Jejak Panjang Sianida (Tersisa) di Kopi Wayan Mirna
Dr.Budiawan
tengah memberikan pandangan, didampingi Veronica Hervy, Mercy Tirayoh dan
dipandu Glory Oyong (foto dokumen pribadi)
Pagi masi muda. Hari itu, Sabtu 22 Februari. Kereta Commuter
Line jurusan Tanah Abang baru saja merapat di stasiun Palmerah. Dalam langkah
setengah memburu, saya memilih tangga berjalan menuju lantai dua. Sekilas
menyapu pandangan ke sekeliling stasiun ‘wah’ berwarna dominan putih yang
kabarnya menghabiskan biaya renovasi tak kurang dari Rp36 miliar, berbelik ke
kanan mengambil jalur jembatan penyebrangan yang berujung di titik kumpul
segerombol tukang ojek yang berburu menarik pelanggan.
Tak ambil pusing dengan
keramaian lalu lintas membawa arus manusia menuju pusat kota di akhir pekan
yang mendung. Abai pada tawaran tukang ojek, langkah kaki segera diayunkan.
Melawan arus, menyusuri trotoar yang tak jelas peruntukannya. Di benak hanya
satu yang terpikirkan: segera sampai di tujuan dan sejauh dapat tak meleset
dari jadwal. Tak jauh memang dari stasiun termegah kedua setelah Gambir untuk
menjangkau Galeri Kiri Bawah, Bentara Budaya Jakarta. Waktu itu jarum jam
menunjuk tepat pukul 10.00. Alamak!
“Acaranya belum dimulai mas. Silahkan
registrasi dulu,”suara wanita di balik meja dengan beberapa tulisan kertas
tegak berdiri memberi petunjuk kepada siapa saja yang akan melakukan pendataan
diri pada salah satu lembar yang berisi nama, nomor telepon, asal instansi dan
terakhir tanda tangan.
Sejurus kemudian saya mengisi beberapa kolom
dengan nama yang sudah tertera di lembaran registrasi untuk peserta dari
KOMPASIANA. Meski jam sudah menunjukkan waktunya mulai, di sana-sini kesibukan
persiapan masih saja terjadi.
Beberapa peserta santai menikmati snack yang
disediakan di luar ruangan yang tak lebih lebar dari ruang kelas SD-ku dulu,
tempat saya menimba pendidikan dasar di sebuah daerah sederhana nun di timur
Indonesia. Ada pula yang tengah asyik bercengkerama dengan rekan di samping.
Tak sedikit yang memilih menyendiri, entah membaca buku sambil menyenderkan
diri di kursi kayu berpelitur coklat, entah mengamati kesibukan para crew yang
tengah menyiapkan peralatan, pun ada pula yang sekedar menatap layar datar
berukuran sekitar 24 inci yang tegak di depan dengan tulisan khas BERKAS
KOMPAS sambil menanti kapan acara yang ditunggu itu mulai.
“Acara ini
sebenarnya bertujuan untuk mendekatkan Kompas TV dengan masyarakat..,”suara
samar-samar dari mulut seorang wanita berkulit putih dengan syal melingkar di
leher yang duduk di deretan belakang.
Aku yang duduk beberapa kursi di
depannya sekilas membalik badan. Rasa ingin tahu menyeruak. Tampka jelas,
ekspresi wajah dan gesturnya hendak meyakinkan seorang pria berkaca mata, berbaju
coklat bermotif kotak-kotak dan belah ketupat yang menatapnya dengan penuh
antusias. Tak lama berselang saya pun tahu wanita tersebut bernama Riry
Silalahi. Ya eks gitaris band SHE yang banting stir ke dapur pemberitaan
televisi dan menjadi sosok penting di balik peliputan Kompas TV.
Sementara pria
berkaca mata tersebut adalah Dr.rer.nat.Budiawan,salah satu narasumber dalam
‘Bincang Sapa”, program talk show yang mengangkat isu-isu terhangat yang
dibahas dalam program-program on air Kompas TV. Edisi perdana ini mengangkat
topik yang masih hangat ‘Melacak Jejak Sianida’ di balik kasus kematian Wayan
Mirna Salihin (27) yang meregang nyawa usai meneguk es kopi ala Vietnam
di Oliver Cafe, West Mall Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta Pusat
pada Rabu 6 Januari 2016 silam.
Riri Silalahi (kedua dari kanan) dan Dr.Budiawan
(ketiga dari kanan) sumber gambar twitter @KompasTV
Tersembunyi
namun nyata
“Setelah Jesica ditetapkan tersangka, kami segera mempersipkan diri
untuk melakukan investigasi,”tutur Veronica Hervy, produser Berkas Kompas,
menjawab pertanyaan titik berangkat investigasi peredaran zat berbahaya itu
yang ditanyakan host Sapa Indonesia pagi, Glory Oyong.
Tanpa tedeng
aling-aling, wanita berkaca mata yang mengawali karirnya sebagai reporter itu
mulai menceritakan secara panjang lebar tentang proses penyelidikan terkait
peredaran sianida di sejumlah titik di Jakarta. Awal mula dari penelusuran
lapangan yang dilakukan kru berkas Kompas, jejak sianida itu tak bisa dilacak
keberadaannya. Setelah mengunjungi sejumlah toko kimia di wilayah Jabodetabek
hasil yang diperoleh nihil.
Namun situasi berbanding terbalik saat memilih
jalur online. Tak butuh waktu lama untuk mencari penjual zat berbahaya itu.
Demikianpun tak perlu menyusuri jalan berliku untuk mendapatkan sianida dalam
jumlah banyak. Hal yang tersembunyi di jagad nyata ternyata nyata terlihat via
dunia maya.
“Lebih mencengangkan lagi harga tersebut bisa ditawar,”beber Vero
dengan nada tinggi separuh tak percaya untuk menyebutkan harga satu tabung
sianida 50 kg seharga Rp3.700.00 bisa didapat dengan potongan harga
Rp500.000,00.
Vero mengaku proses hingga mendapatkan sianida dari pihak
penjual, yang diketahui sebagai sebuah perusahaan resmi yang bergerak di bidang
pertambangan, tak butuh waktu lama. Tak ada persyaratan administratif rumpil
rumit seperti yang dibayangkan semisal surat izin dari kepolisian. Pertanyaan
njelimet tentang maksud tan tujuan memiliki sianida apalagi.
“Paling-paling
saat ditanya kita mengaku sebagai mahasiswa yang akan melakukan penelitian,”tambah
Mercy Tirayoh, reporter Berkas Kompas sambil menambahkan tak ada lagi
cross-check lebih lanjut terkait indentitas sang pembeli.
Alhasil satu tabung
sianida itu bisa diperoleh dengan mudah hanya dalam waktu tiga hari. Dan
serangkaian proses investigasi hingga memastikan kesahihan zat tersebut sebagai
sianida di laboratorium Kimia Universitas Indonesia membutuhkan waktu sekitar
satu minggu. Singkat, bukan?
Mematikan
Sebagaimana sudah kita ketahui dan
kembali ditekankan Dr. Budiawan, sianida merupakan zat beracun dan sang
mematikan. Efek kerja senyawa yang tersusun oleh atom karbon (C) dan nitrogen
(N). dengan rumus kimia CN- begitu cepat, apalagi dikonsumsi dalam jumlah
berlebihan.
“Zat kimia itu masuk ke lambung maka semua garam akan menjadi asam
sehingga korositisas terlihat jelas. Sianida akan memblok kerja oksigen,
sehingga organ-organ tubuh tak bekerja, metabolisme menjadi terganggu akibatnya
susah bernafas, pusing, mual dan tak sadarkan diri, Kurang dari satu jam akan
terjadi kematian,”tutur lulusan Jerman itu.
Agar lebih jelas, pria yang malang
melintang menimba ilmu hingga ke Korea, Amerika Serikat dan Jepang itu coba
memerinci konsentrasi sianida yang berujung kematian seperti yang dialami Wayan
Mirna.
Parameter yang berujung kematian seperti sianida ialah 6,4 miligram/kg
berat. Bila diandaikan berat badan Wayan Mirna adalah 50 kg maka jumlah sianida
sebesar 320 miligram saja sudah berujung kematian. Bila benar bahwa konsentrasi
sianida di kopi Mirna sebanyak 15 gram atau 15.000 miligram, maka tak
mengherankan Wayan Mirna akhirnya tewas tak lama setelah meneguk kopi maut itu.
Maka tak boleh main-kain dengan namanya sianida yang hadir dalam bentuk gas
Hidrogen sianida (HCN), maupun dalam bentuk garamnya yakni potasium/kalium
sianida (KCN) atau sodium/natrium sianida (NaCN) itu !
Celah menganga
Penelusuran yang dilakukan tim Berkas Kompas dan diamini oleh Dr.Budiawan
menunjukkan secara jelas adanya celah yang menganga lebar terkait peredaran zat
berbahaya itu di Indonesia. Sianida yang sangat berbahaya ini bisa beredar
bebas dan diperoleh dengan leluasa di tanah air ini.
“Negara belum punya aturan
jelas mengatur peredaran zat berbahaya. BIla ada aturan pengawasannya tak
jelas,”simpul Mercy Tirayuoh dari hasil investigasinya.
Sejauh ini regulasi terkait
zat berbahaya itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.74
tahun 2001 tentang Pengelolaan Banah Berbahaya dan Beracun serta UU No.32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun entah mengapa
aturan-aturan tersebut sepertinya tak bisa mencengkeram peredaran bebas sianida
di Indonesia. Sebagai perbandingan, Dr. Budiawan yang tujuh tahun hidup di
Jerman dan bergaul dengan zat-zat berbahaya,mengaku bahwa persyaratan untuk
mendapatkan zat berbahaya amat rumit. Bagi seorang asing, untuk mendapatkan zat
berbahaya harus melewati serangkaian proses rumpil rumit mulai dari melengaki
persyaratan dokumen seperti paspor dan surat identitas lainnya, berikut surat
keterangan dari yang berwenang. Mereka yang akan mendapatkannya juga
diwanti-wanti- lebih tepat diperingkatkan, bahwa kesalahan dalam penggunaan
akan mendapat sanksi dan hukuman keras.
Tak hanya itu, sbagai masyarakat maju,
kesadaran penduduk Jerman terhadap zat-zat berbahaya sudah sangat tinggi.
“Adanya dugaan terhadap penggunaan zat berbahaya di sebuah sekolah
saja..hebohnya minta ampun dan menjadi bahan pembicaraan luas di seluruh
negeri,”tutur dosen Kimia Universitas Indonesia itu.
Selain tingkat kesadaran
masyarakat yang sangat tinggi, pengelolaan dan pemanfaatan zat berbahaya di
kalangan masyarakat maju pun sangat disiplin dan sistematis yang berbasis
'safety and security 'serta terinventarisir dengan baik.
Berbeda dengan
negara-negara maju lainnya, hemat Dr.Budiawan di Indonesia pengaturan peredaran
dan pemanfaatan zat-zat berbahaya tidak terintegrasi sebagai satu kesatuan
dalam proses distribusi, penyaluran hingga penyimpanan dalam sebuah 'life
cycle' yang benar.
“Simbol racun di perusahaan-perusahaan di Indonesia
berbeda-beda. Digunakan sesuai negara asal pabrik tersebut dan dengan bahasa
berbeda-beda…,”ungkap Budiawan memberi contoh, sekaligus mengatakan kita tak
mau menuruti anjuran PBB untuk menggunakan satu simbol saja, tengkorak
misalnya.
Dr.Budiawan bersemangat memberikan penjelasan (sumber
gambar @Kompas TV)
What Next?
Sebagai sebuah program acara yang memberikan ruang interaksi
kepada para hadirin, pada bagian akhir para peserta diberi kesempatan untuk
memberikan pandangan dan pertanyaan kepada para narasumber. Salah satu
pertanyaan yang menggelitik, dan hemat saya menjadi implementasi dari acara
tersebut, ialah tindak lanjutnya.
Dari pihak Kompas TV, Veronica Hervy mengaku
investigasi yang telah dilakukan adalah potret nyata peredaran zat-zat
berbahaya di Indonesia. Liputan tentang ‘Melacak Jejak Sianida’ di kopi Wayan
Mirna membuka jejak tentang marak dan bebasnya peredaran zat-zat mematikan itu.
“Acara ini bukan mau menunjukkan bahwa mudah mendapat Sianida, tetapi mau
menunjukkan bahwa masih ada celah yang harus dibenahi,”simpul Glory Oyong.
Sementara itu, Dr.Budiawan secara aplikatif berharap agar pembenahan pengaturan
peredaran dan pemanfaatan zat-zat berbahaya harus segera dilakukan dengan
berkaca pada negara-negara maju. Menjawab selentingan penanya lainnya bahwa
masyarakat Indonesia kebanyak belum mengetahui tentang zat-zat berbahaya
sehingga kerap secara tidak sadar menggunakannya, Dr.Budiawan menilai
pentingnya sosialisasi.
“Zat-zat tersebut di satu sisi bermanfaat. Di dunia
industri zat-zat itu lazim digunakan,”tuturnya sambil memberi contoh tentang
sianida yang digunakan di industri tambang emas yang menggunakannya untuk
menggantikan mercuri, di pabrik kertas,serta dalam kandungan pestisida sebagai
pembunuh serangga yang digunakan secara luas di dunia pertanian.
Akhirnya,
Bincang Sapa hari ini meninggalkan kita dengan aneka paradoks menarik. Di satu
sisi, tak sukar melacak jejak peredaran sianida, mungkin juga zat-zat kimia
berbahaya lainnya di Indonesia yang telah merenggut nyawa Wayan Mirna. Namun di
sisi lain, kematian wanita malang itu meninggalkan jejak panjang yang patut
disusuri dan dimaknai bersama untuk membenahi kekurangan di sana-sini di
antanya terkait pemanfaatan dan peredaran zat-zat berbahaya itu agar tak ada
Wayan Mirna berikutnya.
Semoga....
Para peserta yang mendapatkan hadiah door prize
berfoto bersama narasumber (dokumen pribadi)
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 22 Februari 2016
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/jejak-panjang-sianida-tersisa-di-kopi-wayan-mirna_56cb0d333b7b61440e511f62
Comments
Post a Comment