Pembalikan Mitos dan Artikulasi Kreatif Kemanusiaan di FFPI 2016
Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosiana Silalahi mewakili pihak penyelenggara FFPI 2016 saat memberikan sambutan sekaligus membuka rangkaian acara/@KompasTV |
Apa yang ada di benak Anda ketika menyebut kata humanisme? Cukup berat
memang mencerna kata ini. Karena itu biar lebih gampang dicarikan padanannya
yang lebih sederhana. Kemanusiaan. Tentang kata ini masih juga berat bukan?
Singkat kata kemanusiaan itu mengacu pada nilai-nilai yang dianut manusia
dalam relasi dengan sesama. Di dalamnya ada toleransi, cinta kasih, tolong
menolong, gotong royong, welas asih dan masih banyak lagi.
Sampai pada titik ini kita bisa bertanya lagi. Apakah sesederhana itu kita
menerjemahkannya? Tentu saja tidak. Coba tengok begitu banyak soal yang tengah
mengemuka di sekitar kita yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Antara ketidakpahaman dan apatisme saling berpelukan. Membuat
hidup kita seperti terus berada dalam krisis kemanusiaan.
Apa yang ditempuh Kompas TV dengan menyelenggarakan Festival Film Pendek
Indonesia (FFPI) 2016 merupakan salah satu cara kreatif untuk menggemakan
kembali nilai-nilai luhur yang mulai pudar, dan tidak sedikit sengaja
dilupakan.
Selama lebih dari tiga bulan sejak 1 Oktober hingga 20 Desember 2016,
Kompas TV bekerja sama dengan Fakultas Film dan Televisi Universitas Multimedia
Nusantara membuka ruang bagi para pelajar dan mahasiswa untuk mengartikulasikan
kemanusiaan dalam rupa film pendek.
Ajang kreatif ini tidak langsung
muncul begitu saja. Workshop di 10 kota di Indonesia (Jakarta, Palembang,
Medan, Lampung, Denpasar, Banjarmasin, Gorontalo, Pekalogan, Jogjakarta dan
Banten) adalah bentuk pembekalan teknis dari sisi sinematografis kepada para
pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya mereka sendiri mengembangkan diri untuk
menggali dan menghangkat nilai kemanusiaan itu.
Hal ini jelas terlihat dari keragaman aspek atau unsur kemanusaan yang
diangkat. Dari 276 film pendek yang masuk ke meja panitia, terseleksi 10
finalis, masing-masing lima finalis untuk kategori pelajar dan kategori
mahasiswa. Jumat 20 Januari 2017 bertempat di Bentara Budaya Jakarta, ke-10
film itu diputar dan di hadapan ratusan pasang mata dari beragam kalangan dewan
juri memutuskan tiga terbaik.
Makbul Mubarak, pembuat film pendek sekaligus kritikus film yang menjadi
salah satu dewan juri FFPI edisi ketiga ini mengaku bahwa kriteria penilaian
tidak bertumpu pada hal-hal teknis semata. Benar bahwa unsur-unsur tersebut
penting dan itu tidak diabaikan saat penjurian. Bersama anggota dewan juri
lainnya yakni Deddy Risnanto (Perwakilan Kompas TV), Frans Sartono (General
Manager Bentara Budaya ) dan Ifa Isfansyah (Sineas), mereka butuh waktu sehari
untuk menentukan para pemenang. Tokh pada akhirnya setelah hal-hal teknis
skaligus standar awal untuk mempermudah seleksi seperti soal durasi, kesesuaian
tema dan sebagainya, tiba pada kriteria penting lainnya yakni originalitas dan
kesegaran dalam mengartikan humanisme itu.
Mengutip Ifa Isfansyah, “Penilaian ini pada akhirnya berujung diskusi pada
sesuatu yang tidak teknikal, karena suka ya suka. Juara nya yaitu film pendek
yang memiliki unsur-unsur yang saling mengisi dan pas terhadap gagasan yang
sebetulnya sederhana."
Antuasiasme penonton begitu tinggi/@KompasTV |
Hal senada juga dikatakan oleh Mubarak. “Bagaimana sebuah film pendek dapat
menafsirkan humanisme secara original dan rasanya menjadi manusia yang
sesungguhnya serta menawarkan perspektif segar tentang humanisme.”
Hemat saya apa yang dikemukakan dewan juri cukup beralasan dan itu terbukti
dalam 10 film pendek yang masuk ke grand final. Keragaman genre benar-benar ditampilan dan tidak dibeda-bedakan entah itu
berjenis dokumenter, fiksi atau animasi.
Belum lagi film-film dari daerah-daerah di luar Jakarta juga mampu
bersaing. Bahkan di kategori pelajar lima finalis semuanya berasal dari daerah
seperti Purbalingga, Surabaya, Nusa Tenggara Barat (NTB), Palembang dan
Lampung.
Kelima film pendek kategori pelajar itu adalah "Izinkan Saya
Menikahinya" dari SMA Rembang, Purbalingga; "Terminal" karya SMK
Negeri 2 Kahuripan NTB, "Kihung (Jalan Menikung)" dari SMK Negeri 5
Bandar Lampung, "2 Hari" Karya SMA Negeri 1 Muara Enim Palembang, dan
"Mata Hati Djoyokardi" karya SMA Khodijah Surabaya.
“Anggapan
bahwa film Jakarta lebih baik dari film di luar Jakarta itu mitos yang tak
benar. Kalau kita keliling Indonesia, kita sadar Jakarta itu kecil dibandingkan
dengan karya-karya daerah. Buktinya film-film ini,” tandas Makbul Mubarak.
Di tingkat mahasiswa, hanya satu karya dari daerah yang mampu bersaing.
“Omah” karya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta bersaing dengan "Different"
dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta, "Merengguk Asa di teluk
Jakarta" karya Universitas Negeri Jakarta, "I Love Me" karya
Institut Kesenian Jakarta, dan "Di Ujung Jari" karya Universitas Bina
Nusantara, Jakarta.
Satu unsur yang menjadi nilai lebih dari karya para mahasiswa adalah
hadirnya jenis animasi yang berjudul “Different.” Selain keberbedaan jenis itu,
karya-karya di kategori ini juga menyentuh tema-tema aktual seperti kehidupan
manusia perahu di teluk Jakarta dan realita modernisme yang sudah menyatu
dengan dunia maya. Film “Di Ujung Jari” dan “I Love Me” adalah penggambaran
dalam bentuk lain bagaimana relasi kemanusiaan yang telah diantarai oleh gawai.
Artikulasi
kreatif
Rosiana Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas TV saat membuka acara tersebut menyebut
film adalah cerminan masyarakat dan produk suatu bangsa. Melalui film kita
mengenal apa yang terjadi pada masyarakat sekaligus mencerminkan seperti apa
rupa bangsa kita.
"Film adalah cerminan masyarakat dan produk suatu bangsa, suatu bangsa
bisa dikenal salah satunya melalui film.”
Senada dengan Oci, panggilan karib Rosiana melalui film itu kita tahu
bagaimana masyarakat kita menghidupi humanisme itu, entah berarti positif atau
negatif. Memaknai jelas dan benar atau sebaliknya. Hal itu bisa dilihat dari
film-film yang ditampilkan. Setidaknya ada beberapa nilai humanisme yang
mengemuka dan bisa dijadikan pelajaran.
Keadilan
tanpa pandang bulu
Aling adalah seorang murid baru. Sebagai murid baru ada banyak hal yang
harus dilakukan untuk beradaptasi baik itu teman-teman, iklim akademik maupun
lingkungan sekolah. Selama dua hari, seperti judul film pendek ini, Aling
mendapatkan banyak hal baru.
Dengan piawai siswa SMA Negeri 1 Muara Enim Palembang mengangkat arti
penting kejujuran. Hal itu tercermin dari adanya kanting kejujuran yang
terlekat di sudut sekolah. Di sana tidak ada penjaga dan tanpa pengawasan sama
sekali.
Selain itu, di sekolah ini tidak ada pembedaan terhadap status para siswa.
Setiap orang diperlakukan sederajat dan tanpa pandang bulu. Saat hari kedua
Aling mendapati seorang siswa bernama Raihan terlambat ke sekolah. Seperti
dirinya yang terlambat, Raihan juga mendapat hukuman setimpal. Keduanya
diwajibkan memungut daun kering di halaman sekolah.
Kesetiaan
dan janji bertepuk sebelah tangan
Hal ini terlihat dari film berjudul “Mata Hati Djoyokardi. Mengambil bentuk
dokumenter, film ini berkisah tentang Djoyokardi yang setia membesarkan sang
anak yang ternyata difabel.
Meski renta dan hidup sangat sederhana, kakek ini tak kenal lelah mendampingi
dan membesarkan sang anak. Peri hidup ini mengajarkan hal penting tentang
kesetiaan terutama terhadap tanggung jawab yang diberikan sebagai seorang ayah.
Kesetiaan yang merupakan bentuk lain dari kesabaran itu termasuk terhadap
hal-hal yang semula dianggap mustahil. Cacat tidak menjadi halangan untuk
meraih impian dan cita-cita. Hal itu yang ditekanan Djoyoardi pada mata hatinya
tersebut.
“Ijinkan Saya Menikahinya” dalam cara yang lebih menggelitik membahasakan
tentang janji yang tak bisa ditepati Suryono pada Suryani. Janji yang telah
diikrarkan Suryono untuk menikahi sang pujaan hati terpaksa bertepuk sebelah
tangan. Bukan karena tugas atau alasan pekerjaan yang membuat janji tersebut
tak berujung manis.
Latar belaang Suryani berkakek simpatisan PKI membuyarkan semua rencana.
Padahal segala persiapan telah dilakuan mulai dari pakaian hingga segala
atribut pesta lainnya.
Meski mengiris hati dan mengaduk emosi dengan menampilkan logat Ngapak
Banyumasan yang kental selingan bahasa kekinian cukup jitu menghibur. Beberapa
kali tawa penonton pecah.
Menghapus
prasangka
Selama ini terminal hampir berkonotasi negatif. Berbagai perilaku minor
hampir selalu dilekatkan dengan tempat persinggahan itu. Tetapi melalui film
“Terminal” pandangan tersebut dibongkar.
Di tempat tersebut masih bercokol nilai belas kasih dan perhatian meski
kerasnya persaingan tak bisa dielak. Dua bocah pengamen yang menyambung hidup
dari para penumpang yang singgah sempat bersitegang untuk mendapatkan sisa
makanan yang sengaja ditinggalkan penumpang.
Namun melalui sosok seorang anak lainnya hendak disampaikan bahwa di tempat
itu masih ada nilai kebaikan. Sebungkus roti yang diminta dari seorang
penumpang yang hendak naik ke bus masih sempat ia bagikan kepada rekannya yang
lain yang tadi beradu fisik untuk mendapatkan jatah yang tertinggal di kursi.
Sekeras-kerasnya hidup di terminal, masih ada nilai humanisme di sana.
Menghancurkan diskriminasi
Selain nilai-nilai tersebut ada pula nilai-nilai lain yang sudah tergerus
dari kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari film-film yang ditampilkan
para mahasiswa. Film “Different” yang dikemas dalam gaya animasi memperlihatkan
diskriminasi dalam kehidupan masyarakat.
Karakter-karakter yang ditampilkan memiliki warna berbeda-beda. Setidaknya
pembagian itu berdasarkan jenis kelamin. Warna berbeda menunjukkan adanya
distingsi atau pembedaan yang terkadang melahirkan diskriminasi. Demikian juga
dengan warna kendaraan yang menunjukkan status sosial berbeda-beda.
Potongan film "different"/Khairunisa |
Meski demikian film ini bukan hendak mengkampanyekan hal itu. Seperti
diutarakan filmaker ini film tersebut hendak membongkar diskriminasi tersebut
yang ditandai dengan adegan akhir yakni terjadi tabrakan kendaraan. Di sana
pembedaan itu hendak dilebur.
“Setiap orang memiliki cara berbeda-beda untuk bahagia dan
membahagiakan,”ungkap sang pembuat film tersebut dalam sesi tanya jawab.
Soal pembedaan itu terlihat juga di film lainnya yakni “Mereguk Asa di
Teluk Jakarta.” Film ini berbicara tentang kehidupan manusia perahu asal
Indramayu yang menggantungkan hidup dari mencari ikan di teluk ibu kota.
Namun kenyataan yang dihadapi sungguh memprihatinkan. Kondisi laut yang
kotor mempersempit peluang mendapat hasil tangkapan yang banyak. Belum lagi
tuntutan akan kebutuhan ekonomi dan pendidikan keluarga yang harus dipenuhi.
Di sini muncul kendala bahwa pria bernama Pak Bunali itu tidak bisa
mendapatkan hak yang sama karena ia belum terdata secara resmi sebagai warga
ibu kota. Hal ini benar-benar menyulitkannya untuk tidak bisa mendapatkan
keistimewaan seperti warga ibu kota lainnya.
Dunia dalam
genggaman
Bukan rahasia lagi bahwa saat ini hidup kita sudah banyak berpindah dari
dunia nyata ke dunia maya. Bahkan dunia kedua itu hampi menarik seluruh diri
kita. “I Love Me” menggambarkan seorang perempuan muda yang sibuk bergaul di
sosial media. Segala sesuatu yang terjadi di dunia nyata di bawa masuk melalui
gambar dan postingan di berbagai jejaring sosial. Dunia seperti hanya dihuni
oleh dirinya sendiri.
Dalam situasi ini perempuan itu terlihat asing dan sendiri. Ia lebih sibuk
dengan diri sendiri dan dengan telepon genggamnya itu. Namun betapa mewahnya
dunia maya tidak bisa memenuhi kebutuhan kita secara paripurna.
Justru melalui orang di sekitar hal-hal yang tidak kita temukan di dunia
maya kita peroleh. Ternyata dalam penggembaraan mencari momen-momen menarik
untuk dibagi di jejaring sosial wanita tersebut tak bisa memastikan baterai
telepon tersebut selalu terisi penuh. Ia butuh tuang nasi goreng untuk mengisi
kembali daya di telepon genggamnya.
Film lainnya “Di Ujung Jari” dari sudut berbeda menggambarkan realitas
serupa. Smarthpone benar-benar memangsa seluruh hidup seorang lelaki muda.
Dalam perjalanan pulang pada suatu malam telepon genggam kesayangannya
dijambret. Saat ia kehilangan benda tersebut ia mendapatkan sesuatu yang lain
yang lebih berarti yakni kasih sayang dan perhatian dari sang
ibu.sedekat-dekatnya kita dengan teknologi tetap tak bisa menggantikan manusia.
Malah nilai-nilai kemanusiaan itu membuat hidup kita menjadi lebih terasa
berarti.
Mencetak
sineas
Mengutip pendiri Kompas Gramedia, Jacob Oetama, Rosiana mengaku bahwa
Kompas TV pun berkewajiban untuk terus menumbuhkan harapan. Tidak hanya concern pada berita dan informasi tetapi
juga pada hal-hal penting seperti ini.
Atas dasar itu Rosi berharap festival film ini bisa menjadi jalan bagi
lahirnya para sineas-sineas handal suatu hari nanti. Setidaknya dari hasil
karya para pemenang terlihat bahwa harapan tersebut bukan isapan jempol.
“Saya
bayangkan para finalis pelajar dan mahasiswa pasti bisa jadi sineas-sineas
terkenal yang akan membanggakan Indonesia di kancah internasional,” tandas
Rosiana.
Meski
demikian patut diakui bahwa jalan tersebut tidak selalu lurus. Dalam konteks
Indonesia iklim positif bagi para insan kreatif harus terus dibangun. Bertemu
setelah acara, Ifa Isfansyah mengaku bahwa dibutuhkan banyak hal untuk mencetak
para sineas. Salah satunya adalah melalui komunitas film.
Sejauh ini
di kota-kota besar sudah berdiri banyak komunitas film termasuk yang hadir pada
malam itu. Diharapkan para finalis ajang ini bisa membawa harapan bagi
berdirinya komunitas-komunitas film di daerah-daerah sehingga di tahun
mendatang saat ajang serupa digelar lagi makin banyak yang ikut berpartisipasi.
Para juara kategori
pelajar saat mendapat hadiah/@KompasTV
|
Daftar
pemenang
Juara 1 : Izinkan Saya Menikahinya (SMA Rembang Purbalingga)
Juara 2 : Mata Hati Djoyokardi (SMA Khadijah Surabaya)
Juara 3 : Terminal (SMK Negeri 2 Kuripan NTB)
Kategori Mahasiswa
Kategori Mahasiswa
Juara 1 : I Love Me (IKJ)
Juara 2 : Different (Binus)
Juara 3 : Merengguk Asa di Teluk Jakarta (UNJ)
Kategori
pelajar juara satu hingga tiga masing-masing mendapat hadiah Rp 8 juta, Rp 6
juta, dan Rp 4 juta serta voucher menginap di Hotel Amaris. Sementara pemenang
untuk kategori mahasiswa berhak atas uang Rp 10 juta, Rp 8 juta, dan Rp 6 juta
serta voucher menginap di Hotel Santika
Terima kasih Kompas TV, Proficiat para juara dan terus berkaria untuk semua!
Terima kasih Kompas TV, Proficiat para juara dan terus berkaria untuk semua!
Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 27 Januari 2017 setelah menjadi saksi di malam penganugerahan.
Comments
Post a Comment