Kecemasan Steven Gerrard pada Essien
Michael Essien dan pelatih Persib, Djajang Nurjaman/Kompas.com |
Di balik euforia kehadiran Michael Essien berseragam Persib
Bandung saya jadi teringat Steven Gerrard. Pemain yang memainkan 710 laga
selama 17 tahun di tim utama dari total 27 tahun di Liverpool dan berpetualang
selama 14 tahun di tim nasional Inggris sebelum hijrah ke Amerika Serikat,
bergabung dengan LA Galaxy pada 2015. Bocah dari Ironside Road yang begitu
mengidolai klub di kota kelahirannya itu sebelum bergabung dengan akademi klub
pada usia 8 tahun, lantas debut dengan tim utama 10 tahun kemudian pada 1998.
Dalam masa tersebut Stevie turut menjadi saksi perubahan di
tim kota di barat laut Inggris itu. Termasuk perubahan yang terjadi di
kompetisi sepak bola Inggris.
Saat bergabung dengan Akademi Liverpool, klub yang
dicintainya itu, adalah langganan juara. Hingga 1988, klub berjuluk The Reds
atau Si Merah itu sudah menyabet 17 trofi Divisi Utama. Pada bulan Mei tahun
tersebut Liverpool menjadi juara, meninggalkan Manchester United di posisi
kedua dengan selisih sembilan poin. Sementara di akhir bulan yang sama, Chelsea
kalah melawan Middlesbrough di babak play
off sehingga harus turun kasta.
Situasi berubah setelah Liga Primer dibentuk pada Februari
1992. Menurut kesaksian Gerrard pada buku keduanya “My Story” yang terbit tahun
2015, sebelum itu tidak ada pemilik klub atau manajer asing di klub-klub kasta
tertinggi. Baru di musim panas setahun kemudian hadir Ossie Ardiles di kursi
pelatih Tottenham Hotspur.
Ossie seperti membuka pintu bagi gelombang masuk pemain dan
pelatih asing yang datang kemudian. Lanskap sepak bola Inggris perlahan tetapi
pasti pun berubah. Para pemain lokal dan jebolan akademi Liverpool begitu juga
di klub-klub lain harus bersaing dengan pemain-pemain asing. Begitu juga di
tataran manajemen invasi pelatih dan asisten pelatih dari luar negeri tak
terbendung.
Gerard Houllier, mantan manajer timnas Prancis mulai
bergabung dengan Liverpool sebagai staf pelatih bersama Roy Evans. Gerard kemudian menjadi sosok penting bagi
Stevie. Tak terlupakan bagaimana nasihat Gerard kepada remaja yang berdiri
gemetaran di pinggir lapangan. Saat itu 29 November 1998, Liverpool menghadapi
Blackburn Rovers.
“Jaga bolanya untuk kita. Jaga posisimu sampai pertandingan
usai,”demikian bekal Gerard kepada Stevie sebelum menginjak lapangan sebagai
pemain utama untuk pertama kali di menit 85.
Masuknya pelatih dan pemain asing memang mengagetkan, tetapi
tidak terlalu mengguncang Stevie. Berita besar pada musim panas 2003 datang tak
terduga seperti sambaran petir di siang bolong. Roman Abramovich, biliuner
Rusia, mengakuisisi Chelsea. “Keterkejutan yang mengerikan,” demikian Stevie
membahasakannya.
Saat itu Stevie baru merayakan ulang tahun ke-23. Namun
pemahamannya tentang sepak bola dan kekuatan uang sudah cukup baik. Ia seperti
bisa membaca firasat buruk tentang masa depan Liga Inggris dan timnya.
Meski sempat bertanya-tanya berapa lama orang kaya itu akan
berada di Inggris, seiring berjalannya waktu tidak hanya Abramovich yang masih
bertahan, malah datang lagi orang-orang berkantong tebal lainnya. Ibramovich
membeli pelatih muda yang sedang naik daun, Jose Mourinho setahun kemudian. Situasi
ini membuat Stevie semakin gundah.
Belum lagi datang pelatih-pelatih asing, dan terjadi
perubahan di tubuh manajemen pucuk. Hingga kegemparan baru datang lagi saat
Sheikh Mansour datang meramaikan Liga Inggris dengan uangnya yang banyak untuk
menyulap Manchester City.
Persaingan semakin sulit setelah uang turut ikut campur.
Stevie sadar situasi makin pelik, tidak mudah lagi untuk merengkuh kejayaan
karena harus berhadapan dengan orang-orang berduit yang bisa membeli segalanya.
Saat Chelsea bertamu ke Anfield pada 3 Mei 2005, tidak lebih dari pertarungan
antara Klub Komunitas kontra Klub Biliuner. Stevie dan teman-teman bersama
puluhan ribu the Kop di sisi lapangan berperang menghadapi Mourinho dan
gengnya.
Gol tunggal Luis Garcia membuat Mourinho berang. Mantan manajer
Real Madrid dan FC Porto itu berang dengan proses terjadinya gol dan
menganggapnya “gol hantu”, sebutan yang selalu dibawa-bawa hingga satu dekade
kemudian. Liverpool lolos ke final Liga Champions. Chelsea yang telah
menginvestasikan tak kurang dari 140 juta pound tak mendapat apa-apa. Tetapi
bagi Abramovich jumlah tersebut tak ada artinya.
Memang Liverpool bisa berjaya di Eropa saat itu, tetapi
situasi sepak bola dalam negeri sudah berubah drastis. Kemenangan atas Chelsea
itu hanya tantangan awal dari tantangaan-tantangan lain yang datang
bertubi-tubi. Untuk menjadi juara lagi tidak hanya menghadapi Mou dan
Abramovich, tetapi juga para pemain berharga mahal, ditambah lagi situasi
serupa di pihak para pesaing lainnya.
Situasi sulit itu membuat Stevie setengah tak percaya dengan
perubahan yang tengah terjadi. Kemudian membuat dirinya turut menjadi sasaran
olok-olokan lawan sebagai orang yang tidak berguna bagi klub. Selama 17 musim
bersama Liverpool tak sekalipun angkat trofi Liga Primer Inggris.
Namun Stevie meyakini bahwa perjuangan memang sulit,
terutama setelah duit ikut ambil bagian dalam kompetisi. Dalam buku yang sudah
dialihbahasakan itu, ia menulis demikian. “Namun, sekarang saya bisa bilang
bahwa ada dua alasan mengapa saya tak pernah memenangkan paling tidak satu
gelar juara Inggris bersama Liverpool: Roman Abramovich di Chelsea dan Sheikh
Mansour di Manchester City.”
Stevie boleh saja berseloroh demikian karena ia tahu betapa
berat perjuangan menjadi seorang pemain untuk memenangkan gelar. Ketika uang
ambil bagian, apalagi dalam jumlah tak terkira, apa saja bisa terjadi.
Kompetisi tidak lagi murni pertarungan antara para pemain yang telah dibina dan
membina diri dengan susah payah. Bukan lagi adu strategi antarpelatih dan
manajemen untuk mencari bibit-bibit muda potensial, kemudian ditempa dan diuji
dalam tanur kompetisi. Tetapi ketika uang lebih berbicara maka proses panjang
dan berjenjang itu bisa terpotong, untuk mengatakan membuka lebar-lebar jalan
pintas.
Pemain dari luar bisa dengan mudah dibeli. Begitu juga gonta
ganti pelatih menjadi sesuatu yang biasa. Kegagalan di satu musim kompetisi tidak
lebih dari perjudian untuk kemudian menggelontorkan uang dalam jumlah besar di
musim berikutnya. Begitu siklus instan terjadi.
Dalam posisi seperti itu, seperti Stevie dan para pemain
lokal lainnya, semakin terancam. Mereka harus berjuang berkali-kali lipat untuk
bersaing dengan pemain dari luar. Kompetisi pun tak ubahnya arena perjuadian
untuk memutar uang dan mencari untung dari transaksi jual beli pemain jor-joran
di setiap jendela transfer.
Klub memang semakin dikenal luas. Nama dan prestisenya
semakin melambung. Nilai investasi pun semakin berlipat seiring meningkatnya
harga dan nama besar pemain dan pelatih. Pemasukan datang dari sana sini
seiring meluasnya pangsa pasar sebagai lahan garapan untuk meraup untung
berlipat ganda. Roda industri berputar, bergeliat dan menghasilkan keuntungan
berganda.
Tetapi ketika musim pertandingan internasional tiba, semua
pemain asing meninggalkan klub-klub mereka untuk membela negara masing-masing.
Roda kompetisi terhenti. Kesunyian datang memeluk erat. Pertanyaan berganti,
bagaimana nasib tim nasional di laga internasional itu?
Liga Inggris menjadi contoh paling nyata bahwa geliat liga
tidak berbanding lurus dengan prestasi tim nasional. Liga Inggris adalah contoh
kompetisi yang mengebiri para pemain lokal. Dan contoh paling buruk betapa
susahnya membangun tim nasional di tengah gemerlap kompetisi bertabur pemain
asing dengan kuasa sepenuhnya di tangan orang-orang berduit dari seberang.
Pada titik ini kehadiran Michael Essien di Persib Bandung
menghadapkan kita pada kegundahan yang sama seperti pernah dialami Stevie.
Memang, Liga Inggris jauh lebih dulu hidup dan berkembang. Tetapi kompetisi
sepak bola Indonesia bukan baru berumur setahun jagung. Di tingkat Asia
Tenggara, Indonesia adalah negara dengan tradisi sepak bola terkuat, meski
prestasinya kini tak lebih hebat dari Singapura, Filipina, Malaysia, apalagi Vietnam
dan Thailand.
Kita tentu tidak ingin menolak berkembang walau terbilang
telat. Menghidupkan kompetisi berjenjang dengan
banyak turnamen yang dikelola secara profesional adalah penting. Termasuk
menarik perhatian dunia internasional agar para pemain top ikut ambil bagian. Hadirnya
para pemain beken bisa meningkatkan gairah penonton, di samping ambil bagian dalam
transfer ilmu dan teknik kepada para pemain lokal.
Tetapi menjadikan liga Indonesia sebagai primadona baru tidak
harus mendatangkan pemain tua yang sedang dibayang-bayangi cedera dengan harga selangit (untuk ukuran pemain
Indonesia), meski masa lalunya bergelimang prestasi. Persib, dan Indonesia saat
ini sedang mengejar prestasi melalui regenerasi yang tetata baik, bukan nostalgia
masa lalu.
Saya tidak antipati terhadap Essien, dan nyinyir pada
Persib. Toh ia adalah salah satu pemain idola saya, pernah berseragam salah
satu klub pujaan, dan kini akan menjadi bagian dari klub besar di tanah air. Tetapi
saya hanya membayangkan bagaimana bila Essien tidak bisa memenuhi segala yang
kita harapkan. Dan apa yang pernah dikeluhkan Stevie dan kemudian hasilnya kita
lihat saat ini, berpindah ke Indonesia. Pemain lokal tersisih, klub-klub miskin
gigit jari.
Tulisan ini terbiat pertama di Kompasiana, 15 Maret 2016.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/kecemasan-steven-gerrard-pada-essien_58c91b65c323bde12350c2ba
Comments
Post a Comment