Belajar dari Kamerun, Juara Piala Afrika 2017
Para pemain Kamerun merayakan kesuksesan sebagai juara Piala Afrika 2017/BBC.com |
Bukan Mesir, seperti prediksi banyak orang, tetapi Kamerun
kampiun Piala Afrika 2017. Bukan Pasukan
Firaun yang berdiri di podium tertinggi di Stade d’Angondje, Senin (6/2) dini
hari WIB, tetapi “Indomitable Lions”, Kawanan Singa Garang yang berpesta di
Libreville.
Bagi yang mempercayai
tuah sejarah, Mesir lebih diunggulkan. Tujuh gelar Piala Afrika berbanding
empat gelar milik Kamerun. Tidak hanya soal rekam jejak, dari persiapan tim pun
Mesir lebih meyakinkan. Theguardian.com sampai-sampai
menyebut Kamerun sebagai tim terburuk, setidaknya tiga setengah minggu lalu.
Kamerun datang ke Gabon dengan mengandalkan para pemain
senior, setelah delapan pemain utama tidak lolos disiplin Hugo Bross, termasuk
beberapa dari antaranya lebih memilih kenyamanan di Eropa bersama klub mereka.
Namun apa yang terjadi dalam perjalanan waktu. Rentang waktu sejak kikc off hingga babak semi final,
Kamerun berubah menjadi tim solid.
Kematangan para pemain justru menjadi modal penting. Tidak
hanya tua dalam usia, keuletan dan kerja sama yang solid membuat Kawanan Singa
ini bertaji, memangsa lawan satu demi satu. Kematangan dan keuletan itu
mencapai klimaks di partai final.
Lebih dulu tertinggal di menit ke-27 tak membuat Kamerun
patah arang. Meski Kamerun mendominasi laga, Mesir bermain lebih efektif
seperti tercermin dari gol pembuka bintang Arsenal Mohamed Elneny setelah
menuntaskan umpan winger AS Roma, Mohamed Salah.
Sebelum dan sesudah keluar dari ruan ganti Mesir semakin
percaya diri. Trofi bakal dibawa ke tanah para mumi. Namun Bross dan timnya
tidak kehabisan akal dan semangat. Bross nekat menarik keluar Adolf Tikeu dan
Robert Tambe, memberi kesempatan pada Nicolas N'Koulou dan Vincent Aboubakar.
Kubu Kamerun merayakan gol Vincent Aboubakar/BBC.com |
N’Koulou dan Aboubakar menunjukkan diri sebagai supersub
dengan peran penting bagi tim. Dalam satu kesatuan dengan para pemain lain,
keduanya berubah menjadi pahlawan. Menit ke-59, N’Koulou berhasil
menyempurnakan umpan Benjamin Moukandjo. Gawang kiper kawakan 44 tahun, Essam
El Hadary kembali terkoyak setelah sodoran Sebastien Siani berhasil
diselesaikan Aboubakar. Laga yang nyaris berlanjut ke babak perpanjangan waktu
berubah dramatis hingga J. Sikazwe meniup
peluit panjang.
Para pemain Mesir
hanya bisa tertunduk lesu. Pemandangan berbeda terjadi di kubu Kamerun. Pekikan
alat musik tradisional Afrika mengiringi tarian gembira Aboubakar dan kolega.
Kamerun yang semula diragukan resmi menjadi kampiun, menggondol gelar kelima
setelah menanti 15 tahun.
“Kesedihan saya tidak
karena saya kalah di final yang lain,”ungkap pelatih Mesir, Hector Cuper yang
pernah dua kali gagal di turnamen mayor bersama Valencia di Liga Champions
Eropa.
Kesedihan itu, lanjut
pria 61 dari Argentina, “karena ada begitu banyak harapan secara khusus di
antara masyarakat Mesir dan saya meminta maaf kepada para pemain yang telah
banyak berjuang.”
Di kubu sebaliknya, Bross
membuktikan bahwa kecemasan legenda Kamerun Roger Milla tidak terbukti. Setelah
menginjak semi final, striker legendaris era 80-an dan 90-an itu mengaku para
pemain yang lebih memilih klub ketimbang klub akan menyesal bila Kamerun sampai
tidak memenangkan gelar.
Pernyataan pria yang
kini berusia 64 tahun yang pernah bermain di Indonesia sejak 1994 dan 1996
bersama Pelita Jaya dan Putra Samarinda itu mengacu pada sikap antipati Joel
Matip. Bek kelahiran Jerman itu merasa lebih memikirkan Liverpool ketimbang
negaranya.
Ketika ditanya terkait
perkembangan timnya di Gabon, dengan ketus pemain 25 tahun itu berujar, “Saya
tidak tahu, saya di Hull, kalah 2-0.”
Tanpa Matip dan tanpa para pemain penting lainnya tidak jadi
soal bagi Bross. Ternyata Kamerun memiliki soal lebih dari itu. "Ketika
saya datang ke Kamerun saya menemukan sekelompok pemain lama dan tidak
termotivasi.”
Hugo Bross di antara para pemain Kamerun/BBC.com |
Yang kemudian dilakukannya adalah memanggil beberapa pemain
muda, dan menyuntikkan semangat kepada mereka. Bersama para pemain tersebut ia
mulai membangun tim. Tidak hanya menyatukan mereka sebagai satu tim, tetapi
menjadikan kelompok tersebut layaknya sebuah keluarga. Setiap pemain merasa
berarti, tidak hanya yang mendapatkan jam pertandingan termasuk juga yang duduk
di bangku cadangan. Seperti dua supersub di atas saat turun dari bangku
cadangan mereka siap memberi diri.
“Ini bukan sekelompok pemain sepak bola. Itu sekelompok
teman-teman dan itu sebabnya pemain di bangku cadangan terus motivasi mereka
".
Ikatan kekeluargaan yang telah terjalin kemudian bersekutu
dengan dukungan masyarakat yang datang mendukung. Di partai final atmosfer
stadion juga berwarna dengan kehadiran banyak ekspatriat Kamerun.
Faktor non teknis itu berperan besar saat menghadapi Mesir
yang terkenal efektif dan cerdik. Empat kali clean sheet, sekali lebih banyak dari Kamerun, membuat tim ini
cukup percaya diri. Kehadiran pemain kawakan El-Hadary memberikan dorongan dari
lini belakang.
Namun patut diakui di laga ini penjaga gawang 44 tahun itu
harus takluk. Rupanya usia tak bisa ditutupi, dan tak bisa menepikan peran Ahmed
Hegazy dan Ali Gabr di barisan pertahanan selama ini.
Di laga itu segala kebesaran Mesir tenggelam dalam kekompakkan
dan semangat juang Kamerun. Bross telah mengubah singa-singa tua itu menjadi
kawanan pemangsa yang garang, membuat pasukan Firaun bertekuk lutut. Kekompakan
dan rasa kekeluargaan mengubah segala ragu jadi juara.
Proficiat Kamerun!
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 6 Februari 2016.
Comments
Post a Comment