Berapa Lama Menanti Chong Wei, Peter Gade, Lin Dan, dan Taufik Hidayat Baru?
Empat sekawan dari kiri ke kanan, Peter Gade, Lin Dan, Chong Wei dan Taufik Hidayat/BadmintonUpdates |
Sektor tunggal putra dunia pernah diwarnai persaingan sengit
antara empat pemain terbaik dari empat negara berbeda. Taufik Hidayat dari
Indonesia, Peter Gade Christensen dari Denmark, Lee Chong Wei dari Malaysia dan
Lin Dan dari Tiongkok.
Keempat pemain ini selalu bersaing di pentas bulu tangkis
setidaknya sejak Taufik dan Peter Gade mulai mencuri perhatian menjelang tahun
2000 selanjutnya kemunculan Lin Dan dan Chong Wei, hingga Taufik pensiun pada
2012, tahun yang sama saat Gade juga gantung raket.
Selama rentang waktu tersebut, pertemuan di antara keempat
pemain ini selalu ditunggu-tunggu. Masing-masing dari antara mereka memiliki
keunggulan dan kelebihan yang tidak dimiliki yang lain. Saat mereka bertemu
tidak hanya rivalitas untuk memenangkan laga yang dicari, juga kepiawain
masing-masing yang menarik disaksikan.
Misalnya, Taufik yang tidak hanya kencang dalam smes juga
memiliki power backhand yang istimewa.
Kecepatan backhand smes Taufik pernah
mencapai angka 206 km/jam, anugerah yang melambungkan namanya dan impian yang
hingga kini masih terus dikejar para penerus. Sementara di sisi berbeda, Gade
yang jangkung itu sangat harmonis mengggabungkan antara serangan cepat, gerakan
kaki yang halus dan tekanan konstan. Tipuan-tipuan dan pancingan-pancingannya sangat
jeli dan terukur. Melihat Gade bermain kita tidak hanya melihat lawannya jatuh
bangun menjangkau ruang-ruang sempit, juga bagaimana Gade memainkan harmoni
yang indah itu.
Dari segi konsistensi Chong Wei dan Lin Dan unggul.
Rivalitas keduanya bahkan masih berlangsung hingga kini. Terakhir kali kita
menyaksikan partai “el clasico” di arena bulu tangkis yakni di semi final
Olimpiade Rio de Janeiro lalu. Saat itu Chong Wei sukses mengandaskan Super
Dan, sekaligus mendekatkan legenda Malaysia itu dengan medali emas pertama
dalam karirnya setelah di dua edisi sebelumnya meraih perak. Itu juga setelah
kalah dari Lin Dan.
Bagi Peter Gade menyebut dua edisi Olimpiade sebelum di Rio itu
memiliki arti sendiri. Bisa jadi seperti membuka luka lama. Namun di situlah
kita mendapati bagaimana tingkat persaingannya dengan Taufik dan Lin Dan.
Keempat sahabat dalam salah satu laga eksibisi/screenshot youtube |
Di Olimpiade Athena Gade nyaris tembus semi final andai saja
ia tidak lebih dulu bertemu Taufik. Setelah lolos dari hadangan Chien Yu-Hsiu
dari Taiwan dan Nikhil Kanetkar dari India, Gade bertemu Taufik di semi final.
Saat itu patut diakui Taufik sedang on
fire. Gade takluk straight set dengan
skor identik 15-21 dan 15-21. Lolos dari Gade, Taufik kemudian bertemu Shon
Seung-mo dari Korea Selatan dan memenangkan pertarungan itu untuk
mempersembahkan emas. Sementara pemain Indonesia lainnya, Sony Dwi Kuncoro
kebagian medali perunggu.
Empat tahun kemudian, tahun 2008, di Tiongkok. Giliran Lin Dan
yang jadi bahan pembicaraan. Gade kembali menelan pil pahit setelah kandas di
babak yang sama dari Super Dan yang kemudian menjadi juara.
Di Olimpiade Rio, giliran Lin Dan dan Taufik bersaing di
semi final. Julukan sebagai “Mr.Runner-up” semakin pantas disematkan kepada Lee
setelah di final kalah dari Chen Long. Sebelum di Rio, Lee lebih dulu
mendapatkan julukan itu setelah kandas di final Kejuaraan Dunia 2015 di
Jakarta. Hingga periode itu tercatat Lee sudah enam kali kandas di partai
puncak turnamen akbar, di antaranya empat kali di Kejuaraan Dunia dan dua kali
di Olimpiade.
Kekalahan di Brasil itu menandai penurunan performa Lin Dan
yang sebelumnya sangat superior. Dibandingkan ketiga rekan segenerasi itu,
pemain yang kini berusia 33 tahun itu paling banyak mengoleksi gelar. Selain
dua keping emas Olimpiade, di lemari prestasinya ada lima gelar Juara Dunia
(2006, 2007, 2009, 2011 dan 2013), dan jumlah yang sama untuk gelar All England
yang diukirnya tahun 2004, 2006, 2007, 2009, dan 2012.
Selain dua ajang besar itu hampir semua turnamen mayor sudah
pernah dimenangi. Puncaknya pada usia 28 tahun ia sudah memenangkan sembilan
turnamen bergengsi mulai dari Olimpiade, Kejuaraan Dunia, Piala Thomas, Piala Sudirman,
Super Series Finals, All England, Asian Games hingga kejuaraan Asia. Ia menjadi
pebulutangkis pertama yang menorehkan catatan impresif itu dan berhak atas
predikat “Super Grand Slam”.
Tidak hanya Lin Dan yang bisa menguasai puncak bulu tangkis
dunia. Taufik dan Peter Gade juga pernah berada di urutan teratas. Taufik baru
bisa berada di puncak pada tahun 2000, tiga tahun setelah Gade merasakannya. Tidak
hanya di tingkat dunia, di level Eropa, sejak 1998 hingga 2010 Gade adalah
penguasanya.
Lin Dan dan Chong Wei usai semi final Olimpiade Rio 2016 |
Meski Lin Dan paling
lama menyandang status pemain tunggal putra nomor satu, Chong Wei-yang saat ini
masih di puncak dunia-pernah menjadi nomor satu selama 199 pekan secara
beruntun sejak 21 Agustus 2008 hingga 14 Juni 2012. Sementara di arena Asian
Games, Taufik paling superior dari ketiganya karena berhasil menggondol tiga
medali emas.
Paparan singkat di atas adalah bagian dari jejak prestasi
yang diukir dari persaingan di antara mereka. Dari lapangan sebagai lawan
hubungan mereka kemudian berlanjut ke luar lapangan sebagai sahabat.
Kedekatan relasi mereka saat ini tidak hanya memantik rasa
kagum, serentak mengundang rasa rindu. Kapan pencinta bulu tangkis dunia
kembali mendapatkan tontonan menarik dari para pemain hebat seperti mereka?
Saat ini dan mungkin sampai satu atau dua tahun mendatang
kita masih bisa menyaksikan Lin Dan dan Chong Wei bersaing di senja karir
mereka. Namun setelah itu, siapa saja yang akan mengisi panggung bulu tangkis
dunia?
Tidak mudah memang menjawab pertanyaan ini. Masih
bercokolnya Lee di puncak dunia menunjukkan bahwa belum ada generasi baru yang
benar-benar istimewa bisa menggusur para pemain senior seperti Lee, Lin Dan
bahkan Jan O Jorgensen dari Denmark. Di sisi lain keempat pemain itu, begitu
juga pebulu tangkis legendaris lainnya, seperti terlahir dengan anugerah
istimewa.
Tentu saja perjuangan dan kerja keras mereka patut diacungi
jempol. Tentang ini Lee dan Lin menjadi contoh paling aktual. Selalu gagal berkali-kali
bahkan dengan cara dramatis sekali pun, Lee tetap tegar. Begitu juga ketika
tersandung masalah doping tidak membuatnya patah arang.
Saat acara Yonex The Legend's Vision,
di Jakarta, Senin (17/8) tahun lalu yang juga dihadiri Taufik, Peter Gade, minus
Lin Dan, Lee berkata bahwa dirinya perlu berjuang keras untuk mempersiapkan
diri. Ia tahu bahwa dalam setiap turnamen hanya ada satu juara sehingga
persiapan yang matang dan perjuangan selama pertandingan adalah harga mati.
Selain butuh kedisiplinan ekstra, patut diakui bulu tangkis
dunia saat ini memang sedang krisis bibit-bibit istimewa. Tidak hanya Indonesia
setelah era Taufik, Tiongkok, Malaysia dan Denmark juga merasakan hal yang
sama. Belum ada penerus dengan bakat dan kemampuan seperti Lin Dan, Peter Gade
dan Chong Wei.
"Semua orang tidak tahu betapa sulitnya untuk berada di
atas dalam waktu yang lama. Mungkin untuk memenangkan satu atau dua turnamen
mudah, tetapi sulit untuk melakukannya secara konsisten,” ungkap Lee kepada Berita Harian (Jumat, 3 Februari 2017,
seperti dikutip dari Djarumbadminton.com.
Tentang bulu tangkis Malaysia, Lee memiliki kesaksian betapa
susahnya negara tersebut mencari penerusnya. "Semua pemain muda yang ada
di kita sekarang masih jauh tertinggal di belakang saya, malah untuk menyaingi
saya ketika latihan pun tidak bisa."
Pemain yang kini bergelar Dato itu kemudian meminta Asosiasi
Badminton Malaysia (BAM) untuk melupakan cita-cita mendapatkan suksesor
selevelnya. Lebih berfaedah mencari sebanyak-banyaknya pemain muda dan menempa
mereka, ketimbang hanya fokus pada beberapa pemain.
Saya kira wejangan Chong Wei pada BAM relevan juga bagi bulu
tangkis Indonesia. Gencar melakukan regenerasi agar jangan sampai ada jurang
antar generasi seperti pada tunggal putri kita saat ini. Siapa tahu dari proses
berkelanjutan dan berjenjang itu akan lahir para pemain hebat. Walaupun seperti
kata Lee, mendapatkan penerus setingkat empat sekawan itu, hampir mustahil. Sekalipun
nanti akan datang juga para penerus itu, waktunya tidak singkat.
"Secara pribadi, saya merasa itu akan memakan waktu 20
sampai 30 tahun lagi.”
Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 7 Februari 2017.
Comments
Post a Comment