Jokowi dan Sejarah pada Sepotong Jeans
Pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, menawari Jokowi dan CEO Facebook Mark Zuckerberg celana jins saat blusukan, Senin, 13 Oktober 2014 (foto facebook/ tribunnews.com). |
Indonesia dan (mungkin) dunia pernah heboh
dengan “aksi 411”. Kehebohan tidak hanya menanggapi aksi ratusan ribu orang
yang turun ke jalan-jalan di ibu kota, juga pada apa yang dilakukan Presiden
Jokowi beberapa jam kemudian. Jokowi menggelar konferensi pers, hal mana yang
juga ditunggu-tunggu publik. Tidak hanya respon dan isi pernyataan Jokowi yang
jadi buah bibir, jaket yang dikenakannya pun tak luput dari perhatian. Malah
menjadi bahan pembicaraan baru yang ramaih di jejaring sosial.
Jaket jenis apa? Mereka apa? Harganya berapa?
Asli atau tiruan?Demikian beberapa rasa ingin tahu yang mengemuka menjadi
kehebohan tersendiri. Rasa penasaran terhadap jaket bomber berwarna hijau army itu sampai-sampai membuat tagar
#JaketJokowi bersaing dengan aneka tagar yang lebih relevan dengan “aksi 411”
di kolom trending topic twitter.
Kemudian baru diketahui bahwa jaket tersebut
seharga kurang lebih 1 juta. Keluaran ZARA, merek asal Spanyol. Meski demikian
orang lebih senang menyebutnya Jaket Jokowi.
Dandanan Jokowi memang bukan baru sekali ini
jadi pusat perhatian. Bermula dari kemeja kotak-kotak saat kampanye Pilgub DKI
Jakarta bersama Ahok sekitar empat tahun lalu. Sampai saat ini kemeja kombinasi
merah, biru, hitam dan putih “diwariskan” kepada Ahok dan Djarot Saiful Hidayat
sebagai bekal perjuangan menuju DKI 1 dan 2, sementara Jokowi sudah beranjak ke
kemeja putih lengan panjang.
Sebelum itu sepatu dan bahkan topi snap cat dengan tulisan “+62” pernah
jadi pusat perhatian. Padahal topi tersebut sudah biasa dipakai para pemain
bisbol, dan sudah jadi ciri khas penyanyi rapp. Entah mengapa saat Jokowi turun
ke sawah saat blusukan ke Kabupaten Karawang, Jawa Barat, September 2015, topi
tersebut kembali ramai dibicarakan. Dan bukan tidak mungkin diburu orang
sehingga turut menggeliatkan naluri para pedagang untuk menghadirkannya ke
pasaran seperti saat ini kemeja kotak-kotak mudah ditemukan di mana-mana.
Apa yang terjadi pada Jokowi kurang atau tidak
ditemukan pada presiden-presiden sebelumnya. Namun kehebohan seperti itu dalam
bentuk berbeda pernah terjadi jauh sebelumnya. Ada sepenggal kisah pada 1977 di
era presiden kedua, Soeharto. Suatu ketika, seperti ditulis Ayu Utami dalam “Si
Parisit Lajang” (2013:75), sang presiden muncul di halaman pertama Kompas saat menengok sebuah lahan
pertanian.
Tidak ada yang istimewa dengan berita
tersebut. Bukan hal baru orang nomor satu di negeri ini menjadi headline pemberitaan. Justru sepatu yang
dikenakan Soeharto menarik perhatian luas terutama di kalangan anak-anak muda.
Sepatu itu sejenis buts setinggi mata kaki dengan sol bergerigi. Terlepas dari
si pemakai, potongan sepatu itu terlihat berbeda untuk mengatakan keren pada masa itu. Baru beberapa waktu
kemudian diproduksi masal dan mudah dijumpai di alun-alun Bandung. Apa yang semula
asing dan eksklusif kemudian bisa menjadi milik umum dan menjadi biasa. Ya, sepatu
Kickers.
Entah mengapa Jokowi dan Soeharto bisa
memantik rasa penasaran banyak orang. Bisa jadi apa yang mereka pakai itu tidak
terlihat pas dan cocok dengan potongan tubuh atau usia misalnya.Bagaimana busana
yang kurang terlihat pas dan cocok bagi Jokowi dan Soeharto (tentu dari kaca
mata kita tentunya) mampu menghipnotis orang-orang dari berbagai latar belakang
untuk mencari tahu bahkan memilikinya pula?
Topi bisbol “+62” tentu sempat menggoda banyak orang untuk
memilikinya pula. Begitu juga magis kemeja kotak-kotak yang menarik orang untuk
merasa dekat atau mengidentifikasi diri dengan tokoh idolanya. Namun euforia topi itu misalnya lantas tenggelam tak
lama berselang, kecuali bagi penggemar musik rapp atau yang memiliki rapper
idola. Tidak lagi ramai dibicarakan bisa jadi karena sudah menjadi biasa, atau
ada sesuatu yang baru yang lebih menarik perhatian.
Bila ketertarikan pada beberapa barang
tersebut bisa segera hilang karena ada hal baru yang muncul, tidak demikian
dengan busana lintas generasi,lintas situasi dan kondisi: jeans. Ya, jeans
menjadi contoh paling nyata bagaimana sebuah lini busana tumbuh, berkembang dan
terus bertahan melintasi ruang dan waktu. Hampir tidak ada jenis pakaian yang
begitu awet dari generasi ke generasi selain jeans. Predikat the fashion survivor tampaknya tidak
berlebihan.
Sejarah, tentu dengan banyak versi, mencatat
jeans sudah muncul sejak seabad lalu. Bermula dari ide sederhana membuat celana
yang tahan lama dan tidak mudah sobek terutama untuk pekerjaan yang berat. Bermodal
kecakapan menjahit, Levi Strauss, yang saat itu baru
berusia 17 tahun, berpikir perlu menghadirkan celana yang awet bagi para
pekerja tambang. Ia baru saja datang bersama rombongan ke San Fransisco untuk
menambang emas.
Mula-mula ia membuat
sepotong celana kerja dari kanvas untuk tenda. Celana berwarna coklat itu
dijual seharga 22 sen dolar kepada seorang buruh tambang. Lantas menarik minat
penambang lainnya.
Meski kuat, celana buatan
Levi kurang nyaman karena bahannya kaku. Ia pun mengganti bahan celana dengan
kain yang lembut tetapi kuat. Di Eropa orang menyebutnya “serge
de Nimes (kain serge dari Kota Nimes, Prancis). Orang Amerika menyebutnya
denim.
Kain tersebut sebenarnya dibuat di Genoa,
Italia, disebut gene fustian. Konon
nama tersebut susah diucapkan maka orang Amerika menyebutnya jeans. Agar tidak
cepat kotor, Levi mencelup kain itu dengan indigo atau nila sehingga berwarna
biru. Istilah “blue jeans” pun muncul.
Dari buruh tambang, produk Levi pun terkenal
di kalangan penggembala ternak atau “cowboy.” Para koboi yang menyukai celana
ketat, mungkin agar bentuk pahanya lebih terlihat, merendam celana tersebut
sebelum dipakai. Sementara para pekerja tambang merasa perlu memiliki saku-saku
celana yang kuat menampung tekanan palu dan biji-biji emas.
Jacob Davis, penjahit dari Kansas City
mengajari Levi memasang paku-paku pada ujung jahitan saku. Kemudian hadirlah
sebuah paku pada jahitan di selangkangan celana agar tak mudah sobek bila
berjongkok.
Coba bayangkan kehadiran paku di selangkangan?
Levi pun menghilangkan paku atau menggantinya dengan yang berukuran kecil dan
pipih.
Dari situ usaha Levi berkembang. Ia meninggal
pada 1902. Sebelum meninggal, Levi mungkin tak membayangkan ziarah panjang
temuannya,yang jauh lebih panjang dari perjalanannya dari Jerman, tanah
kelahirannya menuju New York, lantas berakhir di San Fransisko.
Bermula dari kalangan buruh tambang dan
penggembala, jeans kemudian singgah di butik-butik kenamaan, dikenakan
orang-orang terkenal, terpampang di majalah mode kelas atas, dan akhirnya
merambah dunia.
Dari semula seharga puluhan sen, lantas
berkembang berjuta-juta kali lipat. Dari semula dengan warna dan desain
monoton, kemudian dimodifikasi dan ditambah sentuhan artistik, yang tentu saja
sesuai zamannya, hingga era sekarang. Dari semula diproduksi secara terbatas
karena keterbatasan teknologi kini hadir dalam jumlah tak terkira beriringan
dengan perkembangan teknologi yang gilang-gemilang.
Dari semula tanpa maksud apa-apa selain agar kuat
dipakai, lantas menjadi simbol status sebagai Haute couture atau “high sewing” atau “high fashion” dan
penunjuk karakteristik kelompok tertentu, kemudian menjadi masal.
Dan kini jeans tidak lagi mengacu pada celana
semata tetapi juga jaket, baju dan terusan, dan lain-lain. Ia tidak lagi
menjadi milik segelintir orang yang mencirikan kesan berbeda dari yang lain,
tetapi sudah bisa dipakai dan dimiliki siapa saja.
Tak ada sekat usia, kelas sosial, etnis,
bahkan situasi dan waktu. Mulai dari kantor hingga kamar pribadi, baik di
tempat pesta maupun saat tidur malam, jeans selalu berterima. Ia bisa berkarib
dengan jenis busana lainnya. Dipadu dengan pakaian apa saja pun bisa.
Meski segala perbedaan telah melebur, tetap
satu yang tersisa: harga. Ini yang membedakan jeans-ku dan jeans-mu, jeans kita
dan jeans mereka, jeans ini dan jeans itu.
Pada titik ini saya terbayang saat pertama
kali mengenakan sepotong jeans. Walau keberadaannya sudah beratustahun, dan
berpuluh-puluh tahun sebelum saya lahir, jeans baru menyentuh kulitku saat
duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saya memang dari keluarga sederhana,
namun untuk mendapatkan jeans saat itu bukan perkara mampu atau tidak. Daerah
kami masih terlalu jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi. Orang yang mempunyai
banyak uang belum tentu bisa mendapatkannya.
Saat ini jeans sudah ditemukan di mana-mana.
Tidak ada ruang sosial dan ekonomi yang steril dari jeans. Saya jadi berpikir
mengapa sejarah jeans bisa begitu panjang, bahkan nyaris abadi?
Saya coba mencerna sejumlah potongan peristiwa
bagaimana jeans bisa mendunia. Ada saat ketika film koboi begitu populer
menyihir dunia tidak hanya dengan keterampilan berkuda, tetapi juga busana yang
dikenakan: topi lebar, baju lengan panjang, dan tentu saja celana jeans ketat.
Selanjutnya kemunculan James Dean pada tahun
1955 melalui film “Rebel Without a Cause” membuat banyak orang
tergila-gilatidak hanya pada tampang dan kepribadiannya yang “cool” tetapi
jeans yang dikenakan. Periode itu jeans menjadi “must have item”. Tidak hanya
di kalangan anak-anak muda tetapi juga para serdadu Amerika ketika sedang tidak
bertugas di palagan Perang Dunia II.
Kemudian jauh setelah itu muncul si cantik
Brooke Shields dengan produk jeans Calvin Klein. Merek-merek ternama seperti Armani dan Versace pun turut serta. Jeans
sampai di tangan para desainer papan atas dunia.
Tetapi apa arti tahun 1970-an itu bagi
Indonesia? Meski lambat, akhirnya nyaris tak ada ruang yang tak tersentuh atau
menyentuh jeans saat ini. Sampai-sampai
tak lagi peduli bagaimana sebaiknya memperlakukan jeans secara semestinya.
Anjuran Corey Warren bahwa jeans tidak dianjurkan untuk terlalu sering dicuci tidak
selalu didengar.
Akhirnya sampai pada sejumlah pertanyaan. Apakah
jeans tidak punya korelasi dengan globalisasi dan kapitalisme? Apakah dunia
kita terlalu besar untuk dijangkau dengan serba kebaruan dan kita bukan bagian
dari pasar yang telah terkooptasi oleh selera masa, dan kadang menjebak kita
dengan kebutuhan palsu? Tentu, tidak.
Meski kita membenci kapitalisme, apalagi
dibumbui hegemoni Barat yang dipertentangkan dengan Timur yang terbelakang,
pada titik tertetu kita perlu menerimanya secara positif. Tidak hanya sebagai berkah seperti jeans yang
meruntuhkan setiap sekat perbedaan. Juga sebagai sesuatu yang penting, misalnya
minus monopoli (mustahil tentunya), agar seperti demokrasi: publik
diperhitungkan.
Dalam situasi itu setiap orang adalah pasar
yang penting. Bila demikian orang-orang seperti Jokowi pun terus tertantang
agar bisa terus “menjual” agar “laku” tidak hanya melalui busana tetapi juga kebijakan
dan kebijaksanaan. Dan kita tidak hanya sekadar mengekor karena terpukau pada penampilan,
sama seperti mengenakan jeans tidak hanya ikut arus dan mengekor yang lain,
tetapi karena benar-benar butuh. Penting. Pantas.
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 11 Maret 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/mudasiana-jokowi-dan-sejarah-pada-sepotong-jeans_58c40164eaafbdea023aa073
Comments
Post a Comment