Dua Raksasa Bertarung, Semoga Indonesia Tak Jadi Pelengkap Penderita
Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri Sari diharapkan membuat kejutan di All England 2017/juara.net |
PP PBSI menargetkan satu gelar di All England 2017 yang
dimulai hari ini, 7 hingga 12 Maret mendatang. Sudah pasti target satu gelar
tersebut tidak untuk ganda putri, begitu juga tunggal putra dan tunggal putri.
Indonesia menaruh harapan besar pada sektor ganda putra dan ganda campuran yang
musim lalu berhasil meraih gelar melalui Praveen Jordan dan Debby Susanto.
Sejak absennya Nitya Krishinda Maheswari yang naik meja
operasi pada akhir tahun lalu, pelung ganda putri untuk berbicara banyak di Barclaycard
Arena, Birmingham, Inggris kali ini makin tipis. Sulit mengharapkan Grace,
sapaan Greysia Polii berjuang sendiri. Waktu yang ada terlalu singkat bagi
pemain senior itu untuk mendapatkan tandem yang pas, begitu juga berpadu satu
dengan pasangannya saat ini.
Patut diakui Greysia dan Nitya adalah pasangan ganda putri
terbaik Indonesia saat ini. Hanya keduanya yang mampu bersaing di jajaran elit
dunia. Grace/Nitya pernah berada di rangking dua dunia pada Maret tahun lalu,
dan kini posisi mereka melorot lima strip.
Tanpa pasangan peraih medali emas Asian Games Incheon 2014 dan
juara Singapura Terbuka 2016 itu menjadi
tantangan tersendiri bagi Grace bersama Rizki Amelia Pradipta dan tiga pasangan
lainnya. Seperti Grace dan Rizki, begitu juga Della Destiara Haris/Rosyita Eka
Putri Sari, dan dua pasangan “baru” Anggia Shitta Awanda/Apriani Rahayu, Tiara
Rosalia Nuraidah/Ni Ketut Mahadewi Istarani tertantang untuk bisa bersaing
dengan pasangan-pasangan lainnya.
Sejak awal tahun ini, menyusul absennya Nitya, pelatih ganda
putri utama Eng Hian kerap merotasi pemain yang ada di sejumlah turnamen.
Tujuannya agar mendapat komposisi yang pas tidak hanya untuk keperluan All
England juga turnamen-turnamen bergengsi level super series/premier lainnya.
Sebagai turnamen bergengsi yang diincar setiap pebulutangkis
sudah pasti dihuni para pemain terbaik dari setiap negara. Sejak babak pertama
peluang mengharapi pemain-pemain unggulan terbuka, apalagi bila pemain kita
bukan berstatus unggulan.
Tantangan sejak langkah pertama ini dirasakan Della/Rosyita.
Pasangan yang pernah lolos ke babak kedua All England tahun lalu harus
menghadapi unggulan tertas. Siapa lagi kalau bukan Misaki Matsutomo/Ayaka
Takahashi dari Jepang. Berdasarkan peringkat dunia, yang mencerminkan prestasi,
Della/Rosyita bukan lawan sepadan peraih medali emas Olimpiade Rio 2016 itu.
Namun Della/Rosyita yang kini berperingkat 13 dunia pernah mencatatkan
kemenangan atas Misaki/Ayaka pada pertemuan terakhir. Saat itu, di German Open
2015, Della/Rosyita menang rubber set 19-21 21-9 17-21.
Tentu cerita pertemuan di hari kedua All
England kali ini bisa saja berbeda. Konsistensi Misaki/Ayaka sudah teruji sejak
April 2016 saat keduanya melejit ke urutan satu dunia. Sejak menggeser para
pemain Tiongkok dari singgahsana, posisi keduanya tak tergeser hingga kini.
Berbeda dengan Della/Rosyita, Anggia
/Apriani akan menghadapi lawan relatif mudah yakni Anastasia
Chervyakova/Olga Morozova dari Rusia. Namun kejutan bisa saja terjadi bila
Anggia yang sebelumnya berpasangan dengan Ni Ketut dan menghuni rangking 14
dunia tak berhasil mempengaruhi tandemnya untuk memanfaatkan momentum.
Begitu juga Greysia/Rizki dan Ni Ketut/Tiara yang akan
menantang wakil Denamark yakni Maiken Fruergaard/Sara Thygesen dan Julie
Finne-Ipsen/Rikke Soby.
Mewaspadai Chen/Jia
Bila Misaki/Ayaka menjadi unggulan teratas lantas tidak
berarti peluang juara terbuka lebar. Keduanya dikepung oleh pasangan kawakan
Denmark Christina Pedersen/Kamilla Rytter Juhl (2) dan dua pasangan Korea
Selatan, Jung Kyung-eun/Shin Seung-chan dan Chang Ye-na/Lee So-hee di lingkaran
empat besar.
Nama-nama unggulan di belakang Misaki/Ayaka menunjukkan
bahwa mereka adalah lawan potensial untuk merebut takhta juara yang musim lalu
direbut wakil Negeri Matahari Terbit itu. Menariknya wakil-wakil Tiongkok
tersisih dari daftar tersebut. Padahal mereka adalah penguasa sejak 2009.
Misaki/Ayaka menumbangkan juara bertahan Tan Yuanting/Bao
Yixin di final tahun lalu. Kemenangan itu sekaligus meruntuhkan dominasi Negeri
Tirai Bambu yang begitu superior di nomor ganda putri. Tiongkok total mengemas
23 gelar juara sejak 1992, termasuk enam gelar beruntun yang diraih Gao
Ling/Huang Sui pada 2001-2006.
Tetapi kali ini Tiongkok hanya diwakili Chen Qingchen/Jia
Yifan (5), Luo Ying/Luo Yu (6) dan Huang Dongping/Li Yinhui (7). Apakah dengan
itu peluang Tiongkok merebut gelar menjadi kecil? Tentu saja tidak.
Dalam masa suramnya yang mulai terasa sejak Olimpiade
Rio,Tiongkok justru mendapatkan berkah melalui Chen/Jia. Meski keduanya baru
berusia 19 tahun, prestasi yang diraih sungguh fenomenal. Tahun lalu adalah
tahun keemasan mereka. Keduanya berjaya di Prancis Open Super Series dan
mencapai puncak di turnamen elit delapan pasangan pada penutup tahun, Dubai
Super Series Finals.
Chen Qingchen/Jia Yifan juara Super Series Finals 2016/news.xinhuanet.com
|
Keduanya tidak hanya cemerlang di satu nomor bersama
pasangan yang sama. Chen tercatat sebagai pemain serba bisa.Saat berpasangan
dengan Bao Yixin keduanya merebut gelar Australia Open. Sementara saat
bertandem dengan Zheng Siwen mereka merebut tiga gelar ganda campuran. Di All
England kali ini Chen akan turun di dua nomor. Selain bersama Jia, Chen akan
berpasangan dengan Zhen yang menempati unggulan pertama.
Prestasi fenomen ini menunjukkan bahwa Chen/Jia siap
menandingi kedigdayaan Misaki/Ayaka. Keduanya siap bersaing dengan para senior
untuk merebut mahkota di turnamen tertua di dunia itu.
Selain modal hasil baik sepanjang tahun lalu, dalam rekor
pertemuan dengan Misaki/Ayaka pun positif. Chen/Jia dan Misaki/Ayaka sudah tiga
kali berhadapan, dua di antaranya dimenangkan Chen/Jia. Pasangan masa depan
Tiongkok ini menjadi satu-satunya pasangan yang memiliki catatan bagus saat
berhadapan dengan sang juara bertahan dibandingkan pasangan-pasangan lain yang
menempati lima besar.
Apakah semua ini isyarat positif akan lahirnya juara baru,
juara termuda dalam sejarah? Chen/Jia masih harus berjuang sejak pertandingan
pertama menghadapi pasangan non unggulan dari Jepang Shiho Tanaka/Koharu
Yonemoto. Sementara Misaki/Ayaka akan diuji pasangan Indonesia di laga pertama.
Dalam daftar unggulan Misaki/Ayaka berada di pul atas,
sementara Chen/Jia di pul bawah. Bila keduanya mampu menjaga tren positif maka
pertemuan di final bukan sesuatu yang mustahil. Di sana kita akan melihat
perang antara dua pasangan berbeda generasi dan negara. Tidak hanya gengsi
pribadi, dan mahkota gelar prestisius, harga diri bangsa pun menyatu di sana.
Bila skenario demikian berjalan tanpa hambatan maka para
pemain kita tidak lebih dari pelengkap penderita di antara pertarungan dua
raksasa. Bila sebaliknya, harapan yang dihembuskan Ketua Bidang Pembinaan dan
Prestasi PBSI, Susy Susanto kita gantung setinggi langit. “Mudah-mudahan
hasilnya bukan cuma satu (gelar), tahu-tahu bisa ada dua gelar, amin.”
Selamat berjuang!
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 7 Maret 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/dua-raksasa-bertarung-semoga-indonesia-tak-jadi-pelengkap-penderita_58be97e1e3afbd6106541ff5
Comments
Post a Comment