Membangun Cerita Bersama dari Lantai 22
Para pembicara dari kiri ke kanan, Andreas Aditya S
(Penggagas Komunitas Nebengers.com), Gandhy Inderayana Sastratenaya (Digital
& Online Communication Marketing Head Danamon), Iskandar Zulkarnaen,
Assistant Manager Kompasiana dan moderator Liviana Cherlisa/@Danamon
Tempora mutantur et nos mutamur in illis
(Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya)
***
Hari masih pagi. Mentari yang biasa langsung menyergap tak
lama setelah ditinggal malam, masih enggan menyapa. Malas bertandang seperti
arus manusia yang ingin menuntaskan dendam setelah lima hari bergulat sejak
subuh. Jakarta pagi itu, di hari pertama bulan Oktober, tampak lengang.
Tak susah melaju di jalanan yang biasanya ramai kendaraan,
apalagi menggunakan kendaraan roda dua. Dari arah Palmerah menuju Kuningan
hanya butuh waktu separuh jam. Tiba di tujuan pun lebih cepat dari perkiraan.
“Selamat pagi Pak, saya mau ke acara nangkring Kompasiana
bareng Bank Danamon,”saya mantap menyapa petugas keamanan yang langsung
menyambut saat saya mendekat.
Senyumnya pun merekah. Dalam hati saya merasa telah diterima
dengan baik. “Bisa saya lihat informasi terkait acara tersebut?”tanyanya.
Sontak saya membuka telepon genggam dan menunjukkan halaman
Kompasiana terkait acara itu. “Maaf Pak acaranya bukan di sini. Tetapi di
Menara Danamon. Letaknya di HR Rasuna Said, dekat kantor KPK.” Alamak. Saya
terperanjat. Saya nyasar, alias salah alamat. Ternyata aku mensambangi kantor
yang berlokasi di Jl. Lingkar Mega Kuningan. Untung jarak menuju tempat
yang semestinya tak jauh dari situ.
Setelah mengucap terima kasih dibungkus senyum simpul kepada
petugas securityitu, saya pun melaju ke lokasi yang semestinya.
Tersihir
Di pagi yang lengang itu, tak susah menjangkau Jln HR Rasuna
Said Blok C No.10, Karet Kuningan, tempat Gedung Menara Bank Danamon berada.
Tinggi menjulang di antara gedung-gedung penting ditambah bentuk yang unik
semakin mempermudah identifikasi.
Seperti kebanyakan gedung-gedung pencakar langit modern yang
berdinding kaca, tampak luar gedung berlantai 22 plus lima lantai
basement itu pun demikian. Namun perbedaan mencolok terletak di lantai 12 dan
22. Kaca tembus pandang jelas memperlihatkan ruang terbuka dengan penataan yang
berbeda. Menampilkan konsep ruang terbuka hijau yang disebut sky garden.
Kondisi berbeda tampak semakin jelas saat saya menginjak
lantai 22, tempat berlangsungnya acara nangkring. Dari ruangan yang disediakan
secara khusus untuk pertemuan dan kebutuhan karyawan itu saya bisa leluasa
menatap panorama Jakarta dari ketinggian ratusan meter, serta melihat sebagian
isi dalam.
Saya semakin tersihir setelah menyaksikan video yang diputar
sebelum acara dimulai. Gedung megah yang baru berumur tiga bulan itu semakin
membuat takjub. Tak hanya desain yang unik. Bangunan sebesar 40.000 m2 yang
berdiri di atas lahan seluas 4.100 m2 itu dilengkapi pula dengan fitur-fitur
yang ramah lingkungan dan hemat energi. Material yang dipakai ramah lingkungan
seperti kaca ragkap rendah emisi atau Low E Double Glazing.Dengan kaca tersebut
sinar matahari bisa diredam dan ditangkap untuk menghemat sistem pendingin
udara dan lampu penerangan.
Tak hanya itu. Kantor baru ini dilengkapi pula dengan
pengolahan ulang limbah air (waste water treatment plant), lampu hemat energi
dan fasilitas parkir sepeda. Para karyawan dan pengunjung pun benar-benar
dimanjakan dengan fasilitas pendukung yang serba lengkap dan modern seperti
function hall, employee lounge, klinik karyawan, fasilitas fitness, ruang
menyusui dan lain-lain. Siapa yang tidak betah dan nyaman berada dan bekerja di
tempat seperti itu?
Komunitas Digital
Komunitas Digital
Seperti ungkapan di awal tulisan, hampir tak ada yang bisa
menolak takdir untuk berubah. Waktu dan zaman berubah dan kita pun dituntut
untuk ikut berubah. Demikianpun Danamon yang tahun ini sudah berusia 60 tahun.
Seperti gedung megah yang didirikan untuk menangkup
kebutuhan yang semakin meningkat dan mengikuti tuntutan agar semakin selaras
alam dan lingkungan, demikianpun kinerja Danamon. Saat dunia memasuki era
teknologi informasi, terutama dengan adanya internet yang bertumbuh gilang
gemilang, Danamon sama sekali tak menutup mata.
Tema nangkring pagi hingga siang itu, “Mantap Melaju
Menjangkau Komunitas Melalui Media Sosial” jelas memperlihatkan realitas
terkini sekaligus upaya untuk ikut serta di dalamnya. Komunitas digital dan
media sosial, adalah dua dari sejumlah kenyataan yang dijumpai saat ini.
Bahkan keduanya serupa dua sisi dari sebuah mata uang.
Sebelum adanya sosial media komunitas yang terbentuk lebih bersifat
konvensional. Pertemuan antaramereka yang memiliki ketertarikan, minat atau
hobi yang sama -sebagai pengertian sederhana dari komunitas-terjadi secara
tatap muka atau bertemu muka dengan muka. Pertemuan itu terjadi secara
riil, nyata, kasat mata dan fisikal. Sementara itu komunitas dalam era mutakhir
tidak lagi menuntut perjumpaan fisik.
Seperti dikatakan Iskandar Zulkarnaen, Assistant Manager
Kompasiana, “tanpa harus ketemu orang kita sudah bisa ketemu orang.” Pertemuan
itu terjadi secara virtual atau digital dengan memanfaatkan kemewahan aneka
platform sosial media seperti twitter, facebook, LinkedIn, instagram dan
sebagainya.
Dengan adanya sosial media itu maka beragam komunitas virtual
pun lahir dan kini menjamur di jagad maya. Kompasiana dan Nebengers adalah
contohnya. Kompasiana yang berdiri sejak 1 September 2008 yang mula-mula
sebagai blog jurnalis Kompas Gramedia, lantas membuka diri untuk semua orang
sebulan kemudian, tepatnya 22 Oktober pada tahun tersebut.
Sebagai blog keroyokan, seperti dikatakan Isjet, Kompasiana
sangat terbuka kepada siapa saja yang tertarik untuk menulis dalam semangat
berbagi(sharing) dan keterhubungan (connecting). Di sini Kompasiana berdiri dan
tumbuh di atas basis konten berupa tulisan. Tak hanya sebagai komunitas besar
yang diikat oleh basis tersebut, dalam perjalanan basis tersebut “bertelur”
atau memecahkan diri dalam interese-interese khusus seperti olahraga, film,
kuliner, wisata, dan sebagainya. Maka kini Kompasiana sendiri memiliki sejumlah
komunitas-komunitas kecil dengan nama beragam seperti Koprol (Kompasianer
penggemar olahraga), Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana), KPK (Kompasianer
Penggemar Kuliner), KOMIK (Kompasianers Only Movie enthus(I)ast Klub), dan
masih banyak lagi.
“ Sejak awal sampai sekarang banyak perkembangan tidak
terduga. Membuka diri kepada semua orang ... Dikelola secara intens selama 24
jam. Masyarakat terlibat kapanpun dengan tema apapun, “tutur Isjet.
Bila Kompasiana adalah komunitas berbasis ketertarikan pada
dunia tulis menulis, Nebengers merupakan persekutuan yang memanfaatkan sosial
media terutama twitter sebagai sarana interaksi antara orang yang ingin memberi
tumpangan atau tebengan dan yang
mencari tebengan.
Didirikan oleh Andreas Aditya Swasti dan Putri
Sentanuhadir pada Desember 2011, Nebengers beritikad untuk mengurai
kemacetan dan polusi dengan memanfaatkan kendaraan secara efektif. Siapa yang
mempunyai kursi kosong bisa memberinya kepada yang membutuhkan sehingga bisa
mengurangi kebutuhan kendaraan.
“Ada tools yang membuat orang saling sahut, saling kenal
sehingga menumbuhkan kepercayaan antar satu anggota dengan anggota yang lain,
“tutur Beng-Beng, sapaan khas para Nebengers untuk Andreas Aditya.
Isjet
sedang memberikan pandangannnya?@Junaedi_Uci
Mendengar dan mengakrabkan diri
Lantas, bagaimana posisi Danamon di tengah situasi tersebut?
Berbicara saat membuka acara Nangkring, Toni Darusman, Chief Marketing Officer
Danamon, tak menampik perkembangan pesat sosial media dewasa ini. Menurutnya
perkembangan tersebut adalah berkah yang perlu dimanfaatkan.
“Perkembangan sosial media bukan sekadar tren, tetapi aset
penting yang harus dikelola dengan baik,”tuturnya.
Danamon sudah mulai menyadari potensi tersebut sejak tiga
tahun lalu. Namun menurut Toni saat itu hanya didasarkan pada produk. Saat ini
Danamon melakukan perubahan secara signifikan di semua lini sebagai unit-unit
bisnis yang penting.
Hal tersebut diamini oleh Gandhy Inderayana Sastratenaya,
Digital & Online Communication Marketing Head Danamon. Tampil sebagai
pembicara, Gandhy mengaku bahwa perubahan tersebut terus digalakkan sebagai
sesuatu yang niscaya untuk menangkup perkembangan tersebut agar tak punah
seperti Dinosaurus.
Bergaul di sosial media penting untuk mengubah persepsi
terhadap bank yang terlanjur dicap kaku dan formal. Lebih dari itu, untuk
mendekatkan diri demi membangun komunikasi dan interaksi.
“Sekarang saatnya
bank itu mendengar. Danamon masuk ke media sosialnya bertujuan untuk mendengar
teman-teman semua sehingga kami bisa memahami lebih baik, apa yang diinginkan
oleh teman-teman,”tandas Gandhy.
Lebih lanjut, Gandhy mengakui bahwa sudah saatnya bank lebih
banyak mendengar apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan nasabah. Bank bukan
lagi pihak yang paling tahu dan mengerti apa yang diinginkan dan dibutuhkan
para nasabah.
“Dulu, bank yang merasa paling tahu bahwa produk yang cocok
untuk A adalah ini, dan tabungan yang tepat untuk si B adalah itu. Sehingga
produk bank yang ada menjadi terbatas. Kini, semua itu harus diubah. Bank yang
justru harus lebih banyak mendengar dan memenuhi kebutuhan sesuai harapan
nasabahnya,”sambungnya.
Sifat sosial media yang interaktif dan cepat, memungkinkan
proses komunikasi itu berlangsung cepat. Kapan dan di mana saja proses
komunikasi itu bisa berlangsung. Gandhy memberi contoh. Saat terjadi transaksi
mencurigakan di tengah malam, Danamon hadir dengan @HelloDanamon. Melalui akun
tersebut siapa saja bisa mengadu dan pihak bank siap siaga selama 24 jam dalam
seminggu. Danamon selalu berjaga untuk memberikan layanan kepada para
nasabah.
Selain mendengar apa yang menjadi kebutuhan nasabah, Danamon
pun menggunakannya untuk sosialisasi produk. Di situ peran penting komunitas di
sosial media tak terbantahkan.
“Karena buat kami, komunitas adalah salah satu wadah untuk
bisa menyosialisasikan produk Danamon. Karena di komunitas banyak anggotanya,
juga ada transaksi keuangan, sehingga bisa lebih cepat bagi Danamon
memperkenalkan bank ini kepada khalayak,” terang Toni.
Senafat dengan pernyataan Toni, Gandhy mengaku bahwa warga sosial media atau netizenitu layak diperlakukan seperti warga masyarakat. Selain karena mereka mewakili nasabah, juga keberadaan akun-akun sosial media bisa membentuk perkumpulan layaknya komunitas.
Senafat dengan pernyataan Toni, Gandhy mengaku bahwa warga sosial media atau netizenitu layak diperlakukan seperti warga masyarakat. Selain karena mereka mewakili nasabah, juga keberadaan akun-akun sosial media bisa membentuk perkumpulan layaknya komunitas.
“Netizen itu seperti layaknya citizen, pasti mereka akan berkumpul.
Nah, bagaimana cara kami bisa masuk dan bersosialisasi lebih cepat adalah
melalui komunitas,”tandas Gandhy.
Dalam perjalanan waktu, setelah mulai berkenalan dengan
sosial media sejak tiga tahun lalu, Danamon terus bertransformasi dengan
membangun beragam infrastruktur. Infrastruktur-infrastruktur tersebut dibangun
berdasarkan interese dan kebutuhan. Kini Danamon hadir dengan enam akun sosial
media untuk mengakomodir setiap kebutuhan nasabah.
Pertama, @HelloDanamon sebagai layanan customer service 24
jam selama seminggu sebagai pintu gerbang untuk lalu lintas informasi dan
solusi terkait produk maupun layanan Danamon.
Kedua,@Danamon. Akun ini dimaksudkan untuk memberikan kabar
terbaru mengenai akses informasi seputar korporasi, edukasi perbankan, kegiatan
sosial dan lowongan pekerjaan.
Ketiga,@myDanamon yang memberikan layanan khusus berupa
informasi yang selalu baru atau up to date terkait referensi tentang gaya hidup
terkini bersama Danamon, juga kiat cerdas mengelola keuangan pribadi.
Keempat,@KartuDanamon, secara khusus menyasar kebutuhan
informasi terkait kartu debit dan kartu kredit Danamon Visa, Mastercard, dan
Amex.
Kelima,@DanamonDSP yang merupakan akun business banking,
yang dikelola secara profesional untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan
inspirasi dan tips dalam memulai serta mengelola usaha mikro.
Serta, keenam,seperti @DanamonDSP, @DanamonBiz yang
memberikan layanan berupa informasi, wawasan dansolusi terkait dunia bisnis.
Bagaimana kiat-kiat mengembangkan usaha, pasar atau marketseperti apa, serta
potensi bisnis ke depan seperti apa, terpenuhi melalui @DanamonBiz.
Toni
Darusman, Chief Marketing Officer Danamon/@Anjarsetya1
Manajemen risiko
Bukan rahasia lagi sosial media serupa pisau bermata dua.
Faedah dan mudarat bersekutu. Dampak positif dan akibat negatif hampir tak
terhindarkan. Kondisi ini pun menantang Danamon. Di satu sisi kehadiran sosial
media dan terbentuknya komunitas-komunitas itu sangat membantu Danamon dalam
seluruh proses digital communicationatau komunikasi digital. Menurut Isjet,
komunitas bisa berada di garda terdepan sebagai perpanjangan tangan Danamon.
Merekalah yang bisa menjadi penyambung lidah Danamon untuk
memberikan informasi dan jalan keluar sementara atas berbagai keluhan. Bahkan
pada situasi kritis, komunitas bisa menjadi tameng pelindung dari berbagai
serangan yang bisa merusak citra dan nama baik Danamon.
Pada waktu bersamaan, kekuatan komunitas bisa bergerak ke
arah berlawanan. Bukan rahasia lagi gerakan di dunia maya sangat berdampak di
dunia nyata. Sudah banyak contoh yang terjadi. Soliditas dan solidaritas di
jagad maya bisa meruntuhkan kemapanan dan status
quo.
Melalui dunia maya pula, ancaman kehancuran bisa terjadi.
Salah satu ancaman serius adalah beredarnya kabar bohong atau hoax. Hoaxbisa
cepat tersebar dan beredar menembus ruang dan waktu. Tanpa klarifikasi atau
debunk yang cepat dan tepat bisa merusak tatanan. Manipulasi,
pemelintiran, rekayasa dan black campaign (antara individu, individu dengan
kelompok yang lebih luas atau antarkomunitas) bukan lagi sesuatu yang asing.
Di sini pentingnya manajemen risiko. Danamon harus bisa
menangkal dan menangkis hal-hal tersebut. Peran penting divisi Digital
& Online Communication tak terbantahkan.
Selain itu ancaman terkait keamanan bank. Akses di dunia
digital mudah diganggu dan diterabas oleh para peretas. Namun Toni mengaku saat
ini sistem keamanan perbankan, tak terkecuali Danamon sudah sangat aman. Namun
ia tetap mengingatkan, “Dalam kaitan keamanan bank, kami menghimbau kepada para
nasabah termasuk setiap anggota komunitas, untuk senantiasa menjaga informasi
pribadi. Jangan men-share PIN, username dan lainnya. Juga harus terus melakukan
kehati-hatian dalam bertransaksi dan melakukan akses di dunia digital.”
Cerita bersama
Sesuai visi “Peduli dan Membantu Jutaan Orang Mencapai
Kesejahteraan,”Danamon akan terus melebarkan sayap pelayanannya. Usia 60 tahun
bukanlah titik akhir, tetapi awal untuk menjemput masa depan. Saat peresmian
kantor pusat baru, Menara Danamon, Consumer Banking and SME Bank Danamon,
Michellina Triwardhany mengaku masih sekitar 64 persen masyarakat Indonesia
belum mendapatkan layanan perbankan.
"Target segmennya sekarang adalah masyatakat yang belum
terjangkau mengenai fasilitas perbankannya. Karena kami melihat, ada sekitar 64
persen masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan layanan perbankan,"
tutur Michellina Triwardhany.
Situasi itu menjadi peluang bagi Danamon. Dengan
inovasi-inovasi yang dilakukan diharapkan semakin banyak masyarakat terjangkau
layanan perbankan.
Namun Danamon tak bisa bekerja sendiri. Kondisi saat ini,
menurut Gandhy menuntut kerja sama. Kolaborasi. Berkreasi bersama atau
co-creation.Baginya tidak cukup dengan hanya mendengar dan mengakrabkan diri. Sudah
saatnya membangun cerita bersama melalui kerja sama dan kerja bersama.
Kerja bersama itu pada giliran akan membangkitkan saling
pengertian sehingga keterikatan Danamon dengan para nasabah dan juga komunitas
tidak berada di atas landasan yang rapuh. Tetapi terjalin atas dasar
kepentingan yang sama yakni demi kemajuan bersama.
“Menggunakan Danamon karena memang memilih Danamon bukan
karena terpaksa. Karena itu bangun komunikasi untuk saling mengenal, melalui
komunitas, dan jaringan sosial media. Kami memperkenalkan diri dan mengenal
siapa saja di luar sana dan bagaimana bisa membantu memberikan
solusi,”tuturnya.
“Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan proses
interaksi yang terjadi. Sekarang eranya bersama-sama. Sehingga saya memilih
bank karena suka, karena interest sama dengan saya.”
Dari pihak nasabah dan komunitas, hal penting yang harus
diperhatikan Danamon adalah menjadikan mereka benar-benar sebagai partner,
bukan barang atau sasaran jualan.
“Komunitas butuh bertumbuh. Komunitas butuh partner yang
tidak serta-merta hanya menjadikan komunitas sebagai komoditas tetapi juga
mampu memberdayakan. Artinya, Danamon dapat berperan sebagai 'ayah' atau 'orang
tua' yang men-support komunitas, bukan dalam bentuk pemberian uang atau materi
belaka, melainkan support dari sisi inspirasi, ide dan lainnya,” tegas
Beng-Beng.
Permohonan yang sama meluncur dari mulut dua peserta, Gapey Sandy dan Rahab Ganendra. Seperti mewakili Kompasianer seluruhnya, mereka meminta agar kerja sama Danamon dan Kompasianer tidak berhenti di acara nangkring tersebut. Perlu ada kerja sama lanjutan.
Permohonan yang sama meluncur dari mulut dua peserta, Gapey Sandy dan Rahab Ganendra. Seperti mewakili Kompasianer seluruhnya, mereka meminta agar kerja sama Danamon dan Kompasianer tidak berhenti di acara nangkring tersebut. Perlu ada kerja sama lanjutan.
“Tentu kerja sama kita tidak sampai di sini. Kami sedang memikirkan
seperti apa kerja sama selanjutnya dan akan disampaikan pada waktunya,”jawab
Gandhy disambut tepuk tangan hadirin.
Akhirnya semoga nangkring selama beberapa jam tersebut
benar-benar menjadi titik awal untuk membangun cerita bersama. Seperti kata Gandhy,
“Tidak hanya sebatas cerita, tetapi berkolaborasi untuk hal yang nyata.”
Ya, #MantapMelaju takkan terjadi bila cerita bersama
terperangkap dan berakhir di lantai 22 itu.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 15 Oktober 2016.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 15 Oktober 2016.
Comments
Post a Comment