Ganda Campuran Indonesia Merenda Masa Depan
Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di All England 2017/badmintonindonesia.org |
All England betapapun menjadi satu dari lima turnamen level
super series premier di samping Indonesia Open, Denmark Open dan China Open,
tetap memiliki daya tarik lebih. Keberadannya sebagai turnamen bulu tangkis
tertua di dunia mendatangkan prestise tersendiri bagi setiap pebulutangkis.
Melampaui ganjaran 11 ribu poin bagi
sang juara dan kucuran total hadiah 600.000 USD.
Tahun ini Indonesia membawa pulang satu gelar juara,seperti
tahun lalu. Bedanya di edisi ke-107 ini giliran ganda putra yang naik ke podium
tertinggi melalui pasangan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.
Kemenangan pasangan yang akan ke peringkat satu dunia itu mengulangi pencapaian
Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pada 2014, atau 11 tahun setelah Sigit
Budiarto/Candra Wijaya.
Sementara itu ganda campuran gagal mempertahankan gelar.
Praveen Jordan/Debby Susanto tak bisa mengulangi prestasi tahun lalu. Pasangan
berperingkat 6 dunia tersisih di babak pertama, dijegal pasangan Jepang, Yuta
Watanabe/Arisa Higashino.
Senior Praveen/Debby, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir justru
tampil lebih baik meski keduanya baru berpasangan lagi setelah “bercerai” sejak
awal tahun. Kondisi fisik yang tak prima menuntut istirahat lebih. Kesempatan
itu dipakai untuk mencari calon pasangan pengganti Liliyana Natsir di masa
mendatang. Usia Butet, sapaan Liliyana yang tak muda lagi dan sedang
dibayang-bayangi hasrat pensiun, menuntut PBSI dan tim pelatih ganda campuran
untuk segera mencari calon pendamping Owi atau Tontowi.
Owi/Butet tampil baik dengan tingkat persiapan yang minim.
Menurut pelatih kepala ganda campuran utama, Richard Mainaky, bila persiapan
kedua anak asuhnya lebih baik maka bukan mustahil bisa juara. Owi/Butet sudah
tiga kali juara All England, tahun ini langkah mereka terhenti di delapan
besar. Keduanya dijegal pasangan senior tuan rumah, Chis Adcock/Gabrielle
Adcock.
“Memang persiapan
Tontowi/Liliyana belum seratus persen. Karena Tontowi baru pulih dari gejala
pra tifus dan Liliyana baru pulih dari cedera lututnya. Kalau saya lihat semalam,
permainan Tontowi/Liliyana kalau persiapannya ditambah seminggu lagi, mereka
bisa juara,” beber Richard usai pertandingan kontra pasangan suami istri
Inggris itu kepada badmintonindonesia.org.
Dari sepak terjang Owi/Butet tergambar jelas pentingnya persiapan.
Hasil akhir tidak akan menghianati proses.Pelatih bertangan dingin ini
melanjutkan, “Seharusnya seperti itu, persiapan bagus, maka hasilnya pun akan
bagus. Seperti saat Olimpiade, dua bulan penuh mereka fokus.”
Meski persiapan cukup, hal penting yang tak bisa diabaikan
adalah praktik di lapangan. Tidak bisa tidak apa yang telah dipersiapkan
maksimal diterjemahkan saat pertandingan. Mengeksekusi praktik latihan. Itulah
saat untuk menguji sejauh mana keberhasilan proses latihan.
Praveen/Debby bermain kurang maksimal meski persiapan mereka
lebih dari cukup. Praveen misalnya kerap melakukan kesalahan sendiri. Boleh
dibilang ayunan langkah pertama kedua pasangan tidak padu dan meyakinkan.
Keduanya malah langsung bermain antiklimaks, berbanding terbalik dengan
performa tahun lalu.
Hal itu diakui Richard, seturut evaluasi Vita Marissa yang
mendampingi ganda campuran di All England. Start yang buruk berdampak pada
gagalnya Praveen/Debby mewujudkan target pertahankan gelar.
“Sebenarnya saya
taruh harapan pada Jordan/Debby, karena mereka dari segi persiapan lebih
maksimal. Dari laporan yang saya dapat dari Vita (Marissa) yang mendampingi,
penampilan Jordan/Debby kurang maksimal. Jordan telat startnya, sehingga banyak
melakukan pukulan-pukulan error,” kata Richard.
Lantas bagaimana pasangan lainnya?Tiga pasangan lainnya juga
bernasib seperti Praveen/Debby. Mereka adalah Hafiz Faisal/Shela Devi Aulia,
Alfian Eko Prasetya/Annisa Saufika dan Ronald Alexander/Melati Daeva
Oktavianti.
Praveen Jordan/Debby susanto gagal pertahankan gelar All England/badmintonindonesia.org |
Hafiz/Shela keok dari pasangan China, Zhang Nan/Li Yinhui
dua game langsung 21-16 dan 21-13. Begitu juga pasangan China lainnya, unggulan
lima, Lu Kai/Huang Yaqiong “membunuh” harapan Alfian/Anisa, 21-921-17.
Sementara Ronald/Melati sama sekali tak berkutik di hadapan pasangan senior Denmark
sekaligus finalis tahun lalu, Joachim
Fischer Nielsen/Christinna Pedersen.
Joachim/Christina yang menang mudah, 21-14 dan 21-15,
kemudian hanya menjadi perempatfinalis, kalah dari Lu/Huang yang akhirnya
menjadi juara.
Bagi Richard, meski Hafiz/Shela terhenti di langkah pertama,
performa keduanya membaik. Begitu juga Alfian/Anissa yang seharusnya bisa
berbuat banyak bila salah satu dari antara keduanya tidak bermasalah dengan
otot perut.
Hanya penampilan Ronald/Melati yang jauh dari harapan.
Richard pantas kecewa dan merasa tak puas. Dibanding dua pasangan lainnya
peringkat Ronald/Melati lebih baik. Semestinya keduanya bisa bermain lebih
baik. Saat ini mereka berada di peringkat 17, berada empat strip di atas
Alfin/Anisa, dan delapan tangga lebih tinggi dari Hafiz/Shela.
Tentu hasil ini memberi cukup gambaran bagaimana tingkat
persaingan ganda campuran Indonesia di kancah bulu tangkis dunia. Kehadiran
semua pemain terbaik dari berbagai negara di ajang tersebut menjadi parameter
untuk melihat kekuatan para pemain Indonesia sekaligus memproyeksikan peta
kekuatan. Dari sana lahir penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembinaan
para pemain di pelatnas.
Kita tentu berharap di turnamen lainnya Praveen/Debby bisa
segera “move on”, begitu juga Ronald/Melati. Sementara Hafiz/Shela dan
Alfin/Anisa terus meningkatkan kekompakan dan mengasah bobot pukulan.
China masih menjadi lawan terberat para pemain Indonesia, di
samping Denmark, Korea Selatan dan Malaysia yang mulai unjuk gigi.
Negara yang
disebutkan terakhir itu memiliki Peng Soon Chan/Liu Ying Goh dan Kian Meng
Tan/Pei Jing Lai yang kini berada di sembilan besar dunia. Peng/Liu bahkan
nyaris mencetak sejarah di All England andai saja mampu memenangkan pertarungan
sengit tiga game berdurasi 1 jam dan 26
menit menghadapi Lu/Huang di final. Selain itu Negeri Jiran juga memiliki Chen
Peng Soon/Goh Liu Ying yang menjadi finalis Olimpiade Rio 2016 setelah kalah
dalam perebutan medali emas menghadapi Owi/Butet.
Kemenangan Lu/Huang di final All England menunjukkan bahwa
China juga masih yang terbaik di ajang tersebut. Sejak All England naik level
menjadi turnamen Super Series pada 2007, kemudian menjadi Super Series Premier
empat tahun kemudian, tidak ada negara lain yang bisa menggeser China selain
Indonesia.
China mulai menguasai nomor tersebut sejak Zhang Jun/Gao
Ling menjadi juara pada 2006. Hingga tahun 2017, total China sudah merebut
tujuh gelar dan empat kesempatan lainnya menjadi milik Indonesia.
Bila merunut lebih ke belakang, boleh dikata pencapaian
Indonesia dalam satu dekade terakhir lebih baik dibanding sebelumnya. Sebelum
Owi/Butet mencetak “hattrick” pada 2012-2014 plus satu gelar dari
Praveen/Debby, Indonesia hanya mendapat satu gelar sejak 1979.
Pasangan Christian Hadinata/ Imelda Wiguna adalah pasangan
ganda campuran pertama yang berjaya di All England. Gelar perdana pada 1979 itu
hampir berulang dua tahun kemudian secara beruntun. Namun keduanya kandas di
tangan Mike Tregett/Nora Perry, pasangan asal Inggris yang dikalahkan di final
tahun 1979.
Baru 16 tahun
kemudian Indonesia bisa mengirim wakil ke final. Pasangan Trikus Heryanto dan
Minarti Timur mencapai partai puncak tahun 1997. Namun gagal dalam perebutan
gelar dengan Liu Yong dan Ge Fei asal China.
Situasi serupa berulang lagi pada 2008 dan dua tahun
kemudian melalui Nova Widianto dan Liliyana Natsir. Sayang pasangan China masih
terlalu tangguh. Pada 2008 keduanya kalah dari Zheng Bo dan Gao Ling, serta
Zhan Nan dan Zhao Yunlei dua tahun kemudian. Baru di tahun 2012, saat Liliyana
berpasangan dengan Owi, kedigdayaan China bisa dihancurkan, meski sebenarnya
keduanya bisa mencetak sejarah sebagai pasangan pertama yang meraih empat gelar
secara beruntun bila saja tidak dijegal Zhang/Zhao di tahun keempat.
Setelah masa keemasan Zhang/Zhao berakhir yang ditandai
dengan pensiunnya Zhao, kini peta persaingan ganda campuran dunia mulai
terbuka. China dan Indonesia tidak sendirian lagi. Negara-negara yang
disebutkan sebelumnya memiliki peluang yang sama. Belum ada pasangan yang
benar-benar konsisten seperti Zhang/Zhao menunjukkan bahwa peta persaingan
mencair. Setiap negara punya kans yang sama untuk bersaing di jajaran elit.
Pada titik ini, tantangan para pemain Indonesia menjadi semakin besar. Suara
genderang perang perebutan kekuasaan sedang bertalu-talu.
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana 16 Maret 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/ganda-campuran-indonesia-merenda-masa-depan_58ca1ecdd77a617906f080d1
Comments
Post a Comment