Dari "Sekarang, Sumber Air Su Dekat" Menjadi "Sekarang, Masalah Air Su Banyak"
Sejak lebih dari satu dekade silam, jagat pertelevisian Tanah Air dihiasi iklan program sosial Danone Aqua yang terkenal dengan penggalan kalimat, “Sekarang, sumber air su dekat….”
Frasa itu keluar dari mulut Dominggus Kabnani, seorang bocah Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam dialek khas Timor. Seiring bertambah usianya, penggalan itu mulai mencapai kepenuhan seperti dalam lanjutan kalimat tersebut, “…karena mudah ambil air, katong (kita/kami) bisa hidup sehat.”
Dalam konteks Dominggus dan lingkungannya, air untuk kebutuhan sehari-hari sudah bisa tercukupi. Mereka tak perlu bersusah payah lagi mendapat pasokan air bersih. Sumber air yang semula jauh dan untuk menjangkaunnya harus bersusah-payah, kini sudah berada di depan mata.
Persoalan akses pada air bersih yang dialami Dominggus dan warga sekitarnya sesungguhnya adalah satu dari sekian masalah air yang saat ini tengah mengemuka. Masalah lain seperti tersingkap dalam Webinar yang diselenggarakan Danone Aqua saat memperingati Hari Air Sedunia, Selasa (22/3/2022) lalu.
Acara virtual bertajuk “Melestarikan Ketersediaan Air dalam Menghadapi Perubahan Iklim” merupakan respon terhadap topik global, “Air tanah-Membuat yang tak terlihat, terlihat."
Ada sejumlah pembicara kompeten seperti Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc., Direktur Bina Teknik Sumber Daya Air Kementerian PUPR; Tri Agung Rooswiadji selaku Footprint Program Manager, WWF Indonesia; Dr. Sci. Rachmat Fajar Lubis, Peneliti Air Tanah BRIN; Putu Ayu Saraswati, Puteri Indonesia Lingkungan 2020; dan Ratih Anggraeni, Head of Climate and Water Stewardship Danone Indonesia.
Krisis air
Dunia sebenarnya tengah mengalami krisis air. Dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan ikut menjadi sebab yang juga dipicu oleh ulah manusia.
Vera Galuh Sugijanto, VP General Secretary Danone Indonesia membuka rangkaian acara tersebut dengan data World Meteorological Organization, salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Data itu menunjukkan 25 persen dari daerah yang disurvei tengah mengalami kekurangan air. Sebagian besar negara di dunia belum, untuk tidak mengatakan tidak siap, menghadapi masalah air seperti banjir dan kekeringan.
“Selama dua dekade terakhir, pasokan gabungan dari sumber air permukaan, air tanah, dan air yang ditemukan di dalam tanah, salju, dan es di planet ini telah menurun sampai 1 sentimeter per tahun,” beber Vera Galuh Sugijanto.
Potret miris itu juga terjadi di Tanah Air. Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc mengatakan indeks pemakaian air di Indonesia menunjukkan status kritis sedang hingga kritis berat. Tingkat konsumsi air di sebagian besar wilayah di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara untuk keperluan domestik, industri dan pertanian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan capaian akses air bersih yang layak di Indonesia mencapai 72,55 persen. Angka iitu masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yakni 100 persen.
Hal tersebut menjadi tantangan yang harus dijawab oleh berbagai pihak. Dari pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR, diperlukan pembanggunan infrastruktur dan pengolahan sumber daya air yang ditujukkan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat.
“Hal ini juga dilakukan untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) terutama tujuan ke-6 yaitu Pemenuhan terhadap Air Bersih dan Sanitasi yang layak pada situasi dimana saat ini terjadi perubahan iklim yang cukup ekstrim sehingga secara bersamaan Indonesia juga harus memenuhi tujuan ke-13 dari SDGs yaitu Penanganan Perubahan Iklim,” tegas Direktur Bina Teknik Sumber Daya Air Kementerian PUPR itu.
Problem Air tanah
Seperti dikatakan sebelumnya, peringatan Hari Air Sedunia 2022 atau #WorldWaterDay2022 mengusung tema, ““Air tanah-Membuat yang tak terlihat, terlihat."
Air tanah khususnya memiliki peran penting untuk memasok kebutuhan air bagi makhluk hidup baik untuk konsumsi (air minum), pertanian, sistem sanitasi, hingga keperluan industri. Di negara-negara yang mengalami krisis air, sebagaimana data FAO, 40 persen ketersediaan air dari lapisan ekuifer justru digunakan untuk keperluan irigasi.
Memompa air tanah ini memang menjadi cara paling murah dan cepat. Namun, penggunaan yang masif bisa mempercepat kelangkaan air tanah.
Tidak hanya soal kuantitas. Kualitas air tanah pun semakin memprihatinkan. Penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan bisa menurunkan mutu air. Dengan demikian, apa yang dilakukan di permukaan tanah akan berdampak pada jumlah dan kualitas air tanah. Situasi ini diperparah oleh perubahan iklim yang terjadi begitu cepat.
Pengolahan terpadu berbasis DAS
Untuk itu, pemanfaatan dan pengolahan air tanah menjadi pekerjaan penting. Tanggung jawab tersebut tidak bisa dibebankan pada pihak tertentu saja. Perlu upaya bersama yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Tri Agung Rooswiadji menekankan pentingnya pengelolaan air secara terpadu berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Footprint Program Manager, WWF Indonesia, ini beralasan DAS yang terkelola dengan baik bisa memastikan pasokan air tanah terutama bagi daerah hilir yang kebanyakan merupakan kawasan padat penduduk baik sebagai pemukiman maupun lokasi industri.
Kita tidak tahu pasti berapa banyak ketersediaan air tanah. Hal ini memungkinkan terjadinya kegagalan dalam pemanfaatan sumber air tanah.
“Mengeksplorasi, melindungi, serta menggunakan air tanah secara berkelanjutan akan menjadi kunci untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan iklim dan efek dari semakin meningkatnya populasi manusia,” beber Tri Agung.
Sementara itu, Dr. Sci. Rachmat Fajar Lubis menilai pemahaman tentang ketersediaan air tanah perlu terus digaungkan mengingat persediaannya semakin menurun.
“Metode kuantifikasi di enam sektor yang terintegrasi di antaranya penanaman pohon, dan pembangunan sumur resapan untuk konservasi air hendaknya dapat dilakukan secara nasional karena akan sangat bermanfaat untuk memonitor ketersediaan air. Pada akhirnya diperlukan dukungan serta partisipasi untuk menjaga bangunan-bangunan konservasi air,” demikian usul , Peneliti Air Tanah BRIN itu.
Inisiatif Danoe-AQUA
Sebagai salah satu sektor yang terkait dengan masalah air dan air tanah, maka peran sektor industri tak bisa dinafikan. Hal ini disadari pula ole Danone-AQUA, perusahaan pengolahan air minum terbesar di Indonesia.
Ratih Anggraeni, Head of Climate and Water Stewardship Danone Indonesia, mengungkapkan tanggung jawab perusahaan itu yang terejawantah dalam berbagai inisiatif, baik untuk pelestarian sikluas air, maupun menjaga ketersediaan air.
Pertama, bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan validasi atas analisa dan kalkulasi dampak aktivitas pengelolaan air yang dilakukan Danone-AQUA dengan metode Volumetric Water Benefit Analysis (VWBA) di dua lokasi pabrik AQUA yaitu Mekarsari dan Babakanpari di Sukabumi, Jawa Barat.
“Kami juga menyadari bahwa proses validasi yang terukur dari lembaga yang kredibel memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas dari pengelolaan sumber daya air” tegas Ratih.
Kedua, sebagai bentuk kontribusi untuk melindungi sumber daya air tanah, perusahaan ini selalu berupaya mengembalikan air ke dalam ekosistem dan menggunakan air secara bertanggung jawab, termasuk pula meningkatkan akses air bersih bagi masyarakat di sekitar pabrik dan wilayah operasional yang masih mengalami kekurangan air bersih.
“Kami berkomitmen dalam menjaga sumber daya air untuk keberlanjutan lingkungan dan bisnis bersama masyarakat serta pemangku kepentingan. Kami menjaga kuantitas dan kualitas air di Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan menginisiasi penelitian hidrogeologi, program konservasi, dan pembentukan forum pengguna air untuk memastikan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam mengelola DAS,” demikian Ratih memberi contoh.
Ketiga, Danone-AQUA bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan internasional meningkatkan jangkauan dan jaminan keberlanjutan program serta menginisiasi model bisnis yang inovatif.
Taman Kehati dan WASH
Danone-AQUA juga menjalankan berbagai program untuk menjaga pasokan air tanah melalui program Taman Keanekaragaman Hayati (Taman Kehati). Saat ini ada dua Taman Kehati yang sedang dikembangkan, masing-masing berlokasi di Gunung Kidul, Yogkayarta dan Bogor dengan area seluas 20 hektare.
Taman Kehati bertujuan melestarikan flora dan fauna endemik lokal yang teracam punas. Selain tujuan konservasi, program ini juga bertujuan memenuhi kebutuhan pangan sehat dan akses air bersih.
Taman Kehati sudah melindungi 35 jenis flora dan 10 spesies fauna di area Yogyakarta, serta 39 jenis flora dan 130 spesies di daerah Bogor.
Selain itu, Danone juga melakukan program penanaman pohon, program Akses Air Bersih, Penyehatan Lingkungan, dan berbagai upaya edukatif lainnya.
Program lain yang patut disebut adalah WASH (Water Accesss, Sanitation, and Hygiene). Program ini mengacu pada strategi pengolahan sumber daya air terpadu yang dijalankan di area pemukiman yang merupakan bagian dari DAS dan daerah dengan tingkat akses air bersih dan sanitasi yang rendah.
Hingga akhir 2021, sudah ada 438.104 orang di 44 kabupaten yang menerima manfaat dari program tersebut.
Hemat air
Sementara itu, wujud tanggung jawab masyarakat umumnya bisa tercermin dalam perilaku sederhana sehari-hari. Putu Ayu, membeberkan sejumlah contoh praksis yang mudah dilakukan.
Menghemat air dalam kegiatan sehari-hari bisa ditempuh dalam aktivitas menyiram tanaman, mandi, mencuci, hingga hal sepele seperti menggosok gigi.
“Proses menggosok gigi dengan membiarkan kran air terus mengalir dapat mengakibatkan sekitar 6 liter air bersih terbuang dengan sia-sia,” tegas Putu Ayu.
Akhirnya, kegiatan seperti webinar ini diharapkan bisa menjadi bagian dari tindakan advokasi di dunia digital sehingga bisa menjangkau banyak orang.
Masalah air sudah di depan mata seiring meningkatnya kebutuhan manusia dan perilaku manusia yang sulit dikontrol. Kini seruan Dominggus yang mewakili sebagian masyarakat NTT yang mengalami krisis air bersih perlu diamplifikasi sebab problem tersebut sedang mengancam lebih banyak orang.
Sekarang, masalah air su (sudah) banyak. Kalau bukan kita yang harus bertindak, maka siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Comments
Post a Comment