Menanti Kado 65 Tahun PBSI dari Kunshan
Tim Thomas dan Uber Indonesia (badmintonindonesia.org)
Pada 5 Mei
lalu Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) merayakan hari jadi ke-65.
Tak ada perayaan besar-besaran, apalagi gegap gempita untuk menandai perjalanan
panjang induk organisasi bulu tangkis seluruh Indonesia itu.
Bahkan hari
itu, suasana benar-benar sepi. Bahkan nyaris (di)lupa(kan) publik bila tidak
ada pesan singkat di jejaring sosial yang bisa disebarkan secara luas. Padahal
organisasi ini telah berjasa bagi Tanah Air melalui para pebulutangkis yang
telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Sulit kita
bayangkan Indonesia tanpa bulu tangkis. Adakah yang bisa kita banggakan di
ajang sekelas Olimpiade bila tanpa cabang olahraga yang satu itu? Dari catatan
yang ada, sepanjang keikutsertaan Indonesia di Olimpiade, bulu tangkis menjadi
cabang utama yang bisa mengantar Merah Putih ke podium utama.
Sejak Olimpiade
Helsinki tahun 1952 hingga Olimpiade London 2012 silam, Indonesia total mengemas
27 medali (enam medali emas, 10 medali perak dan 11 medali perunggu). Patut diketahui
enam medali emas tersebut berasal dari cabang bulu tangkis.
Prestasi tersebut
tentu tak lepas dari peran PBSI yang telah berdiri enam tahun setelah Indonesia
merdeka. Organisasi tersebut berperan penting dalam menjaring, membina dan
mengorganisir para bakat-bakat potensial di cabang tepok bulu ini. Maka
apresiasi kepada PBSI sepatutnya diberikan.
Namun demikian
tak ada pesta untuk PBSI di ulang tahun ke-65 ini bisa dimaknai secara berbeda.
Sejatinya setiap perayaan ulang tahun tak perlu selalu diidentikan dengan
pesta. Justru momen tersebut menjadi kesempatan yang pas untuk menilai dan
berkaca diri. Melihat kondisi saat ini, apakah PBSI masih tetap tegar dan kuat
untuk mencetak para pebulutangkis kelas dunia? Atau PBSI perlu penyegaran agar
semangat untuk membanggakan Indonesia tetap bernyala-nyala?
Entahlah
seperti apa ‘isi dalam” PBSI saat ini, namun yang pasti tak ada pesta besar
untuk PBSI kali ini (dan juga sebelumnya?) menjadi tanda bahwa organisasi yang
dirintis oleh Sudirman cs pada tahun 1951 ini lebih bertitik tekan pada kerja
dan prestasi. Bukan seremoni.
Ditambah lagi
saat ini pekerjaan PBSI semakin berat. Di usianya yang sudah tak muda lagi,
PBSI menghadapi tantangan yang semakin pelik. Semakin populernya olahraga ini
membuat tingkat persaingan di dunia semakin sengit. Bahkan saat ini bulu
tangkis Tanah Air sedang berada di titik kritis.
Mengapa
demikian? Coba tengok tradisi bulu tangkis Indonesia di Olimpiade yang sudah
terputus. Tak pernah kehilangan medali emas sejak Olimpiade Barcelona 1992,
rantai tersebut telah putus di Olimpiade terakhir di London 2012 lalu. Saat itu
bulu tangkis tak menyumbang satu medali pun.
Tak hanya
di Olimpiade, tolak ukur prestasi pun bisa dilihat dari kejuaraan bergengsi
lainnya sepreti turnamen beregu Piala Thomas dan Piala Uber. Indonesia sudah
kehilangan Piala Thomas sejak 2004.
Sementara sektor putri sudah lebih dulu
kehilangan taji di Piala Uber yang terakhir kali diraih pada 1996 silam. Sementara
di turnamen beregu campuran, Piala Sudirman, Merah Putih tak lagi Berjaya sejak
1989.
Secara individu
pun setali tiga uang. Saat ini jumlah pebulutangkis Indonesia yang masuk
kategori elit, misalnya masuk dalam rangking 10 besar BWF, bisa dihitung dengan
jari. Bahkan saat ini tak ada satu pun pemain Indonesia yang menduduki puncak
rangking dunia. Berbeda dengan Thailand, dan Spanyol yang merupakan pendatang
baru dan sempat mengirim wakil mereka di puncak rangking dunia.
Alih-alih
memiliki wakil di puncak tangga dunia, di sektor putri Indonesia sudah jauh
tertinggal di belakang negara-negara lain. Kerinduan pada kehadiran sosok
seperti Susi Susanti dan Mia Audina masih diperam hingga kini. Sejak era kedua
legenda itu, Indonesia tak lagi memiliki tunggal putri yang disegani. Saat ini
rangking tunggal putri terbaik berada di posisi 22 dunia sehingga hanya
mendapat satu tiket keberuntungan tampil di Olimpiade Rio de Janeiro pada bulan
Agustus nanti.
Maka
perayaan ulang tahun PBSI kali ini benar-benar menjadi kesempatan untuk
bertanya diri. Momentum refleksi itu bertepatan dengan acara potong tumpeng yang
selalu dibuat setiap ulang tahun. Kali ini acara sederhana itu digelar di
Pelatnas Cipayung pada Senin (09/05) lalu. Momen itu disatukan dengan acara
pelepasan Tim Thomas dan Tim Uber yang akan berlaga di Kunshan Sports
Center Stadium, Tiongkok pada 15-22 Mei 2016.
Gita Wirjawan memberikan potongan tumpeng kepada Hendra Setiawan (badmintonindonesia.org)
“Hari ini kita bukan cuma merayakan hari ulang tahun PBSI
tetapi juga merayakan momen untuk melimpahkan kesempatan dan peluang
teman-teman kita yang akan bertanding di Piala Thomas dan Uber. Momen ini
menjadi salah satu perjalanan hidup PBSI yang diwarnai dengan kesulitan dan
kebahagiaan,” ungkap Ketua
Umum PBSI, Gita Wirjawan
dikutip dari badmintonindonesia.org.
Yang
disampaikan Gita Wirjawan jelas menyiratkan kondisi PBSI saat ini. Sisi sulit
di antaranya sudah disampaikan di atas. Sementara aspek sebaliknya di antaranya
tercermin dari kehadiran para pemain muda yang kini mendapat kesempatan yang
luas untuk membela panji Merah Putih seperti terlihat dalam komposisi Tim
Thomas dan Uber kali ini.
Di sektor
putra selain Tommy Sugiarto dan pasangan ganda senior Mohammad Ahsan/Hendra
Setiawan, selebihnya adalah para pemain muda yang sedang naik daun. Sementara itu
di sektor putri Greysia Polii dan Maria Febe Kusumastuti akan membimbing para
junior untuk bersaing dengan tim-tim kuat lainnya.
Absennya Lindaweni Fanetri
dan Nitya Krishinda Maheswari yang dalam kondisi tak bugar demi mempersiapkan
diri secara maksimal ke Olimpiade Rio, memberikan kesempatan penuh kepada Hanna
Ramadini, Fitriani, Gregoria Mariska, Tiara Rosalia Nuraidah, Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istarani serta Della Destiara
Haris/Rosyita Eka Putri.
Sebagai sektor
yang kurang diunggulkan para srikandi Merah Putih ini akan bersaing dengan tim
kuat Thailand serta Bulgaria dan Hong Kong di grup C. Harapan tentu tak
muluk-muluk. Lolos fase grup sudah menjadi prestasi tersendiri.
Sementara sektor
putra mendapat harapan yang lebih tinggi. Bahkan target juara dipatok kepada
Hendra Setiawan dan kolega.
“Melihat history di kualifikasi Piala Thomas 2016, tim kami
bisa mengalahkan Jepang yang merupakan juara bertahan yang turun dengan
kekuatan penuh. Sedangkan kami menurunkan pemain-pemain muda, jadi kami optimis
tim Thomas bisa menjadi juara di putaran final kali ini, namun kami tidak mau
over-confidence,” ungkap
Rexy Mainaky, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI.
Apakah
harapan tersebut akan berbuah nyata? Sebagai target hal tersebut sah dan layak
dipatok. Selebihnya perjuangan di lapangan akan menentukan seberapa mampu para
duta bangsa itu mewujudkan harapan tersebut.
Setidaknya,
kepada mereka, segenap bangsa Indonesia menaruh doa dan harapan terbaik. Tak hanya
untuk nama baik bangsa, juga sebagai kado ulang tahun PBSI ke-65.
Selamat berjuang
para duta bangsa….
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 10 Mei 2016.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/menanti-kado-65-tahun-pbsi-dari-kunshan_5731af070323bd5f08ca2181
Comments
Post a Comment