Ratchanok Intanton dan Reaksi (Telat) Kita
Fitriani (kompas.com)
Perhelatan Badminton Asia Championship di Wuhan, Tiongkok
yang baru saja usai, Minggu (01/02) kemarin, menambah kelam prestasi tunggal
putri Indonesia khususnya. Sudah sejak lama, Merah Putih mendambakan penerus
Susi Susanti atau Mia Audina.
Kini jangankan berharap, melihat prestasi para srikandi
tepok bulu, hati kita serasa diiris-iris. Tak perlu memperpanjang waktu,
sepanjang tahun ini saja, para tunggal putri kita tak bisa berbuat banyak. Sejak
kualifikasi Piala Uber di awal tahun, di sejumlah turnamen level super series tunggal
putri kita selalu kalah di babak-babak awal.
Di sektor ini Merah Putih benar-benar tak dianggap lagi. Hilang
semua nama besar yang sudah dibangun bertahun-tahun lalu. Dan yang tersisa kini
hanyalah kebesaran masa lalu, yang hanya bisa dikenang semata, tanpa pernah
bisa diulangi dengan bangga.
Prestasi terbaik tunggal putri kita terjadi di India Open
tahun 2012 silam melalui Lindaweni Fanetri, serta setahun kemudian merebut
medali emas di SEA Games di Mynmar. Setelah itu? Tak pernah terjadi lagi.
Harus jujur, saat ini tak ada tunggal putri yang bisa
diandalkan untuk bersaing di berbagai turnamen level super series. Performa dua
tunggal terbaik Lindaweni Fentri dan Maria Febe Kusumastuti setali tiga uang
dengan rangking dunia mereka saat ini.
Di sisi lain perkembangan negara tetangga yang dulu
diremehkan kini telah jauh meninggalkan kita. Thailand khususnya. Saat ini Negeri
Gajah Putih telah menjadi salah satu raksasa di sektor ini. Tiga tunggal putri
mereka berada di lingkaran 20 besar dunia. Busanan Ongbumrungphan (rangking
20), Porntip Buranaprasertsuk (rangking 16), serta ratu bulu tunggal putri saat
ini Ratchanok Intanon.
Wanita mungil setinggi 169 centimeter itu telah menggeser
dominasi Tiongkok, Jepang, India dan Korea Selatan. Serta mendepak Carolina
Marin dari singgahsana yang ditempati selama 13 pekan.
Prestasi wanita 21 tahun itu sangat mengagumkan. Mahkota tiga
superseries (India Open, Malaysia Open Super Series Premier, Singapura Open) digenggam
secara beruntun. Usai mengalahkan Li Xuerui di final Singapura Open, per 21
April, Intanon duduk di rangking satu.
Dengan jumlah poin 84.708, Intanon hanya unggul 478 poin
dari jagoan Spanyol. Walau demikian dengan penampilannya yang gemilang, peluang
untuk mempertahankan puncak dunia itu terbuka lebar.
Ratchanok Intanon (juara.net)
Reaksi (Telat)
Sementara kita, seperti dikatakan di atas, hanya bisa menempatkan
andalan di rangking 22 dunia. Malahan rangking Lindaweni ini masih berada satu
strip di belakang tunggal Skotlandia Kirsty Gilmour.
Lantas, sampai kapan keterpurukan ini berlanjut dan
membiarkan semakin banyak ‘pendatang baru’ mengangkangi kita?
Tak lama setelah para tunggal putri kompak tergusur dari
Badminton Asia Championship, pada 29 April, Ketua Umum PBSI, Gita Wirjawan
berkicau di Twitter. “Tunggal putri menjadi catatan aka nada penyingkapan.”
Membaca komentar tersebut saya dilanda dilema. Dua rasa
berbeda saling bertumbukkan. Di satu sisi ada rasa lega, badai keterpurukan
sektor ini ternyata sudah menghantam para pemangku kepentingan. Mereka merasa
bahwa sektor tersebut sudah harus disikapi, ditindaklanjuti. Catatan buruk
selama ini sudah masuk ke ruang pertimbangan pihak berkepentingan, selanjutnya
akan dilakukan perbaikan.
Namun, di sisi lain ingin saya berteriak, “kenapa baru
sekarang?” Jika harus jujur sinyal keterpurukan sudah lama memantulkan alarm.
Indikasi ketertinggalan itu sudah bertahun-tahun lalu terlihat. Mengapa baru
saja ini disadari?
Lantas, bila demikian sikap PBSI, maka pertanyaan penting
yang perlu dijawab, ‘penyingkapan’ seperti apa yang mau dibuat?
Hemat saya, salah satu langkah yang harus diambil segera adalah memberi
ruang seluas-luasnya kepada para pemain muda. Sudah cukup kepercayaan dan
tanggung jawab dibebankan kepada para pemain senior.
Seperti Thailand, Jepang dan Tiongkok, mereka sudah berani
mengorbitkan para pemain muda. Sejak lama mereka lakukan itu dan kini memetik hasilnya.
Intanon menjadi salah satu saksi hidup yang menampar wajah perbulutangkisan
kita. Sangat telak.
Walau stok tunggal putri kita sedikit dibandingkan
sektor-sektor lain, tidak berarti kita ketiadaan bibit unggul. Fitriani,
Gregoria Mariska, Ruselli, Aurum Oktavia, hingga Sri Fatmawati memiliki potensi
menjanjikan. Bahkan berdasarkan kesempatan minim yang diperoleh belakangan, dua
nama yang disebutkan pertama, telah menunjukkan bahwa mereka bisa berprestasi.
Mereka hanya membutuhkan polesan dan sentuhan perhatian. Serta tak kalah
penting, kesempatan dan kepercayaan.
Apakah PBSI berani mengambil sikap ini? Kita tunggu saja….
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 2 Mei 2016.
Comments
Post a Comment