PSSI Hidup Lagi, ke Mana Muara TSC dan Sepakbola Indonesia?
Menpora dan SK Pencabutan Pembekuan PSSI/gambar INDOSPORT.com
Di tengah situasi sepak bola Indonesia yang tengah tercekik,
sikap Menpora yang melunak dengan mencabut SK Pembekuan PSSI pada Selasa
(10/11) malam memberikan arti tersendiri.
Walau ada suara penolakan terhadap
pencabutan SK tersebut, khususnya dari 7 klub yang tergabung dalam Aliansi Klub
Sepakbola Indonesia (Persebaya Surabaya, Arema Indonesia, Persema Malang,
Lampung FC, Persibo Bojonegoro, Persewangi Banyuwangi, dan Persipasi Kota
Bekasi), perubahan sikap pemerintah itu memberikan harapan sekaligus tantangan
baru.
Harapan yang berkumandang kini adalah perbaikan tata kelola sepak bola
Indonesia yang berjalan merayap setahun terakhir baik karena pembekuan roda
induk sepak bola Indonesia itu maupun akibat suspensi FIFA. Harapan tersebut tak
hanya disuarakan masyarakat Indonesia sejak dahulu, juga dipertegas lagi oleh
Presiden Joko Widodo setelah beliau ‘turun tangan’ menengahi konflik
Kemenpora-PSSI.
Di tengah melambungnya harapan baru itu, pemerintah umumnya dan
PSSI khususnya dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Memperbaiki tata
kelola sepak bola Indonesia tak semudah membalikkan tangan. Itu bukan kerja
semalam seperti dalam kisah dongeng Roro Jonggrang. Setelah SK Pembekuan
dicabut, pertanyaan penting adalah apa yang kemudian di lakukan dalam rangka
reformasi tersebut?
Sebagaimana kita baca dari pembicaraan luas, setelah SK
Pembekuan dicabut, Menpora langsung berkomunikasi dengan FIFA malam itu juga.
Melalui surat elektronik disebutkan bahwa Menpora memberikan kabar tersebut
dalam rangka ‘menghormati’ FIFA yang sebelumnya telah meminta pencabutan itu
dilakukan sebelum Kongres FIFA di Meksiko pada 12 Mei 2016
"Sudah, sudah
kami laporkan ke FIFA melalui e-mail pada 19.00 WIB. Karena kami menghormati
FIFA," ungkap Imam seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Sejatinya
pencabutan tersebut tidak dimaksudkan sebagai usaha menjaga relasi baik antara
kedua pihak tetapi lebih sebagai bagian dari upaya penyelesaian masalah. Walau
untuk hal ini, hemat saya, baru menyentuh kulit, belum menyangkut isi dalam.
Pencabutan pembekuan itu hanya akan menjadi pepesan kosong bila tak dibarengi
dengan aksi reformatif sebagaimana yang diharapkan.
Langkah reformasi tersebut
dimulai dari struktur organisasi PSSI yang saat ini sedang ternoda. Status
Ketua Umum La Nyalla Mattalitti yang menjadi tersangka kasus korupsi semakin
memperburuk citra PSSI sehingga menuntut perubahan pada pucuk pimpinan. Sulit
dibayangkan bila PSSI yang menjunjung tinggi asas sportivitas dan kejujuran
dipimpin oleh seorang pesakitan.
Upaya reformasi itu bisa ditempuh seperti yang
sedang diwacanakan saat ini yakni melalui Kongres Luar Biasa PSSI di mana para
pemegang suara memiliki hak penuh untuk menentukan komposisi pimpinan
organisasi tersebut. Pada titik ini pertanyaan berlanjut, apakah KLB PSSI nanti
akan benar-benar melahirkan pemimpin yang kredibel untuk membangkitkan
organisasi tersebut dari keterpurukan?
Terlepas dari hal tersebut saat ini
publik Indonesia tengah disuguhkan tontonan Torabika Soccer Championship (TSC).
Turnamen sepak bola tersebut telah dimulai sejak 29 April lalu dan dibuka
secara resmi oleh Presiden Joko Widodo di Jayapura, Papua.
Dioperatori oleh PT
Gelora Trisula Semesta (GTS) dan didukung oleh dua sponsor utama yakni Torabika
dan IM3 Ooredoo, turnamen ini akan berlangsung selama delapan bulan ke depan.
Dibagi dua kelompok, TSC A yang beranggotakan 18 klub dari kasta tertinggi dan
53 klub pentolan Divisi Utama di kategori TSC B, total 306 pertandingan akan
dihelat selama satu musim dengan mengeluarkan biaya tak kurang dari Rp375
miliar.
Kehadiran turnamen ini di satu sisi menjawab kerinduan masyarkat dan
pelaku sepak bola akan adanya kompetisi. Setelah PSSI dibekukan yang berbuntut
pada sanksi FIFA, praktis sepak bola Indonesia mati suri. Selain itu TSC melanjutkan
rantai kompetisi sepak bola dalam negeri yang telah dimulai sejak 1931.
Saat
itu peserta kompetisi masih bernama perserikatan dan sejak 1979 perserikatan
itu ditujukan kepada sepak bola amatir. Sejak tahun 1979 hingga 1994, Liga
Indonesia terpecah menjadi Liga Sepak Bola Utama (Galatama). Galatama ini
menjadi pionir sepak bola professional di Asia bersama Liga Hong Kong. Dengan
kelebihan dan kekurangannya, sejak 1994 hingga 2007, Perserikatan dan Galatama
melebur menjadi Liga Indonesia.
Sebagai wadah sepak bola dalam negeri, PSSI
menyatukan keduanya dalam sebuah kompetisi. Format dan nama pun terus berubah.
Liga Indonesia pun berubah menjadi Liga Super Indonesia, menggantikan Divisi
Utama sebagai kompetisi tingkat tertinggi. Setahun kemudian berganti nama
menjadi QNB League.
Tak berlangsung lama kompetisi yang mendapat sponsor utama
dari Timur Tengah itu, terhenti di tengah jalan. Baru kemudian muncullah TSC
yang hingga kini masih berjalan. Pertanyaan kini, kemana muara TSC dan sepak
bola Indonesia?
Seperti disinggung di atas, TSC lebih sebagai pelipur lara,
ketimbang solusi mendasar atas persoalan sepak bola dalam negeri. TSC hadir
dengan iming-iming hadih terbesar dalam sejarah liga Indonesia. Sang pemenang
mendapat 3 miliar rupiah dan runner-up mendapat hadiah 2 miliar rupiah.
Tak
hanya itu, setiap klub mendapat subsidi operasional sebesar Rp 5 miliar dan
uang tambahan dari hak siar dan prestasi. Dengan format berbeda, TSC mewajibkan
para peserta mematuhi regulasi pagu anggaran belanja antara Rp 5 miliar hingga
10 miliar. Selain itu, jumlah pemain asing dibatasi yakni empat orang (tiga
dari negara mana pun dan satu dari Asia).
Selama delapan bulan ke depan roda
sepak bola dalam negeri seakan bergeliat dan sejumlah regulasi yang dipatok
memberikan angin segar bagi format penyelenggaraan kompetisi yang diidamkan.
Anggap saja, TSC menjadi kesempatan uji coba sekaligus pencarian model ideal
untuk kompetisi dalam negeri.
Namun, bagaimana dengan nasib regenerasi pemain?
Setelah delapan bulan apa yang akan terjadi dengan para pemain muda, dan ke
mana perginya para pemain potensial? Dari format TSC jelas terlihat tak ada
degradasi sehingga mengerangkeng nuansa kompetisi di antara para pemain dan
klub peserta. Mereka bertanding semata-mata untuk TSC. Tak ada yang lain.
Setelah TSC berakhir tak ada jaminan bagi para pemain untuk ‘naik level’ ke tim
nasional. Demikian pun klub juara hanya berakhir dengan nama, dan menggenggam
trofi untuk dipajang di kandang sendiri. Ruang lingkup pergerakan pemain dan
klub-klub terbatas. Tak ubahnya seperti katak dalam tempurung, maksudnya
bergerak dalam ruang lingkup yang sangat sempit dan tertutup.
Dalam situasi
seperti ini, langkah reformasi struktural-administratif menjadi penting. Di
satu sisi, pencabutan pembekuan PSSI oleh pemerintah menjadi momentum
introspeksi bagi para pihak terkait untuk menata diri secara baik. Di sisi
lain, pemerintah dan pihak terkait terutama PSSI harus duduk bersama untuk
mencari jalan keluar terbaik.
Dialog merupakan bentuk komunikasi yang baik.
Namun dialog, menyitir pemikiran filsuf Jerman, Jurgen Habermas menyaratkan
sikap saling pengertian dan menempatkan satu sama lain dalam posisi setara.
Menganggap diri benar hanya akan melahirkan sikap apatis dan arogan. Jangan
harap masalah akan menumui titik penyelesaian bila para pihak saling
membentengi diri dengan sikap superior. Persis situasi inilah yang yang membuat
pemerintah dan PSSI menjadi seperti ‘kucing dan anjing”.
Kedua kubu menganggap
diri paling benar dan mengatasi yang lain. Alhasil insan persepakbolaan tak
berdosa jadi korban. Arah persepakbolaan kita pun tak jelas arah. Bila situasi
ini tak segera diatasi, maka jangan harap prahara sepak bola Indonesia
berakhir. Turnamen demi turnamen yang dibuat tak lebih dari pelipur lara
sesaat, tanpa arah dan menyasar tujuan esensial yakni kebangkitan sepakbola
Indonesia dan prestasi individu, klub dan tim nasional.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/pasca-pencabutan-pembekuan-pssi-ke-mana-muara-tsc-dan-sepakbola-indonesia_573309c70323bde511e0f0cd
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/pasca-pencabutan-pembekuan-pssi-ke-mana-muara-tsc-dan-sepakbola-indonesia_573309c70323bde511e0f0cd
Comments
Post a Comment