berlaku dari angkot ke angkot.
Jalanan dari arah
Pamulang, Tangerang Selatan, Provinsi Banten menuju Lebak Bulus, Jakarta
Selatan, jalur favorit saya saban hari, sudah terkenal dengan keramaiannya.
Kepadatan lalu lintas sudah menjadi menu sehari-hari. Menghadapi tingkah
angkot-angkot, begitu juga kendaraan umum dan pribadi lainnya, beserta segala
isinya menjadi makanan saban hari yang tidak bisa tidak dinikmati para
penumpang.
Entah berapa banyak angkot yang rutin melintas di jalur tersebut.
Banyaknya angkot bertumbuh seiring banyaknya jumlah penduduk. Konon dari segi
ini Tangerang Selatan merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Banten setelah
Kota Tangerang. Serta menjadi kota terbesar kelima di kawasan Jabodetabek
setelah Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Depok.
Biasanya dari arah Pamulang
menuju Lebak Bulus saya harus dua kali mengganti angkot. Pertama mengambil
angkot dari arah Muncul yang mengakhiri perjalanannya di Ciputat. Selanjutnya
mengambil angkot jurusan Pondok Labu.
Menarik menikmati rutinitas sebagai
penumpang angkot. Mengalami banyak peristiwa tak terduga di antara tingkah para
penumpang yang memburu dan lalu lintas kendaraan yang seperti tiada matinya.
Sampai pada suatu hari, kejadiaan tak mengenakan itu terjadi. Peristiwa itu
terjadi dalam perjalanan kembali dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang setelah
berlibur di kampung halaman pada akhir tahun lalu.
Turun dari bus Damri
yang membawa saya dari bandara internasional itu dengan setengah bergegas saya
segera memilih salah satu angkot yang rupanya sudah lama menanti penumpang. Ada
beberapa angkot menanti di sekitar tempat pemberhentian sementara di Terminal
Lebak Bulus. Di tempat itu sedang dibangun depo Mass Rapid Transit (MRT) yang
merupakan Angkutan Cepat Terpadu yang sedang diburu pengerjaannya.
Tanpa
berpikir panjang saya segera memilih angkot dengan jumlah penumpang paling
sedikit. Pertimbangan kemanusiaan mengemuka agar bisa berbagi rejeki dengan
para sopir yang kurang beruntung. Maklum pendapatan para sopir semakin menurun
saban tahun, kalah bersaing dengan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda
empat serta moda transportasi lainnya.
Saya mendapatkan informasi tersebut
setelah beberapa kali bertanya langsung kepada para sopir di sela-sela
perjalanan. Bila angkot sedang sepi saya sengaja mengambil tempat di depan, di
samping sang juru mudi. Percakapan sengaja dibangun untuk mengatasi kebisuan.
Setiap pembicaraan hampir selalu terselip keluhan tentang pendapatan mereka
yang semakin tak menentu.
Terkadang dalam sehari tak ada uang lebih yang dibawa
pulang ke rumah. Seluruh pendapatan habis dipakai untuk bensin dan setoran.
Bahkan terkadang sopir harus nombokatau mengeluarkan uang sendiri untuk
melengkapi kekurangan. Dalam situasi tersebut hati terkadang teriris
membayangkan nasib istri dan anak mereka di rumah. Apa yang akan mereka katakan
kepada istri yang berharap mendapat uang belanja dan anak yang menanti uang
jajan setiap mereka kembali?
Tetapi ada juga sopir yang tak peduli dengan
situasi yang mencemaskan rekan-rekannya. Baginya yang penting adalah tetap giat
memutar roda rezeki sambil berpikir kreatif mengatasi kekurangan. Ada yang
mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dari kesetiaan
ngangkot,sembari sang istri mengambil kerja sampingan untuk menutupi
kekurangan.
Ah, mengurai prahara para sopir akan mengular panjang. Aneka rasa
campur aduk, termasuk berpadu dengan pengalamanku dua bulan lalu.
Angkot
berwarna putih itu pun segera melaju ke arah Ciputat. Lima orang penumpang
kompak membisu. Di luar malam semakin pekat. Di barisan depan sang sopir sedang
bercanda bersama rekannya sambil sesekali menarik rokok dalam-dalam. Asap tebal
sengaja disemburkan keluar, setujuan dengan pandangannya mencari-cari penumpang
di sisi jalan.
Lalu lintas cukup padat. Itu terbilang cukup lancar dibanding
situasi di hari-hari kerja. Lalu lintas dari dan ke arah Ciputat tidak pernah
sepi, dan selalu padat hingga menjelang tengah malam. Sekitar setengah jam
kemudian angkot itu berhenti tak jauh setelah ujung jalang layang (flyover)
yang kehadirannya untuk mengurai kepadatan lalu lintas pasar Ciputat.
Setelah
menyodorkan selembar uang Rp 5.000 saya pun segera menepi, menanti angkot
berikutnya dengan tujuan Pamulang. Tak sulit mendapatkan kendaraan. Pemandangan
di kiri kanan jalan tak juga berubah dengan antrian angkot yang tengah menanti
datangnya penumpang. Para sopir bersahut-sahutan setiap kali ada angkot lain
atau bus yang berhenti. Mereka berebut perhatian dari para penumpang dengan
iming-iming “langsung berangkat” alias tidak lagi menunggu lama.
Kali ini saya
sengaja memilih angkot dengan penumpang lebih banyak. Biasanya, angkot baru
akan berangkat setidaknya sudah ada tiga atau empat penumpang. Jarang yang
langsung menginjak pedal gas ketika baru terisi satu penumpang. Sehingga ajakan
“langsung berangkat” itu tidak lebih dari basa basi belaka.
Tubuh makin lesu,
ingin segera tiba di rumah. Aku sengaja memilih angkot dengan penumpang lebih
banyak karena peluang untuk segera melaju lebih besar. Celetukan dan desakan
dari sopir lainnya akan mempercepat kepergian angkot dengan jumlah penumpang
lebih dari cukup.
Benar, setelah satu penumpang membuntutiku masuk ke angkot
yang sama, sang sopir pun segera melaju. Situasi seperti sebelumnya. Dengan
jumlah penumpang lebih banyak dari angkot yang kutumpangi sebelumnya tetap tak
membuat suasana menjadi hidup.
Setiap orang asyik sendiri. Ada yang sengaja
memainkan telepon pintar dengan headsetterpansang di kedua lubang telinga. Yang
lain sengaja memalingkan wajah ke luar angkot seperti enggan berpandangan
dengan penumpang lainnya. Bila ada yang kebetulan berpandang-pandangan, tidak
ada jalinan komunikasi yang terbangun selain melalui tatapan mata. Senyum pun
tidak.
Di barisan depan sang sopir sibuk dengan pekerjaannya. Ia terus memacu
angkot tua yang sesekali mengeluarkan suara tak sedap. Tawaran, sesekali dibumbui
rayuan kepada orang yang kebetulan berdiri di sisi jalan terus saja diberikan,
tak peduli tempat duduk telah terisi penuh. Para penumpang pun tidak ada yang
protes, begitu juga aku yang sudah tak kuasa menahan kantuk.
Beberapa meter
sebelum sampai di tujuan aku memberikan aba-aba kepada sang sopir. Tujuannya
agar ia bisa mengurangi laju mobil sehingga bisa berhenti tepat di tempat yang
dituju.
Separuh memaksa tubuh bangkit dari kursi aku pun melewati pintu masuk
yang memaksaku harus ekstra menunduk. Segera kujangkau saku celana. Aku tahu
persis, dan bisa dipastikan tak pernah keliru menaruh dompet di saku belakang.
Biasanya saku kanan.
Jangan sampai aku salah menaruh dompet. Begitu pikirku
ketika tempat yang kutuju dalam keadaan kempis. Begitu juga kedua saku di
bagian depan. Alamak! Segera kubuka saku ransel, mengaduk-aduk isinya. Setiap
sudut kujangkau, tetapi hasilnya sama.
Kubayangkan setiap harta berharga di
dalamnya. Tidak hanya uang beberapa ratus ribu, lebih dari itu surat-surat dan
beberapa kartu penting dengan nilai nominal dan perjuangan yang jauh lebih
mahal.
Angkot belum melaju. Sang sopir terlihat bingung dengan tampang dan
gerak-gerikku yang kebingungan. Di barisan belakang beberapa penumpang sudah
mulai tak sabar. Seorang ibu muda yang berdiri dekat pintu mulai bergumam
ketus. Beberapa lainnya seperti tak mau peduli.
“Ambil aja uang ini mas,”suara
halus tiba-tiba memecah kebingunganku, sambil mengulur dua lembar uang pecahan
Rp 2.000.
Kutatap wajahnya setengah terperanjat dan berbicara terbata, “terima
kasih mas.” Uang itu segera kuberikan kepada sang sopir. Angkot pun segera
menderu pergi.
Rasa kantuk tak lagi berbekas. Berganti bayang-bayang harta
benda yang raib entah kemana. Aku coba memutar ulang rekaman perjalananku.
Buntu. Sementara siluet tangan penuh tato dari lelaki dengan banyak anting
menjuntai di telinga dan beberapa buah lagi di hidung yang beberapa kali
mengulur-ulur kantung lusuhnya di dalam angkot tadi balas menusuk nuraniku.
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana 27 Februari 2017.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/lelaki-bertato-dan-angkot_58b42a8fb47e6117050fe840
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/lelaki-bertato-dan-angkot_58b42a8fb47e6117050fe840
Comments
Post a Comment