Freeport, Persipura dan Kedaulatan Kita
Persipura Jayapura menerima bonus Rp 1
Miliar dari PT Freeport Indonesia karena berhasil menjuarai Torabika Soccer
Championship2016/Kompas.com
|
Pernyataan pedas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Ignasius Jonan kepada PT Freeport Indonesia semakin mempertegas
ketidakberesan relasi antara Indonesia dan perusahaan tambang tersebut. Jonan,
seperti dilansir Kompas.com tegas menusuk balik pengelola pertambangan di Papua itu yang dinilai terlalu
“rewel” seakan-akan paling besar sumbangsihnya bagi pemasukan negara.
Padahal, menurut mantan menteri perhubungan itu kontribusi
Freeport hanya Rp 8 trilun per tahun.Jumlah tersebut jauh di bawah penerimaan
negara dari cukai rokok, Rp 139, 5 triliun per tahun, sumbangsih devisa dari
Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri sebssar Rp144 trilun pada 2015, atau
pemasukan dari PT Telkom sebesar Rp 20 triliun.
Jonan menyerang balik atas ancaman perusahaan induk PT
Freeport Indonesia, Freeport McMoran Inc yang akan menggugat h Indonesia ke Mahkamah
Arbitrase Internasional. Persoalan ini mengemuka setelah terbitnya Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014. Poin utama
dalam Permen tersebut adalah membolehkan ekspor konsentrat atau mineral hasil
olahan hanya sampai 11 Januari 2017 (Kompas,
20 Februari 2017, hal.17).
Bagi Freeport aturan ini cukup memberatkan. Saban enam bulan
Freeport mengekspor tak kurang dari 500.000 ton konsentrat. Pemerintah kemudian
menengahi keberatan Freeport dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2017. PP yang
berlaku sejak 11 Januari itu mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat hingga
lima tahun ke depan. Namun ada syaratnya. Ini yang paling memberatkan yang
membuat Freeport meradang: harus mengubah status operasi dari kontrak karya
(KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Di samping itu kewajiban
divestasi saham paling sedikit 51 persen dalam 10 tahun ke depan, serta
mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku (prevailing). Selain itu pembangunan smelter seperti digariskan
sebelumnya mesti tetap dijalankan.
Sikap tegas pemerintah yang kemudian sedikit melunak dengan
memberikan rekomendasi ekspor konsentrat pada Jumat (17/2) dengan kuota 1,1
juta ton yang berlaku selama setahun tetap tak membuat Freeport tidak menarik
ancaman untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum internasional dan
mengambil langkah-langkah mengagetkan lainnya. Produksi akan dikurangi sehingga
berpotensi mengurangi tenaga kerja. Bahkan sejumlah tenaga kerja asing sudah
dipulangkan.
Gambar dari
www.dennysiregar.com
|
Bila Freeport bergeming dengan langkah-langkah tersebut maka
akibat lanjutnya sudah pasti terjadi. Dampak sosial dan ekonomi akan mengemuka
setidaknya terkait kepentingan rakyat Papua yang selama ini menggantungkan
hidupnya. Sementara masyarakat Indonesia secara luas akan merasakan akibatnya
setidaknya dari remah-remah perusahaan tambang raksasa itu meski kecil
nilainya. Dalam 25 tahun masa kerjanya, Freeport telah menyetor Rp 214 triliun.
Jumlah kecil untuk kekayaan luar biasa yang telah mereka bawa pergi bersama
ekses-ekses lainnya!
Sampai pada titik ini kita perlu bertanya dan mempertanyakan
kelanjutan sikap pemerintah. Apakah ancaman-ancaman tersebut akan membuat
pemerintah goyah? Apakah “nyanyian” Freeport itu membuat Indonesia melunak?
Kita menantikan kelanjutan masalah ini. Kita berharap kedua
pihak bisa mendapatkan jalan tengah. Mundurnya Presiden Direktur PT Freeport
Indonesia, Chappy Hakim beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa persoalan ini
tidak ringan, sama atau bisa lebih berat dari skandal “papa minta saham” yang
membuat Maroef Sjamsoeddin
meletakan kursi orang nomor satu itu pada akhir 2015 lalu.
Di satu sisi menteri Jonan mempersilahkan Freeport mengambil
langkah arbitrase. Harapannya penyelesaian secara hukum itu lebih dikedepankan
ketimbang upaya pemecatan karyawan. Namun pemerintah juga perlu waspada jangan
sampai langkah-langkah serupa sebagai alat menekan pemerintah.
Di sisi lain ini menjadi titik balik Indonesia untuk melihat
kembali makna dan posisi Indonesia di hadapan perusahaan tambang asal Amerika
Serikat itu .Apakah sejak setengah abad silam, saat KK pertama kali
ditandatangani, Indonesia umumnya dan rakyat Papua khususnya sudah mendapatkan
manfaat sebesar-besarnya?
Lebih dari itu, apakah pemerinta masih mau mengingkari
amanat konstitusi,seperti pasal 33 ayat 3UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”?
Kontribusi Freeport ada, dan tak tak terbantahkan.Indonesia,
rakyat Papua, bahkan sampai klub sepak bola Persipura Jayapura pun
merasakannya. Namun tidak berarti Indonesia harus patuh apalagi tunduk pada
kemaun investor yang kepadanya dipercayakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam tersebut. Selain kepentingan masyarakat Indonesia yang dikedepankan,
Indonesia pun harus berdaulat dan menjadi tuan atasnya.
Saatnya Indonesia bersikap. Jangan sekali-kali terpacing
apalagi termakan ancaman Freeport dengan “menyandera” karyawan, juga
(seandainya) Persipura Jayapura!
Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 22 Februari 2017.
Comments
Post a Comment