Menanti Sentuhan Sang Jenderal pada Bulu Tangkis Indonesia
Wiranto/Badmintonindonesia.org
Induk organisasi bulu tangkis Indonesia, PBSI, baru saja
mendapat nahkoda baru. Ketua Umum PP PBSI masa bakti 2016-2020 baru saja
terpilih. Wiranto secara aklamasi menjadi Ketua Umum PBSI setelah pesaing utama
sekaligus petahana Gita Wirjawan mundur pada Musyawarah Nasional (Munas) PBSI
2016 di Hotel Bumi, Surabaya, Jawa Timur, Senin (31/10) kemarin.
Sebelumnya kedua nama itu paling dijagokan untuk berduel
merebut hati para pemilik suara. Mundurnya Gita cukup mengejutkan. Sebelumnya
eks Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II secara
terang-terangan mengaku siap kembali menjadi orang nomor satu di organisasi
tepok bulu tersebut.
Mundurnya Gita yang didukung oleh 12 pengprov dengan
sendirinya memuluskan langkah sang jenderal yang mendapat lebih banyak sokongan
yakni dari 18 pengprov. Proses voting atau pemungutan suara dengan sendirinya
tidak dilaksanakan. Kemenangan sepenuhnya, utuh-bulat, menjadi milik sang
jenderal yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam).
Tak lama setelah terpilih Wiranto langsung membentuk tim
formatur yang beranggotakan Alex Tirta (pengprov PBSI DKI Jakarta), Lutfi
Hamid (Jawa Barat), Oei Wijanarko Adi Mulya (Jawa Timur) dan Eduart Wolok
(Gorontalo). Merekalah yang nantinya membentuk susunan pengurus yang akan
dikukuhkan dalam waktu tiga puluh hari
kedepan.
Terlepas dari seperti apa komposisi struktural yang akan
dibentuk, berkecamuk aneka pertanyaan di benak para pencinta bulu tangkis
Indonesia. Munculnya sosok Wiranto dengan sendirinya melahirkan tanya apa yang
bisa dilakukan sang jenderal dengan bulu tangkis Indonesia? Berlatar belakang
militer, dan dengan pengalaman politis yang kaya, juga di dunia olahraga dengan
menjadi pengurus sejumlah induk organisasi, memantik tanya mau di bawa ke mana bulu
tangkis Indonesia?
Demikianpun dalam posisi Wiranto yang sedang menduduki
jabatan penting di pemerintahan, hal mana pernah terjadi dengan Gita
sebelumnya, mengundang tanya strategi apa yang bakal ia mainkan agar bulu
tangkis Indonesia tak ditelantarkan, untuk mengatakan tidak diurus dengan
setengah hati dan dengan separuh perhatian, serta dengan tenaga dan konsentrasi
yang tak terbagi.
Meski Wiranto praktis tidak akan bersentuhan langsung dengan
hal-hal teknis kepelatihan dan pembinaan, hal mana bakal ditangani oleh jajaran
pelatih dan kaki tangan di bawahnya yang telah berpengalaman selama ini, namun tidak
berarti bahwa tugas dan tanggung jawab sang pemimpin pucuk dengan sendirinya
bisa didelegasikan.
Patut diakui bulu tangkis Indonesia butuh perhatian lebih
dari sang Ketua Umum. Mulai dari urusan sponsorship, koordinasi dengan
pemerintah, kerja sama yang lebih baik dengan para pengurus daerah dan klub-klub,
yang di antaranya bertujuan untuk membentuk PBSI yang kuat tidak hanya secara
organisatoris, dan lebih dari itu mengembalikan kejayaan bulu tangkis
Indonesia.
Bukan rahasia lagi, saat ini bulu tangkis Indonesia perlahan
tetapi pasti mulai disamai, bahkan di sektor tertentu mulai disalip
negara-negara yang sebelumnya tak masuk hitungan. Di sektor putri utamanya
Indonesia sudah benar-benar tertinggal. Alih-alih menyamai Tiongkok, gudang
pebulu tangkis putri kelas wahid, dengan Thailand saja kita sudah tertinggal.
Negeri Gajah Putih itu sudah memiliki Ratchanok Intanon,
juara dunia termuda. Selain itu ada Porntip Buranaprasertsuk, Busanan
Ongbamrungphan serta Nitchaon Jindapol yang bertengger di lingkaran 20 besar
dunia.
Tak berhenti di situ. Seakan mengisyaratkan proses
regenerasi yang baik, Thailand memiliki Pattarasuda Chaiwan yang baru berusia
15 tahun dan telah digadang-gadang sebagai penerus Intanon. Dalam usia belia
Pattarasuda sudah menunjukkan performa impresif dan menuai decak kagum sehingga
ia dijuluki “Intanon Kecil.”
Di sektor putra regenerasi sedikit lebih baik meski belum
menunjukkan hasil memuaskan. Konsistensi para penerus Hendra Setiawan dan
Mohammad Ahsan, ganda senior terakhir dan terbaik yang baru saja bercerai,
belum cukup meyakinkan. Angga Pratama/ Ricky Karanda Suwardi serta Marcus
Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo, dua pasangan dengan peringkat terbaik
saat ini, belum cukup konsisten.
Indonesia seakan terjebak dalam perangkap sebagai pemasok
para pemain ganda semata, hal mana menunjukkan bahwa sektor tunggal kita masih
tertatih-tatih. Thailand sendiri justru maju pesat di sektor tunggal. Seperti sektor
tunggal putri, di tunggal putra rantai pasokan semakin panjang mulai dari
Boonsak Ponsana, berlanjut pada Tanongsak Saensomboonsuk, serta pemain muda
Kunlaut Vitidsarn. Tanongsak baru saja meraih mahkota turnamen Super Series
Premier Denmark Terbuka. Sementara Kunlaut, seperti Pattarasuda, tampil ciamik
Kejuaraan Asia U-17 dan U-15 di GOR Jati, Kudus, Jawa Tengah pada awal Oktober
silam.
Halini menunjukkan bahwa regenerasi benar-benar menjadi
persoalan krusial bulu tangkis kita. Indonesia benar-benar harus bekerja ekstra
keras bila ingin bersaing dengan negara-negara lain, terutama Tiongkok. Dua turnamen
super series terkini, masing-masing di Denmark dan Prancis, menjadi kaca
pengolon bahwa bulu tangkis kita tertinggal jauh dari Tiongkok.
Di turnamen terakhir di Prancis, Tiongkok mengirim empat
wakil di babak final, dan semuanya adalah para pemain yang berusia 19-20 tahun.
Mereka adalah He Bingjiao (19 tahun/tunggal putri), Shi Yuqi (20 tahun/tunggal
putra), Chen Qingchen/Jia Yifan serta Zheng Siwei/ Chen Qingchen masing-masing
di sektor ganda putra dan ganda campuran.
Terkait Zheng/Chen patut disebut lagi. Pasangan penerus
Zhang Nan/Zhao Yunlei itu sudah merasakan delapan dari sembilan partai final
turnamen pada tahun ini. Di usia mereka yang baru 19 tahun itu sudah
menunjukkan prestasi yang luar biasa.
Prestasi yang telah ditunjukkan para pemain Tiongkok, juga
Thailand dan Jepang (dengan dua tunggal putri Nozomi Okuhara, 21 tahun dan
Akane Yamaguchi, 20 tahun, misalnya), menjadi tamparan keras bagi bulu tangkis
kita. Saat para pemain belia mereka sudah bisa mencuri panggung di turnamen
level super series, bahkan super series premier, para pemain muda kita yang
berusia 19-22 tahun masih menjadi penonton. Paling banter menjadi jawara di
turnamen minor setingkat International Challenge atau International Series yang
berada dua tingkat di bawah Super Series (Kompas, 31/10/2016, hal.30).
Sentuhan sang
jenderal
Terpilihnya Wiranto dengan sendirinya mengalirkan beban
pekerjaan rumah tersebut kepadanya. Siapa lagi yang bakal memainkan peran
penting untuk menggalakkan proses regenerasi bila bukan sang ketua umum.
Selain belajar dari dan meneruskan cara baik kepemimpinan
Gita yang cukup berhasil dalam beberapa aspek seperti sponsor dan
kesejahteraaan atlet dan pelatih, sang Jenderal diharapkan bisa mengalirkan
hawa pengalaman mengurus sejumlah cabang olahraga dan jejaring baik dengan
pemerintah maupun pihak swasta untuk semakin memperhatikan bulu tangkis
Indonesia.
Selama ini PBSI terkesan berjalan sendiri, jauh dari perhatian
pemerintah. Organisasi tersebut berjuang sendiri mencari sponsor dan menghidupi
diri sendiri. Belajar dari Thailand, pengaruh sang jenderal diharapkan bisa
menarik dukungan pemerintah terutama untuk menggalang sponsor baik untuk
keperluan PBSI ( termasuk atlet-atlet Pelatnas) maupun klub-klub sebagai sendi
utama dalam proses regenerasi pemain.
Selain itu Wiranto pun diharapkan lebih merangkul klub-klub
termasuk para pengurus daerah untuk bersama-sama terlibat dalam membangun bulu
tangkis Indonesia. Jangan sampai PBSI dan Pelatnas menjadi menara gading yang
jauh dari para pengurus daerah dan klub-klub. Padahal klub-klub lokal dan
derah-daerah juga menyimpan bakat-bakat potensial.
Bila perlu sang Jenderal diharapkan bisa memainkan jurus
mautnya untuk menanamkan kedisiplinan, jiwa pantang menyerah, semangat
kolaboratif dan nasionalisme dalam diri para pengurus dan para atlet. Tegas menahkodai
PBSI dan para atlet pelatnas bukan sesuatu yang tabu, apalagi dalam situasi
ketika bulu tangkis kita sudah tertinggal di barisan belakang.
Terima kasih Pak Gita dan selamat bertugas Jenderal!
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 1 November 206.
Comments
Post a Comment