Merayakan Hari Raya
Kurang lebih sepekan
setelah umat Nasrani merayakan Paskah, giliran umat Muslim mengenang peristiwa
iman, perayaan Isra Mikraj. Baik Paskah
maupun Isra Mikraj memiliki tempat tersendiri, untuk mengataka sentral, pada
masing-masing agama. Paskah bagi kaum Nasrani menandai kebangkitan Kristus yang
membawa kemenangan dan penebusan atas segala dosa umatnya. Sementara Isra
Mikraj adalah memoria atas perintah
iman yang diterima Nabi Muhammad.
Dengan tanpa membuat
perbandingan lebih jauh, satu pertanyaan penting yang mengganggu adalah apa
yang kemudian dilakukan para pemeluk dengan merayakan hari raya tersebut? Dengan
kata lain, apa yang dipetik dari setiap hari besar keagamaan yang selalu
berulang saban tahun?
Sekali lagi tidak
bermaksud menyudutkan pihak-pihak tertentu, permenungan saya terhadap hari-hari
besar bahkan ritual yang selalu dilakukan saban hari akan sampai pada muara
besar bernama agama. Agama dan praktik
keagamaan pada umumnya.
Secara sederhana, agama, mengutip
Hafdjana (Yogyakarta, 2005: 51), adalah pelembagaan kepercayaan
atau religiositas. Dalam bentuk agama sekarang, paling kurang religiositas itu
diformulasi dalam dogma dan doktrin (ajaran), dirayakan dalam ibadat atau
kultus, dihayati dalam moral (etika) dan diorganisir dalam lembaga atau organisasi.
Rumusan tentang hakikat Allah yang dikenal dan
diimani digariskan dalam butir-butir dogma. Laku hubungan manusia dengan Allah
dalam cara, bentuk dan waktu tertentu ditetapkan dalam ibadat. Moral menjadi
pedoman bertingkahlaku dalam hidup dan relasinya dengan sesama sebagai cerminan
dari kehendak Allah.
Sementara itu, hubungan antarpenganut dan
dengan pimpinan agama diatur layaknya dalam sebuah lembaga atau organisasi.
Pada gilirannya diharapkan para penganut mendapat penjelasan tentang hakikat
dan kehendak Allah yang membantunya menemukan makna dan orientasi hidup.
Singkat kata, agama diikhtiarkan untuk sungguh-sungguh menerjemahkan
religiositas seseorang dan menjadikannya sebagai seorang beragama.
Jika
saja agama adalah pelembagaan sebuah religiositas, apakah itu cukup akomodatif
untuk menyalurkan intipati kepercayaan seseorang? Apakah huruf-huruf hukum,
deretan aturan dan tata cara beribadat, berikut rumusan garis relasi dalam
organisasi keagamaan itu amat ampuh menjamin sebuah penghayatan yang otentik?
Dalam banyak kasus, praktik keberagamaan
jauh panggang dari panggilan religiositas yang sejati. Yang dihayati dalam
hidup harian berbeda dengan apa yang menjadi fitrah setiap agama. Dengan kata
lain, materialisasi atas religiositas itu dapat saja dijadikan alibi untuk
sebuah penghayatan keagamaan yang palsu. Di sinilah letak problematika
keberagamaan seseorang yang berbuntut pada pertanyaan penting atau tidak, bermanfaat atau tidak agama
itu.
Klaim
superioritas satu agama masih
terjadi.Ini menjadi benih bagi tumbuhnya intoleransi,
fundamentalisme, syak-wasangka, pluralisme phobia, bahkan permusuhan
antaragama.
Manakala sebuah kultus keagamaan dibuat
secara khusuk, dengan tanpa melewatkan tuntutan waktu yang digariskan dan
dilakukan secara teliti, tetapi terpisah dari penghayatan religiositas yang
sejati maka yang terjadi itu hanya sekadar formalisme dan basa-basi belaka.
Ibadat formalisme itu tidak berfaedah bagi peningkatan mutu iman seseorang
karena hanya berakhir dalam rumah ibadah dan disudahi oleh kultus yang
artifisial.
Kadar kelegaan dan kepuasan dari praktik
penghayatan itu tercapai selepas menuntaskan tanggungjawab keagamaan dan bukan
pada penerapan kehendak Allah dalam praksis hidup harian. Cukuplah baginya
untuk memperhatikan ketertiban dan kesetiaan dalam mengikuti peraturan dan
petunjuk, rapihnya pelaksanaan, lengkap dan meriahnya aksesoris, indahnya
pakaian ibadat, dan maraknya iringan lagu dan musik. Dengan kata lain, agama
yang dirayakan demikian oleh Komarudin
Hiddayat, tak lebih dari sebuah “agama festival”. Ia dirayakan persis seperti
sebuah festival yang menekankan unsur kemeriahan yang banal.
Orientasi
hidup keberagamaan yang tidak tertuju pada pembinaan hubungan dengan Allah
lewat penghayatan kehendak-Nya secara sadar hanya akan membawa seseorang pada
penghayatan hidup yang dangkal. Ajaran moral hanya dipandang sebagai sekumpulan
aturan yang mesti dihayati agar tidak mendapat hukuman. Kesungguhan penghayatan
tidak lebih dari sekadar mendapat imbalan pujian atau sanjungan. Peraturan
keagamaan dihayati semata-mata demi peraturan itu sendiri dan bukannya demi
kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Agama tanpa religiositas hanya akan
berwajah palsu. Bangunan luar penuh ajaran, kaya tindakan kultis, sarat
perintah moral-etik dan rapih organisasinya akan menjadi tak bermakna.
Kata-kata menjadi tak berdaya, peribadatan tidak lagi berarti, perintah agama
tidak lagi bergigi dan organisasi tidak lebih dari himpunan massa mengambang
yang kehilangan daya kritis dan keberpihakan pada nilai-nilai luhur universal.
Seseorang yang mengaku beragama tetapi
tidak hidup dari “sumber mata air” religiositas tidak jauh berbeda dengan
sebatang pohon yang telah menjadi kaku dan menjadi laiknya tanah yang tandus
tak berair. Jika demikian, akan menjadi lebih baik mengaku diri tak beragama
tetapi kukuh menghayati religiositasnya ketimbang menyebut diri seorang
beragama tetapi hidupnya penuh kebusukan.
Mengutip
Komaruddin Hidayat, “setiap agama lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan
kemudian menciptakan tradisi. Kebesaran sebuah agama, oleh karenanya, akan
diukur antara lain melalui kebesaran tradisi yang ditinggalkan. Sedangkan kuat-lemahnya
sebuah tradisi agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pendukungnya,
di samping tentu saja oleh muatan ajaran
atau doktrinya.”
Comments
Post a Comment