Bila Soekarno pada 1962 Bisa, Mengapa Kita Tidak?
Spanduk Asian Games 2018 terpasang di trotoar di salah satu ruas jalan di Jakarta/dokpri |
“Ini semua bukanlah untuk kejayaanku, semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,”
(Soekarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1965, karya Cindy Adams)
Mengapa kita patut berbangga menjadi tuan rumah Asian Games
2018? Hemat saya ada beberapa alasan. Pertama,
Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah ajang multievent tingkat
Asia ini setelah menanti kurang lebih 58 tahun. Indonesia pertama kali menjadi
tuan rumah pada 1962, atau 17 tahun setelah kemerdekaan.
Penyelenggaraan Asian Games ke-IV sejak 24 Agustus hingga 2
September 1962 itu menuntut perjuangan keras dalam berbagai bidang. Berbekal optimisme
yang tinggi, Presiden Soekarno mampu menyaput segala keraguan untuk menjadi
tuan rumah. Coba bayangkan sebuah bangsa yang belum lama merdeka menjadi tuan
rumah pesta olahraga antarbangsa Asia.
Saat itu Indonesia tidak memiliki modal infrastruktur juga
ekonomi mumpuni. Indonesia sama sekali tidak memiliki arena olahraga standar. Sarana
dan prasarana pendukung pun jauh dari memadai. Namun tekad sang pemimpin bangsa
membuat sesuatu yang sulit dan tidak mungkin menjadi mudah dan mungkin.
Indonesia mengejutkan Asia dengan mengajukan diri sebagai
tuan rumah. Dalam voting yang berlangsung pada Mei 1958 di Tokyo, Jepang,
Jakarta bersaing dengan Karachi sebagai dua kandidat tuan rumah. Jakarta
akhirnya mengalahkan ibu kota Pakistan itu dengan perolehan suara 22 berbanding
20.
Semarak pembukaan AG 1962/Okezone.com |
Keunggulan dua suara itu lebih dari cukup bagi Jakarta dan
Indonesia menjadi penyelenggara. Apa yang dilakukan pemimpin bangsa dan
masyarakat kala itu sungguh mengagumkan. Dalam tempo yang singat Jakarta
berbenah. Jakarta berubah dari “nothing” menjadi “something.”
Berbekal kemampuan diplomasi, Soekarno meminta bantuan sekutunya,
Uni Soviet. Indonesia mendapat pinjaman lunak sebesar 12,5 juta USD. Tidak hanya
itu negara yang kemudian pecah itu juga memberi bantuan insinyur dan teknisi
untuk merancang sebuah “multi-sports complex” di kawasan Senayan yang belum ada
apa-apanya kala itu. Senayan saat itu hanyalah kumpulan rumah penduduk yang
secara administratif terdiri dari empat desa dengan kurang lebih 60 ribu
penduduk.
Tiang pancang ditanam pada 8 Februari 1960 dan dalam tempo
kurang dari dua tahun sudah mewujud bentuk yang mutakhir menjadi salah satu stadion
termegah di dunia. Soekarno dengan bangga mengatakan bahwa arena yang kemudian
bernama Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) itu adalah yang terbaik di
dunia. SUGBK masih lebi bagus dari gelanggang serupa yang pernah dikunjunginya
di mancanegara.
Pembangunan SUGBK yang kemudian menjadi sebuah kompleks
olahraga mentereng kemudian diikuti oleh penataan di titik-titik penting
lainnya di ibu kota. Dengan meminta bantuan Sunarso, sebuah patung selamat
datang kemudian terpancang di Bundaran Hotel Indonesia.
Tidak sampai di situ. Bandara Kemayoran sebagai pintu masuk
dipoles. Bundaran Semanggi dan Jalan Thamrin pun dibangun. Wajah Jakarta
berubah. Menjadi lebih cantik.
Optimisme Soekarno yang dibarengi kerja keras berbagai pihak
akhirnya menyaput segala kecemasan, keraguan, dan protes yang mengemuka. Semuanya
berubah menjadi kagum. Perhelatan Asian Games itu berlangsung sukses. Sebanyak
1,460 atlet dari 17 negara yang berpartisipasi dalam 13 cabang olahraga pulang
dengan suka cita.
Kedua, kini
Indonesia menjadi tuan rumah untuk event yang sama namun dengan banyak
perubahan di sana-sini. Jakarta dan Palembang menghelat 465 nomor dari 40
cabang olahraga. Jumlah atlet yang berpartisipasi pun meningkat berkali-kali
lipat dibanding lima dekade silam. Kurang lebih 15 ribu atlet yang didampingi
sekitar lima ribu ofisial dan didukung oleh jutaan suporter akan membanjiri
kedua kota itu. Betapa prestisiusnya perhelatan ini!
Jakarta secara khusus menjadi tuan rumah sekitar 27
cabang olahraga dengan 13 dari antaranya mengambil tempat di kompleks SUGBK. Meski
beberapa cabang olahraga juga dihelat di beberapa wilayah di sekitar ibu kota
dan di Palembang, sebagai pintu masuk dan keluar utama, Jakarta akan menjadi
titik perhatian.
Meski begitu pandangan mata dunia akan tertuju tidak hanya
ke kota-kota dan wilayah-wilayah penyelenggaraan. Ratusan juta pasang mata dari
segenap penjuru bumi tidak semata-mata menatap ke lapangan pertandingan. Mereka
akan melihat Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan. Jakarta dan Indonesia
dengan segala sisinya.
Inilah kesempatan terbaik bagi bangsa kita untuk menunjukkan
dan membuktikan kepada dunia internasional. Bahwa kita siap kembali menjadi tuan rumah untuk event serupa namun dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Bahwa kita pun siap menyambut para tamu dan memanjakan mereka dengan segala
fasilitas yang ada, termasuk pula menyuguhkan pesona alam dan nikmat kuliner
tiada tara. Momen terbaik untuk aktualisasi dan promosi diri. Bertindak narsistik
pun tak apa bila itu bermaksud baik.
Mengutip Soekarno, "Kita tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bangsa yang besar. Yang mampu maju ke muka, memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya."
Optimis
Secara immaterial kita punya banyak alasan untuk berbangga
dan optimis dengan penyelenggaraan kali ini. Bila setengah abad lalu kita
sukses menjadi tuan rumah, penyelenggaraan kali ini pun akan berakhir sama. Bahkan
lebih berkesan dari itu.
Berbagai persiapan telah dilakukan. Persiapan terutama menyasar
pada infrastruktur pertandingan. SUGBK sudah dipercantik dan akan mencapai
bentuk paripurna dalam waktu dekat. Sementara kompleks Olahraga Jakabaring,
Palembang sudah lebih dulu tuntas. Pembangunan beberapa venue di ibu kota
sedang dikebut dan akan selesai tepat waktu.
Tidak sampai di situ, berbagai promosi pun terus digencar. Aneka
cara ditempuh untuk mengabarkan kabar baik ini ke lebih banyak orang baik di
dalam negeri maupun mancanegara. Orang ramai-ramai berkicau di jejaring sosial
media. Berbagai pihak bersemangat memberikan stimulus dalam aneka bentuk
perlombaan.
Namun berbagai usaha tersebut belum cukup dan pekerjaan itu belum berakhir. Gelora dan semangat itu masih harus ditingkatkan dan dipertahankan hingga hari H, selama, bahkan hingga pasca penyelenggaraan. Kita harus terus mengabarkan kabar baik ini. Banner, spanduk, iklan, bendera masih harus terus diperbanyak. Demam mengenakan ornament Asian Games masih harus ditingkatkan. Partisipasi itu tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dan hanya menyasar Jakarta, Palembang dan sekitarnya. Tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia dan di segenap penjuru negeri.
Salah satu cara promosi AG 2018 secara kreatif/dokpri |
Kita harus terus membangun optimisme bahwa kita adalah
bangsa yang besar dan mampu menjadi tuan rumah Asian Games kali ini. Tidak
hanya membantu promosi, kita pun harus berada di sisi para atlet yang akan ikut
bertaning. Sekitar 800 atlet Indonesia akan bertarung di semua cabang olahraga
memperebutkan total 462 keping emas. Bila pada Asian Games 1962, selaku tuan
rumah Indonesia mampu meraih 11 emas, pada penyelenggaraan kali ini mengincar
16 emas dari 15 cabang olahraga incaran.
Apakah target tersebut bisa diraih? Meski berat dan jalan
pun berliku, tidak ada salahnya membangun harapan. Gelora optimisme patut
dibakar bersama semangat kita mempersiapkan segala sesuatu sebagai tuan rumah.
Asa tersebut bukan tidak mungkin menstimulus para atlet berjuang hingga titik
maksimal di medan pertandingan. Pada akhirnya Indonesia tidak hanya sukses
sebagai tuan rumah tetapi juga berhasil meraih prestasi!
Poster Asian Games di salah satu jembatan penyebrangan di Jakarta/Dokpri |
Bila 58 tahun lalu Soekarno, rakyat dan para atlet bisa menghadirkan
kebanggaan, mengapa kebanggaan yang sama tidak bisa kita hadirkan kali ini? Bersama
kita bisa!
Oh ya, ikuti update seputar Asian Games 2018 termasuk cara mendapatkan tiket setiap pertandingan di situs resmi Asian Games 2018.
Comments
Post a Comment