Piala AFF dan Solidaritas untuk Rohingya
ANTARA FOTO/Yusran Uccang
Bisa saja saat ini sebagian orang sedang berada dalam
ketidaksabaran menanti pertarungan jilid satu Timnas Indonesia versus Vietnam di
semi final Piala AFF 2016 yang akan dimulai beberapa jam lagi. Demikianpun dengan
yang berada di pihak Thailand dan Myanmar untuk pertarungan pertama, Minggu
(4/12) besok.
Para pendukung empat tim tersebut tentu sedang debar menanti
sambil mempersiapkan segala amunisi untuk mendukung tim kesayangan. Hampir
pasti masyarakat Indonesia, khusus yang masih peduli dengan sepak bola, sedang
terlibat perang batin antara optimisme meraup hasil positif di kandang dan
kekhwatiran bakal dijadikan bulan-bulanan oleh The Golden Stars.
Namun bagi sebagian warga Malaysia laga-laga tersebut sama
sekali tidak berkesan, untuk mengatakan tidak pantas digelar, apalagi ditonton.
Ditambah lagi salah satu tim yang bertanding adalah Myanmar. Mengapa?
Dugaan kekejaman yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap
kaum muslim Rohingnya adalah sebabnya. Multi Malaysia, Moh Asri Zainal Abidin
tegas meminta timnas Harimau Malaysia memboikot turnamen tersebut sebagai
bentuk protes atas kezaliman terhadap kaum minoritas di negara bagian Rakhine
itu.
Meski timnas Malaysia akhirnya tersisih setelah kalah dalam
partai hidup mati menghadapi Myanmar di fase grup, setidaknya seruan tersebut memantik
refleksi seperti seruan Moh Asri, “Apalah artinya olahraga tanpa nilai
kemanusiaan?” Dengan kata lain, apakah sukacita dan kegembiraan olahraga dengan
sendirinya meminggirkan solidaritas dan keprihatinan sosial?
Di satu sisi, selentingan para ulama Malaysia benar adanya.
Penindasan terhadap etnis Rohingnya sudah terlampau kejam. Mereka hampir
kehilangan kemanusiaannya secara total karena perlakuan diskriminatif dalam
segala bidang. Ada dugaan genosida atau pembantaian yang membuat banyak nyawa
melayang dan tak sedikit yang kemudian melarikan diri ke luar negeri, termasuk
ke Indonesia.
Di sisi lain, seruan menarik diri dari turnamen yang sudah
diagendakan rutin dan dipersiapkan secara baik oleh penyelenggara bukan cara
elegan. Benar bahwa dunia olahraga perlu bersimpati pada penduduk Rohingnya dan
sepak bola bisa saja menjadi salah satu cara untuk membuka mata dunia lebih
lebar agar memberikan tekanan lebih kepada pemerintah Myanmar. Namun pilihan
memboikot tak ubahnya melawan ketidakadilan dengan melakukan ketidakadilan.
Mundur atau boikot sepihak akan merugikan pihak lain, baik itu penyelenggara
yang telah banyak berkorban, juga mencederai antusiasme masyarakat yang ingin melihat
tim-tim berkompetisi secara fair di
lapangan.
Peran penting sepak bola dalam sejarah dunia tak
terbantahkan. Banyak contoh dan banyak bukti bisa diajukan. Arab Spring yang
masih membekas hingga kini tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang suporter
ultras Al Ahly, Mesir yang dianggap sebagai motor revolusi Mesir yang kemudian
berkembang menjadi bola salju yang menggulung banyak negara di Timur Tengah.
Jauh sebelum itu, saat masih ada negara bernama Yugoslavia, rivalitas
Red Star Belgrade dan Partizan menjadi simbol identitas yang kemudian
terpecah-pecah seturut kepingan-kepingan negara yang terbentuk kini. Demikian pun
Barcelona, salah satu klub terbaik di dunia yang terus menjadi alat perjuangan
untuk melawan dan membebaskan diri dari dominasi Spanyol dengan Real Madridnya.
Dalam konteks berbeda, menyata dalam cara seperti yang
dilakukan Cristiano Ronaldo terhadap Martunis, bocah Aceh yang selamat dari
terjangan Tsunami pada 2004 silam. Atau solidaritas terhadap Chapecoense, klub
Brasil yang baru saja tertimpa musibah, baik berupa ucapan belasungkawa yang
menyayat hati seperti dari Wayne Rooney dan mantan kapten timnas Jerman Michael
Ballack, pun seruan duka sepakbola dunia dari Presiden FIFA, Gianni Infantino,
maupun donasi seperti yang dilakukan Ronaldo yang memberikan Rp43 miliar kepada
para korban.
Contoh-contoh di atas menunjukkan dua rupa sepak bola yang
saling bertolakbelakang. Sisi keras, bahkan kejam dan brutal pada satu bagian seperti
yang terbawa hingga kini saat fans Persija dan Persib bertemu atau kala Glasgow
Celtic dan Glasgow Rangers bertarung di Liga Skotlandia, dan aspek humanis di
sisi berbeda. Selain sebagai simbol identitas dan alat perjuangan politis,
sepak bola juga menjadi kendaraan yang membawa kita lebih dekat pada hakikat
kemanusiaan sejati.
Tentang Piala AFF dan Rohingya sikap kita mungkin terbelah. Siapa
pun tidak ada yang bisa melarang baik untuk tidak bersimpati atau sebaliknya berada
bersama penduduk Rohingnya yang sedang menderita dengan rela hati menutup
televisi saat pertandingan semi final digelar. Namun saya kira ada juga yang
tak mau kehilangan babak empat besar itu meski belum mampu berbuat lebih seperti
Ronaldo misalnya. Dan kita, penduduk Indonesia sepertinya mengambil sikap
seperti terakhir itu.
Tulisan ini pertama kali dipubliasikan di Kompasiana, 3/12/2016.
Comments
Post a Comment