Horor di Kereta (Bekas) Commuter Line
Kehadiran Commuter Line atau kereta rel listrik (KRL) sedikit banyak berpengaruh bagi kehidupan transportasi di ibu kota Jakarta khususnya dan wilayah Jabodetabek umumnya. Dari pantauan saya yang belum lama memilih moda transportasi ini, animo masyarakat begitu tinggi. Hal itu bisa terlihat saban hari. Hampir tak ada stasiun yang saya lewati sepi, kecuali pada larut malam.
Bahkan pada jam-jam tertentu di stasiun-stasiun transit khususnya, situasinya hampir tak bisa dipahami akal sehat. Bagaimana bisa lautan penumpang begitu membludak, berjejal di ruang-ruang peron yang serentak menjadi begitu kecil dan sempit. Belum lagi jika harus berdesak-desakan atau lebih tepatnya saling menempel tak peduli jenis kelamin di dalam kereta yang melaju begitu cepat dengan selingan bunyi gemeretuk dan guncangan yang mencekam.
Entah apa yang membuat situasi bisa berubah tak bedanya tayangan horor di televisi. Namun satu dua hal yang bisa menjadi alasan sementara adalah ketidakseimbangan antara permintaan pengguna yang tinggi dan sarana yang tersedia. Rangakaian-rangkaian kereta yang tersedia sepertinya terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang begitu tinggi. Belum lagi sarana dan fasilitas peron yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan yang terus meningkat.
Sebagai contoh, di stasiun transit Tanah Abang, salah satu spot mencekam yang kerap terjadi pada jam-jam pulang kantor, letak peron yang saling berdekatan membuat tumpukan penumpang mudah terjadi terutama di jalur-jalur favorit yakni jalur 5 dan 6 (menuju arah Serpong, Parung Panjang hingga Maja). Penumpang yang transit dan turun di jalur 2 dan 3 akan membentuk gelombang antrian panjang ketika keluar dari atau menuju jalur 5 dan 6. Ketidaksigapan, apalagi ketidaktegasan petugas kemananan untuk mengarahkan penumpang di jalur naik-turun akan membuat situasi menjadi semakin mencekam. Saling desak-desakan dan dorong-dorongan yang menguras tenaga bahkan juga emosi hampir pasti terjadi. Umpatan, bahkan caci-maki mudah memenuhi langit-langit stasiun. Bisa kita bayangkan betapa menderitanya ibu-ibu hamil atau yang membawa bayi, kaum lanjut usia atau kaum difabilitas menghadapi situasi tersebut.
Setelah melewati barikade mahasesak menuju pintu KRL, penumpang masih harus bergulat dengan tantangan tak kalah horor di dalam kereta. Perlombaan adu cepat menggapai kursi disusul gelombang masuk yang begitu dahsyat hampir tak mengenal batas. Tak pernah berlaku kata cukup dan tak ada artinya seruan masinis ‘jangan memaksa masuk’ bila sudah penuh. Kata penuh (berapa orang???) yang tak jelas artinya pun benar-benar kehilangan makna melihat jejalan penumpang di dalam kereta dan terus masuknya penumpang di setiap pemberhentian hingga benar-benar tertelan KRL menuju destinasi andalan seperti stasiun Kebayoran, Pondok Ranji, Sudimara dan Serpong. Ketika sampai di stasiun tujuan, tarikan nafas bahagia disusul lantunan alhamdulilah hampir pasti terjadi. Ekspresi kelegaan dan rasa syukur setelah melewati ziarah yang mencekam.
Bekas
Situasi ini menuntut tanggapan serius pemerintah. Perubahan demi perubahan harus terus terjadi untuk menjawab kebutuhan yang terus meningkat. Salah satu yang bisa ditempuh adalah memperketat pengaturan baik jadwal maupun lalu lintas manusia di setiap stasiun serta memperbanyak rangkaian kereta.
Terkait hal terakhir itu, beberapa hari lalu sebanyak 18 unit KRL dari Jepang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Rangkaian tersebut merupakan akhir dari pengadaan KRL untuk tahun 2015 sebanyak 120 unit. Kehadiran tambahan rangkaian ini menjadi kabar bahagia bagi kita para pencinta KRL. Pihak pengelola PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) menargetkan di tahun ini bisa melayani 285 juta pengguna, tumbuh 10,9 persen dari realisasi penumpang tahun 2015 sebanyak 257 juta pengguna.
Di tengah itikad baik pemerintah untuk menjawab kebutuhan ini, pertanyaan menggelitik yang mencuat adalah mengapa harus selalu kereta bekas dari Jepang? Saya sedikit melakukan penelusuran kecil-kecilan untuk mencari tahu alasannya.
"Ada banyak faktor ya. Tidak cuma harga yang lebih murah, tetapi dari segi teknis, perawatan, dan fitur kereta sudah akrab dengan situasi di Indonesia," terang Direktur Umum PT KCJ, SN Fadhila, Kamis (2/7/2015) seperti dikutip dari Kompas.com. Menurut Fadhila harga beli kereta, rata-rata Rp600 juta hingga Rp 1 miliar, membuat harga perawatan dan tiket bisa ditekan. Sebaliknya bila harus membeli gerbong baru yang ditaksir seharga Rp12 miliar-Rp15 miliar seperti terlihat di Bandara Kualanamu. Medan, Sumatera Utara, maka harga tiket dan perawatan akan semakin meningkat.
Pertanyaan lanjutan, mengapa gerbong itu harus selalu dibeli dari luar? Apakah sumber daya dalam negeri tak bisa membuat gerbong KRL yang tampak jelas jauh dari rumit bila dibandingkan pesawat N-219 buatan anak negeri? Dalam hati kecil setiap kali dengan tabah menikmati horor KRL saya hanya bisa berharap agar yang bekas itu bisa membawa saya selamat hingga tujuan.
Pertama kali dipublikasikan di KOmpasiana, 9 Januari 2016
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/horor-di-kereta-bekas-commuter-line_5690c22f0f97732206f7fdf6
Comments
Post a Comment