Membicarakan Rosberg, Teringat (Lagi) Rio Haryanto
Rio Haryanto/Kompas.com
Musim Formula 1 (F1) 2016 resmi
berakhir pasca seri pamungkas di Sirkuit Yas Marina, Abu Dhabi, Uni Emirat
Arab, Minggu (27/11) lalu. Drama persaingan antara duo Mercedes, Lewis Hamilton
dan Nico Rosberg pun mereda. Meski finis di posisi pertama, di atas podium Hamilton
dengan besar hati memeluk dan memberi salam kepada kompatriotnya yang akhirnya keluar
sebagai juara dunia.
Sepanjang musim ini Hamilton
dan Rosberg bersaing ketat, seakan seri balapan hanya diikuti dua pebalap saja.
Sejak seri pertama di Sirkuit Melbourne, Australia pada pertengahan Maret keduanya hanya
kehilangan satu seri. Dari 20 seri, Hamilton 12 kali merebut pole dan 10 kali
naik podium utama. Sementara Rosberg meraih sembilan kemenangan dan delapan
kali mengawali balapan dari posisi terdepan.
Jarak lima angka yang memisahkan
Rosberg dari Hamilton yang mengemas total 380 poin, menunjukkan bahwa
persaingan begitu ketat. Meski takdir berkata lain, dalam hati kecil tentu
Hamilton kecewa berat, dan dengan penuh sesal bergumam: andai saja selalu
konsisten mungkin cerita akan berbeda.
Namun pebalap asal Inggris
itu harus mengaku jujur bahwa rekannya jauh lebih konsisten sepanjang musim
ini, dengan hanya kehilangan poin di satu seri balapan saja. Itupun terjadi
setelah terjadi insiden tabrakan antara keduanya di seri kelima di Sirkuit
Catalunya, Barcelona,pertengahan Mei lalu.
Bagi Rosberg kemenangan ini
sungguh istimewa. Dua tahun terakhir pria yang juga membawa nama Finlandia ini selalu
berada di belakang Hamilton yang tampil sebagai yang terbaik. Kali ini pebalap
kelahiran 27 Juni 31 tahun silam sukses naik ke puncak tertinggi.
Ini adalah puncak pencapaian
yang diidam-idamkannya sejak kecil. Sebuah mimpi yang diperammnya sejak berusia
enam tahun saat mulai beradu di lintasan balap Karting. Melewati beragam
jenjang dan seri balapan,pria bernama lengkap Nicolas Erik Rosberg
akhirnya sampai ke jenjang tertinggi balap mobil, bergabung dengan tim Williams
pada 2006.
Meski bakat besarnya sudah tercium sejak kecil, dan prospek
sebagai pebalap hebat di lintasan jet darat sudah diendus oleh Frank Williams
saat berusia 17 tahun usai menjuarai Formula BMW, Rosberg butuh tak kurang dari
10 tahun untuk bisa bersanding dengan Kimi Raikkonen, Fernando Alonso,
Sebastian Vettel dan Lewis Hamilton yang lebih dulu merasakan gelar tersebut.
Meski namanya tak semasyur Ayrton Senna atau Juan Manuel
Fangio dan gelar juara dunia tak seberapa dibanding Michael Schumacher,
pencapaian ini mendatangkan sejarah tersendiri bagi keluarganya. Ia membuat
sang ayah Keke Rosberg tersenyum lebar karena bisa memecahkan rekor keluarga Hill.
Graham Hill yang menjadi juara dunia
1962 dan 1968 berhasil mendorong sang anak Damon Hill meraih predikat yang sama
pada 1996. Keke dan Nico serta Graham dan Damon adalah ayah-anak yang menjadi
juara dunia.
Statistik Rosberg dan Hamilton sepanjang musim 2016/BBC.com
Teringat Rio Haryanto
Bila masa depan Hamilton bersama
Mercedes tengah diterpa kabar miring, tidak demikian dengan Rosberg. Seturut
kontrak yang ditandatanganinya pada Juli tahun ini, Rosberg masih akan bersama
tim yang dibelanya sejak 2010 itu hingga akhir 2018 nanti.
Terkait apakah masih akan
memakai nomor enam atau beralih ke nomor satu seperti rumor yang berhembus,
tampaknya tidak terlalu penting sama seperti membicarakan rivalitasnya dengan
Hamilton yang sudah kembali ke titik normal. Namun setelah juara tampaknya
Rosberg sulit berpaling dari nomor enam yang telah menjadi angka keramat
sekaligus pembawa berkat. Pasalnya dengan nomor yang sama sang ayah menjadi
juara dunia tahun 1982 dan bukan tidak mungkin ia akan kembali mengandalkan
nomor yang sama untuk sekali lagi menjadi juara dunia.
Pada titik ini ikhwal nomor
kembali penting karena tidak hanya berisi kenangan, juga semangat untuk kembali
menjadi yang terbaik. Dan persaingan jilid berikutnya dengan Lews CarlDavidson Hamilton
tampaknya segera dibuka kembali.
Berbicara tentang persaingan,
pada tingkat dan bentuk berbeda, sebagai pencinta Formula One dari Indonesia,
saya teringat lagi pada Rio Haryanto. Berbeda dengan Rosberg yang tengah
dimabuk kemenangan, pebalap muda Indonesia itu justru tengah dilanda kecemasan.
Harapannya untuk bisa kembali ke F1 yang sempat dirasakannya selama separuh
musim sedang berada dalam ketidakpastian.
Sejak terdepan dari kursi utama
pebalap Manor Racing, driver 23 tahun
itu terus berburu sponsor dan mencari tim yang mau menggunakan jasanya. Nama
pebalap asal Solo ini kerap dikaitkan dengan sejumlah tim saat tim-tim tersebut
sedang mencari formasi untuk musim baru. Namun seiring tim-tim mulai memastikan
amunisi, peluang Rio dengan sendirinya semakin kecil.
Euforia Rosberg dan pendukungnya usai keluar sebagai juara dunia/BBC.com
Kini hanya tersisa tiga kursi
di dua tim yang masih lowong. Satu tempat di tim Sauber dan dua kursi di tim
yang sempat dibelanya musim ini. Sebelumnya
kursi terakhir di Tim Sauber sempat diklaim akan ditempati mantan rekan Rio,
Pascal Wehrlein.Namun kabar tersebut akhirnya menjadi kabar burung belaka
setelah bos Sauber, Monisha Kalternborn membantah.
Dengan demikian Rio masih
memiliki peluang dan pilihan, mau bermigrasi dari Manor atau tetap bersama tim
asal Inggris itu. Namun kesempatan tersebut tidak tanpa harga. Kedua tim sudah
memberi tanda bahwa kursi-kursi tersebut tidak gratis alias berstatus pay driver.
Di sini Rio kembali ke
pusaran persoalan seperti yang membelitnya musim ini. Belum dipastikan berapa
harga kursi di dua tim tersebut. Namun pengalaman musim ini sudah menulis
berapa dana yang harus disetor bila ingin mendapat satu kursi dan melaju di
lintasan semusim penuh.
Rio dan timnya pun diburu
waktu. Tiga kursi tersedia tengah diburu oleh setidaknya empat kandidat yang
sama-sama, atau bahkan lebih potensial baik dari segi finansial maupun kemampuan
teknis. Selain Pascal, ada pula Esteban Gutierrez, Felipe Nasr, dan Antonio
Giovinazzi.
Selanjutnya terserah Rio dan
timnya mau memilih tim yang mana, dan dengan perjanjian seperti apa: hanya
separuh atau ingin semusim penuh, atau mengambil jalan yang lain. Dan seperti
musim ini, saya, Anda dan masyarakat Indonesia umumnya tampaknya tidak punya banyak pilihan, selain
hanya diam menanti. Bukankah begitu?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 29/11/2016.
Comments
Post a Comment