AS Monako, Luis Milla dan Timnas U-22
Luis Milla saat memimpin latihan timnas U-22/Kompas.com |
Saat AS Monako dan Manchester City berhadap-hadapan untuk
kedua kalinya di babak 16 besar Liga Champions, Kamis (16/3) dini hari lalu,
entah mengapa saya lebih menjagokan City. Tak heran saat mendapatkan hasil
bahwa City menyerah 1-3 di Prancis, saya jelas kecewa. Hasil tersebut
diakumulasi dengan kemenangan 5-3 di pertemuan pertama di Etihad Stadium tidak
cukul meloloskan Manchester Biru ke perempat final.
Kedua tim sama-sama menggelontorkan enam gol ke gawang
lawan, tetapi City kalah dalam produktivitas gol tandang. Monako berhasil
mencetak tiga gol di kandang The Citizen, sementara City hanya mampu mencuri
satu gol saat balik mengunjungi Monako.
Meski kecewa, walau sejatinya saya bukanlah pendukung setia
City namun hanya terbawa rasa solidaritas dengan sepak bola Inggris yang mana
di sana tim pujaannku berada, saya pun bisa menerima hasil tersebut dengan
alasan lebih rasional. Monako bermain lebih baik, dengan keseimbangan antarlini
yang terjaga. Sementara City terlampau percaya diri bermain menyerang karena
sepertinya telah diindoktrinasi oleh gaya bermain dan nama besar sang manajer,
Pep Guardiola, yang jelas-jelas mengangkangi kerapuhan di lini belakang.
Kebesaran Guardiola sebagai pelatih sukses dalam sejarah
Barcelona tidak serta merta membuatnya dengan mudah menorehkan sejarah yang
sama di klub berbeda dengan serba perbedaan fundamental baik pada tataran klub
maupun kultur sepak bola. Barcelona dibangun dengan mata rantai regenerasi yang
apik, hal mana dengan sengaja diabaikan City yang mengejar prestasi dengan royal
berbelanja pemain yang sudah jadi.
Melihat Barcelona bermain dengan determinasi tinggi dan satu
dua sentuhan cepat alias “tiki taka” bisa dipahami bila merujuk pada gaya
bermain tim yang seperti terwariskan turun temurun dan terpelihara dalam
kompetisi reguler. Hal ini berbeda dengan sepak Inggris yang telah lama
berpatok pada kick and rush. Meski banyak
pelatih asing datang dan pergi, berhak menerapkan gaya berbeda disesuaikan
dengan kebutuhan sini kini, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari “bawaan”
masa lalu yang sengaja atau tidak terus hidup sebagai kultur sepak bola
setempat.
Tidak ada gunanya berpanjang-panjang dengan City karena toh
yang menatap babak selanjutnya adalah klub dari negara berdaulat yang luasnya
tidak lebih besar dari Jakarta Selatan itu. Dari negara kecil, tetapi telah
mengakar dalam sejak berdiri pada 1924, skuad yang kini diasuh Leonardo Jardim pun
menjadi penyelamat sepak bola Prancis setelah Paris Saint-Germain (PSG), sang
raksasa itu, harus menerima kenyataan pahit, ditelikung secara dramatis oleh
Barcelona.
Lebih dari itu, dan ini yang membuat kemenangannya lebih
berterima oleh akal sehat saya, Monako menuai hasil positif tidak melalui
proses instan, tidak oleh investasi sesaat. Tengok saja tiga pencetak gol Monako ke gawang si tua
dari Argentina, Wilfredo Caballero. Kylian Mbappe Lottin, Fabinho dan Tiemoue
Bakayoko. Yang tertua dari ketiganya adalah Fabinho, tetapi usianya baru 23
tahun, setahun lebih tua dari Bakayoko. Sementara usia Lottin bila tidak lebih
setahun maka akan genap separuh usia Caballero.
Nama-nama pemain muda itu mungkin tidak banyak yang tahu
selain mereka yang benar-benar memperhatikan sepak bola Prancis. Berbeda dengan
City yang dihuni oleh pemain kelas satu seperti Sergio Aguero, David Silva atau
Kevin De Bruyne. Nilai seluruh pemain City mencapai 525 juta euro atau setara
Rp 7,5 triliun. Sedangkan keseluruhan pemain Monako hanya sepertiga dari itu.
Namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa para pemain muda
Monako tidak akan menjadi rebutan di masa datang. Klub-klub besar tentu sudah
mulai memberi perhatian kepada talenta-talenta muda Monako. Dan nasib mereka
tidak akan beranjak jauh dari yang telah dialami oleh Anthony Martial dua tahun
lalu.
Bukan soal nilai dan prospek itu yang lebih relevan saat
ini. Proses bagaimana Monako membangun timnya menjadi catatan penting. Proses
yang terlambat disadari tetapi kesabaran itu yang membawa berkat saat ini. Monako
pernah mengambil jalan pintas seperti City atau tetangganya PSG pada 2013
silam. Dana sekitar 165 juta euro atau Rp 2,3 triliun dihabiskan untuk membeli
tiga pemain bintang sekaligus: Joao Moutinho, James Rodriguez dan Radamel
Falcao. Hasilnya? Coba cek di wikipedia adakah nama Monako di daftar juara
Ligue 1 saat itu?
Perubahan paradigma dari jalan pintas menuju proses
berjenjang pun ditempuh. Sang pemilik, Dmitry Ryboloviev, berani menunda
keinginan untuk segera berprestasi seperti sesama miliarder Rusia yang saat ini
memiliki Chelsea, dengan memberi perhatian penting pada pembinaan usia muda.
Mengejar prestasi dan prestise di atas bangunan klub yang rapuh dan sesewaktu
rubuh diterpa gelombang kepergian para pemain diganti dengan menginvestasikan
banyak uang untuk membangun fondasi akademi klub untuk mencetak pemain muda.
“Les Monegasques”, julukan Monako pun menjadi lebih dari
sebuah klub yang sudah jadi. Memberi tempat dan perhatian lebih kepada
pembinaan usia muda sebagai pemasok pemain ke tim utama kelak, sekaligus
menjadi ladang investasi untuk mendapatkan uang. Apa yang sedang ditempuh
Monako dengan mengoptimalkan akademi klub akan mendatangkan manfaat ganda.
Menyokong rantai regenerasi, sekaligus “mesin uang” melalui pemain muda yang
siap dijual. Martial, dan kini generasi Bakayoko dan Fabinho, selanjutnya Lottin
sudah, sedang dan akan membuktikan itu.
Kaca pengilon
Monako tak ubahnya kaca pengilon, tempat Indonesia berkaca
diri. Saat ini Luis Milla Aspas sedang dalam proses untuk menerjemahkan dengan
caranya sendiri membangun tim muda bernama tim nasional Indonesia U-22.
Belum lama pelatih asal Spanyol itu bertugas. Bersama Bima
Sakti sebagai asisten, dibantu Miguel Gandia sebagai pelatih fisik dan Eduardo
Perez yang menjadi pelatih kiper, mereka sedang membangun tim muda Indonesia.
Setelah melewati sebulan seleksi, sudah ditemukan 26 pemain yang akan
digembleng lebih lanjut melalui serangkaian uji coba dan pemusatan latihan.
Tujuan yang hendak dicapai adalah merebut medali emas SEA
Games Kuala Lumpur 2017 dan tim yang sama akan membela Indonesia di Asian Games
setahun kemudian di Jakarta dan Palembang. Dari daftar nama terpilih dan proses
yang telah dan akan ditempuh Milla tentu sedikit berlebihan dengan target
tinggi yang dipatok tahun ini.
Milla sadar bahwa tidak mudah menjadi yang terbaik di antara
tim-tim muda di kawasan Asia Tenggara yang notabene lebih dulu melewati proses
penggemblengan. Namun dari bakat dan talenta yang ada, dengan beberapa dari
antaranya pernah menjadi juara Piala AFF U-19 seperti Evan Dimas, Hansamu Yama
Pranata, Putu Gede, Paulo Oktavianus Sitanggang, dan Muhammad Hargianto, bisa
saja target tersebut tercapa. Tetapi proses ke sana butuh kerja keras baik pada
tingkat pemain maupun staf pelatih.
Milla tentu sedang memikirkan cara terbaik tepat untuk
mengaplikasikan rencana besarnya untuk tim nasional Indonesia setelah
mendapatkan kenyataan bahwa Indonesia bukan Spanyol yang pernah dibawanya
menjadi juara Piala Eropa U-21 tahun 2011.
Tidak mudah membuat duplikasi La Furia Roja berseragam Merah
Putih dengan gaya penguasaan bola dan membangun tim dari belakang atau “built
up play”melalui aliran bola-bola pendek dengan memanfaatan sisi lebar lapangan.
Meski secara potensi gaya “tiki taka” ala Spanyol memungkinkan diterjemahkan
Evan Dimas dan kolega tetapi untuk mencapai taraf yang diharapkan butuh waktu
tidak sedikit.
Dalam sejumlah kesempatan latihan terutama saat seleksi,
Milla benar-benar mengedepankan soal ujian kepada para pemain tentang operan
pendek dan cepat. Hal itu menunjukkan harapan sekaligus arah permainan yang
akan diperagakan anak asuh Milla. Sudah pasti gaya bermain yang sudah mengalir
dalam darahnya akan diterapkan pada para pemain Indonesia.
Pola 4-3-3 atau variasinya,
4-1-2-3 mengemuka sebagai pola kesukaan Milla yang akan diterjemahkan dalam
permainan tim muda Indonesia. Selain sudah mulai diperagakan saat latihan, hal
itu diperkuat oleh kenyataan hanya memiliki dua striker tengahyakni Ahmad Nur
Hardianto (Persela Lamongan) dan Dendy Sulistuawan (Bhayangkara FC). Hal ini
menunjukkan bahwa Milla akan mengoptimalkan penyerang sayap, baik di kiri
maupun di kanan, persis seperti pola 4-3-3 kesukaannya.
Pembuktian terhadap hal itu akan terlihat, Selasa (21/3)
besok di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor saat uji coba internasional pertama
skuat muda bentukan Milla menghadapi tim muda Myanmar. Tim “Malaikat Putih”
julukan Myanmar, dan tetangga Vietnam adalah dua negara di Asia Tenggara yang
juga menerapkan pola permainan cepat dengan operan-operan pendek.
Indonesia sudah mengalami bagaimana gaya bermain cepat
Myanmar itu membuahkan hasil saat kedua tim bertemu di SEA Games Singapura
2015. Saat itu timnas Indonesia U-22 yang diasuh Aji Santoso kalah 2-4 di
penyisihan grup, meski akhirnya mampu lolos hingga ke semi final.
Pertarungan antara dua tim muda ini akan mengukur sejauh
mana internalisasi gaya bermain ala Milla diterjemahkan oleh para pemain muda
Indonesia. Selain melihat hasil gemblengan Milla selama beberapa pekan
terakhir, juga menjadi tontonan menarik saat dua tim berusaha menunjukkan siapa
yang lebih mampu menuai hasil baik dari gaya bermain cepat dengan operan-operan
pendek. Apakah tiki taka Milla lebih berjalan baik atau kepakan cepat rombongan
“Malaikat Putih” yang lebih dulu mengambil start untuk meninggalkan lawan dalam
keterpurukan? Kita lihat saja nanti.
Apapun hasilnya yang pasti prinsip menghargai proses yang
sedang dijalani Milla patut didukung. Seperti Monako membangun sebuah tim butuh
kesabaran dan ketekunan. Hasil tidak akan mengingkari proses bila kita
benar-benar bertekun dan sedikit mengubur ego untuk segera berprestasi.
Ah, sungguh tak sabar menanti hasil kerja sementara Milla
dan koleganya.....
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 20 Maret 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/as-monako-luis-milla-dan-timnas-u-22_58cf9c58769773aa203dc4b5
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/as-monako-luis-milla-dan-timnas-u-22_58cf9c58769773aa203dc4b5
Comments
Post a Comment