Krisis Mengemuka, Bersama Aqua Peduli Air Limbah Rumah Tangga
Tema Hari Air Sedunia 2017/gambar dari slide presentasi |
Thousand have lived without love, not one without water
(Wystan Hugh Auden)
***
Dulu, belasan tahun lalu, saat masih duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP), di antara kawan sekelas kami suka melempar guyonan
berdasarkan adat dan kebiasaan masing-masing orang. Guyonan tersebut
semata-mata untuk mewarnai persahabatan khas remaja yang sedang menjemput akil
balik. Tidak ada tujuan lain, apalagi dengan tahu dan mau menyentuh sentimen
primordial. Bagi kami itu kosa kata yang belum sempurna dicerna apalagi
diterjemahkan. Tentu beda dengan situasi saat ini.
Sebagai seorang yang berasal dari daerah pegunungan dengan
logat berbicara yang kasar beberapa patah kata yang saya ucapkan menjadi
sasaran empuk olok-olokan teman teman dari daerah lain yang merasa tutur kata
mereka lebih lembut dan halus di telinga. Bila Anda pernah singgah di atau
berkenalan dengan orang Bajawa, sebutan pars pro toto untuk penduduk dari
kabupaten Ngada (meski sesungguhnya hanya menyentuh orang-orang di ibu kota
kabupaten yakni Bajawa), Flores, NTT, Anda akan merasa bahwa pengucapan dengan
nada yang tegas, bervolume keras, dan kata-kata yang keluar terdengar “serak.”.
Boleh dikata tutur orang Bajawa adalah versi
kasar dari intonasi orang-orang Prancis.
Sebaliknya kami
memiliki senjata untuk menyerang balik teman-teman yang berasal dari daerah
pinggir pantai. Kami merasa perilaku
sejumlah orang yang kerap membuang hajat di pinggir pantai sebagai hal yang
lucu. Ikhwal tingkah tersebut teman-teman yang mendiami daerah pinggir pantai
menjadi sasaran olok-olokan. Ketika ada pembicaraan yang menyinggung tentang
pantai maka kami akan menyerempet pada perilaku tersebut. Bahkan sampai muncul
sebutan khusus bernada canda untuk salah satu pantai yakni “e’e beach” (bisa
dimodifikasi menjadi “pup beach”).
Ternyata apa yang kami anggap sebagai lelucon belasan tahun
lalu adalah persoalan serius bagi sanitasi hari ini. Kebiasaan tersebut adalah
salah satu bentuk praktik, tidak hanya menyalahi etiket dan estetika (Anda bisa
bayangan bagaimana aksi mereka di pantai), juga lebih dari itu mengganggu dan
mengancam kesehatan masyarakat.
Beberapa tahun setelah menamatkan strata satu di Flores, saya hijrah ke Jakarta. Merantau
tepatnya. Pertama kali tiba di ibu kota saya mengalami syok. Tidak hanya
terguncang dengan keramaian dan pemandangan gedung-gedung yang mencakar langit,
juga bagaimana situasi di sudut-sudut dan di sela-sela aneka kemajuan itu.
Rumah berdempetan dengan ukuran tidak seberapa dan harus
dibagi untuk sekian banyak anggota keluarga. Lokasinya pun terbilang ekstrem.
Dengan segala kreativitas, bibir sungai, pinggiran rel, dan kolong jembatan
disulap jadi tempat hunian. Dalam hati saya bertanya: bagaimana mereka menjaga
privasi? Bagaimana mereka menjamin keamanan dan kesehatan?
Dalam bahasa sarkastik mewujud tanya demikian. Ke mana
mereka buang hajat? Ke mana mereka membuang sampah dan limbah? Dari mana mereka
mendapat air bersih untuk minum? Di mana tempat mereka menanak dan mencuci
pakaian? Strategi apa yang dipakai suami dan istri untuk melampiaskan hasrat
dan cinta?
Segala tanya yang kemudian berterima sebagai kenyataan itu
mendapatkan jawaban ilmiah saat saya mengikuti #BincangAir yang diselenggarakan
oleh Aqua Group, Sabtu, 18 Maret 2017 lalu di Cyber 2 Tower, Jakarta Pusat.
Kehadiran Gunawan Wibisono, ahli hidrogeologi dan Karyanto Wibowo selaku
Sustainable Development Director Aqua menyingkap banyak fakta yang menyentak
kesadaran saya tentang kondisi air umumnya serta air limbah (wastewater)
khususnya.
Kondisi riil yang sedang mengemuka, dan sepertinya kurang disadari, bahwa krisis air sedang terjadi. Menurut Water.org, satu dari 10 orang di dunia tidak memiliki akses air bersih.
Kondisi riil yang sedang mengemuka, dan sepertinya kurang disadari, bahwa krisis air sedang terjadi. Menurut Water.org, satu dari 10 orang di dunia tidak memiliki akses air bersih.
Gunawan Wibisono sedang membawakan materi/gambar dari @aqua_lestari |
Ironisnya, di tengah pasokan air bersih yang terus menipis,
kuantitas air limbah yang terbuang pun semakin meningkat. UN Water melaporkan,
80 persen limbah air di dunia langsung terbuang ke alam tanpa dikelola. Padahal
air limbah itu bila dikelola dengan baik akan menjadi sumber air, nutrisi dan
energi.
Belum termanfaatkannya air limbah itu berpelukan dengan
persoalan turunannya. Menurut Gunawan, buruknya sanitasi dan perilaku
kebersihan menurunkan banyak persoalan. Ia tak ubahnya lingkaran setan yang
saling bertalian, mulai dari kematian bayi dan ibu hamil, kesehatan hingga
prestasi pendidikan, olahraga dan kinerja sumber daya manusia.
Tercatat 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh
dunia. Di Indonesia, menurut laporan Riskesdas 2007, diare menyebabkan 31
persen kematian anak usia antara 1 bulan-1 tahun dan 25 persen kematian anak
usia 1-4 tahun.
Tingginya angka kematian akibat diare itu disebkan karena
konsumsi air sumur terbuka (lebih tinggi
34 persen dari yang menggunakan air ledeng). Di samping itu, angka diare
lebih tinggi 66 persen dari anak-anak yang keluarganya buang air besar di
sungai dan selokan (dibanding yang menggunakan septic tank). Terjadinya diare
dan berbagai penyakit lainnya bukan hal aneh karena dalam satu gram tinja
mengandung 107 virus, 106 bakteri, 103 cysta parasit dan 102 telur cacing.
Gunawan membuat peserta terpana dengan sejumlah ilustrasi.
Ia menampilkan beberapa gambar berbeda. Gambar mobil tinja sedang membongkar
muatan di selokan. Berlanjut seorang ibu sedang mencuci beras di sungai. Gambar
berikutnya warung lesehan yang berdiri persis di pinggir sungai.
Coba kita bayangkan bila gambar-gambar tersebut membentuk satu cerita mulai dari mobil tinja hingga warung makan. Berapa banyak orang telah menikmati makanan yang dicuci dengan air limbah manusia? Apakah para pelaku dan penikmat kuliner pinggir sungai tahu akan kemungkinan seperti ini?
Coba kita bayangkan bila gambar-gambar tersebut membentuk satu cerita mulai dari mobil tinja hingga warung makan. Berapa banyak orang telah menikmati makanan yang dicuci dengan air limbah manusia? Apakah para pelaku dan penikmat kuliner pinggir sungai tahu akan kemungkinan seperti ini?
Contoh rantai sanitasi buruk yang sedang terjadi/slide pesentasi Gunawan Wibisono |
Ilustrasi lain tak kalah mengagetkan. Beberapa orang sedang membuang hajat di
sungai. Sementara pada sisi lainnya orang-orang ramai-ramain memanfaatkan air
sungai untuk berbagai kebutuhan mulai dari mandi, cuci hingga keperluan air
bersih.
Contoh-contoh ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar,
daerah-daerah pedalaman yang tidak memiliki fasilitas pembungan memadai juga
rentan mengalami hal serupa. Kisah lain lebih menohok suasana perkotaan yang
padat penduduk. Pipa yang mengalirkan air ke fiber penampung ternyata berasal
dari sumur yang berdekatan dengan tengki septik tetangga.
Contoh buruk sanitasi/slide presentasi Gunawan Wibisono |
Tidak seimbang
Masih banyak contoh untuk menggambarkan betapa buruknya sanitasi
kita. Jumlah penduduk yang terus bertambah,
sementara jumlah air di bumi tetap, akan terus mengancam dengan beragam
persoalan membuat lingkaran setan itu semakin rumit.
Saat ini populasi
penduduk Indonesia sudah menginjak angka 255 juta jiwa. Pola persebarannya
tidak merata dengan Jakarta menjadi hunian terpadat. Ketidakseimbangan antara
tingkat kebutuhan dan pasokan air bersih jelas mengemuka. Pulau Jawa dengan
luas hanya 6,8 persen dari daratan Indonesia dihuni oleh 55 persen penduduk
Indonesia. Sementara cadangan air hanya 4,4 persen dari cadangan air nasional (Gatra, 29 Maret 2017).
Di Jakarta ketidakseimbangan itu jelas sangat terasa.
Sebagai salah satu kota terpadat di Asia, dengan luas 662 km2 menampung 12,5
juta jiwa, tiap penduduk di ibu kota rata-rata membutuhkan hingga 240 liter per
kapita per hari.
Namun tingginya angka kebutuhan itu tidak dibarengi dengan
pengelolaan air limbah yang baik. Firdaus Ali, pakar pengkajian masalah air
menemukan fakta bahwa 90 persen dari jumlah tersebut menjadi air bekas atau air
limbah yang terdiri dari 75 persen
limbah domestik, 15 persen limbah komersial seperti perkantoran dan pusat
perbelanjaan dan 10 persen limbah industri.
Sayang dari jumlah tersebut hanya 3 persen yang diolah
kembali. Selebihnya? Terbuang ke laut dan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Tak heran kita mendapatkan potret Jakarta yang kumuh tidak hanya di sejumlah
titik pemukiman, juga sampai ke perairan pantai Jakarta. Air yang keruh dengan
persoalan kematian ikan dan biota laut adalah dampak tak terbantahkan.
Jakarta adalah ibu
kota negara, etalase Indonesia. Jakarta bisa menggambarkan Indonesia secara
keseluruhan. Bisa dibayangkan bagaimana
nasib pengelolaan air di daerah-daerah apabalia persoalan di episentrum kekuasaan
belum tertangani. Tak heran bila persoalan ini dalam banyak wujud menyata di
mana-mana. Kelangkaan air, buruknya sanitasi, hingga terbuangnya air secara
cuma-cuma adalah bagian dari ruang kehidupan masyarakat Indonesia.
“Air limbah bukan hanya mengacu pada air sisa buangan.
Penting juga memahaminya dalam konteks air yang ada tetapi tidak dimanfaatkan
sebaik mungkin,”ungkap Karyanto.
Karyanto Wibowo, Sustainable Development Director Aqua sedang mebawakan materi/gambar dari @tuty_atut |
Inisiatif Aqua
Berbicara tentang air dan air limbah penting menyebut Aqua.
Sebagai produsen air mineral dalam kemasan terbesar di
Indonesia, Aqua juga menaruh perhatian besar terhadap ekosistem air di
Indonesia.
“Sesuai dengan amanat founding father Aqua (Tirto Utomo) tidak hanya pikir bisnis saja,”
tegas Karyanto.
Komitmen tersebut sesuai dengan visi Aqua yakni
berkontribusi untuk Indonesia yang sehat. Perwujudan terhadap visi tersebut
terejawantah di antaranya dalam semangat “Aqua Lestari” yang mencakup empat
pilar.
Pertama, pelestarian
air dan lingkungan. Aqua mengedepankan manajemen sumber daya air (SDA) dengan
konsep terpadu dari hulu, tengah hingga hilir. Basis operasional, bisnis hinga
sosial-lingkungan benar-benar diperhatikan keseimbangannya.
Misi tersebut dijabarkan dalam sejumlah praksis antara lain penelitian
terkait SDA, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, biopori, hingga pendidikan
lingkungan hidup bernama sekolah "sahabat mata air" bekerja sama
dengan berbagai lembaga pendidikan.
Gambar dari @aqua_lestari |
Kedua, praktik
ramah lingkungan. Untuk memangkas pencemaran lingungan Aqua berusaha
meninggalkan jeja karbon sedikit mungkin. Moda transportasi berbahan bakar
fosul dikurangi, dan diganti dengan energi listrik yang ramah lingkungan. Di
samping itu menggunakan “green energy” dan minyak goreng jelantah sebagai bahan
bakar.
Ketiga, pengelolaan
distribusi produk di antaranya dengan pengurangan penggunaan truk yang
berpotensi menambah kemacetan di jalan raya. Kereta api menjadi moda
transportasi alternatif demi menjaga rantai distribusi tetap terjaga.
Keempat, pelibatan
dan pemberdayaan masyarakat. Sesuai visinya Aqua juga memberikan perhatian pada
pemberdayaan ekonomi masyarakat dan mengajak mereka turut serta terlibat dalam
memelihara ekosistem lingkungan. Berbagai bentuk sumbangan usaha hingga aksi
pertanian seperti pertanian organik, akses air bersih, penanaman pohon,
pembuatan pupuk organik, ditempuh.
Keempat pilar itu sejalan dengan itikad Aqua untuk membangun
siklus air yang sehat yang berjalan secara harmonis dengan ekosistem lokal dan
komunitas-komunitas masyarakat. Harmonisasi itu ditempuh dengan cara menjaga
kuantitas dan kualitas air di Daerah Aliran Sungai (DAS), efisiensi air untuk
pertanian, akses air minum kepada masyarakat, pemakaian air secara efektif
serta pengolahan air limbah.
Aqua menjalankan semua visi dan misi tersebut di 20 pabrik
yang ada saat ini. Sedang dikembangkan
secara intensif dengan menggunakan teknolgi tinggi di salah satu pabrik di
Klaten, Jawa Tengaah untuk menjaga siklus air secara efektif.
Penggunaan teknologi pemantai curah hujan hingga rain harvesting (panen air hujan) untuk
mengurangi pengambilan air dari mata air dan memanfaatkan setiap tetes yang
tercurah dari langit. Semua itu semata-mata bertujuan untuk memastikan air
terpakai secara efisien dan limbah dialirkan ke ekosistem dengan bersih.
Salah satu proyek rain harvesting yang dilakukan Aqua/slide presentasi Karyanto Wibowo |
Aqua juga memberikan pendidikan dan ikut terlibat bersama
masyarakat untuk menjaga sanitasi di antaranya dengan membuat septic tank
komunal seperti yang dilakukan di Bumirejo, pengolahan air sungai yang
dicontohkan bersama Gunawan di Sungai Rejoso, hingga program bank sampah.
Gambar dari video presentasi Karyanto Wibowo tentang penerima manfaat septic tanc komunal di Desa Bumirejo |
Seperti dikatakan Karyanto, Aqua sendiri berjuang untuk
mewujudkan target pemerintah Indonesia untuk mencapai ketersediaan akses air
bersih dan sanitasi 100 persen pada 2019. Selain itu ikut mendukung pemenuhan poin
6 sustainable development goals
(SDGs) 2030 yakni menjamin ketersediaan dan pengelolaan berkelanjutan air dan
sanitasi bagi semua.
Saat ini penggunaan air di Aqua adaah 1:1,19. Artinya untuk
menghasilkan 1 liter air minum diperlukan 1,19 liter air untuk produksi. Ke
depan Aqua berjuang agar penggunaan air untuk produksi benar-benar efektif.
“Maunya sih tidak ada setetes pun air yang keluar percuma,” tandas Karyanto.
Solusi
air limbah rumah tangga
Tahun ini Hari Air Sedunia (World Water Day) yang jatuh
saban 22 Maret, bertema “Why Waste Water?”
Kenyataan di atas membuat kita paham dan sepakat dengan tajuk itu. Meski
begitu sampai di sini persoalan air
limbah belum selesai dengan sendiriny. Masih ada pertanyaan yang mengganjal.
Itu terkait solusi mengatasi persoalan limbah rumah tangga.
Mengapa hal ini penting disorot? Hemat saya, rumah tangga
adalah locus yang paling terdampak, dan salah satu penyumbang limbah terbesar. Sehingga rumah tangga menjadi titik berangkat ideal untuk mengatasi persoalan air limbah. Selain
menempuh cara-cara konvensional seperti sudah dilakukan Aqua, terus menambahkan
alternatif dan opsi semakin penting mengingat persoalan serius air limbah yang
harus ditangani melalui usaha-usaha terpadu, sinergis dan intensif. Tidak
bisa mengharapkan perubahan bila itu dilakukan secara sporadis dan
fragmentaris. Sebagaimana siklus air yang berputar dalam satu ekosistem yang
luas, maka persoalan air limbah harus didekati secara menyeluruh, dimulai dari titik terkecil yakni individu-individu di setiap keluarga.
Solusi yang sedang digalakan Gunawan dan sejumlah pihak
melalui metode Constructed Wetland patut digalakan. Alasannya, metode WWTP yang
umumnya dikenal membutuhkan biaya mahal. Sementara metode Wetlend membutuhkan
biaya murah sebagai solusi pengolahan air limbah yang bisa diterapkan mulai
dari skala rumah tangga, hingga sektor publik seperti kantor dan rumah sakit.
Secara sederhana sistem ini
dirancang sebagai rekayasa pengolahan air limbah yang dirancang dan
dibangun dengan melibatkan tanaman air, tanah atau media lain dan kumpulan
mikroba terkait. Dalam tulisan di Indonesian
Green Technology Journal Vol.2 No.2, 2013, Anna Catharina Sri Purna Suswati
dan Gunawan Wibisono menyebut Wetland terbagi atas Free Water Surface (SWF) yang tampak sebagai kolam atau danau dan Subsurface flow (SSF) yang dapat dikemas
sebagai taman.
Contoh Wetland/slide presentasi Gunawan Wibisono |
Berdasarkan hasil penelitian Gunawan, teknologi ini sudah
terbukti efektif dan efisien menurunkan bahan-bahan polutan yang terkandung
dalam air limbah. Konstruksi, pengoperasian dan perawatannya pun
sederhana,mudah dan terjangkau. Selain itu memberikan nilai tambah pada aspek
estetika dengan kehadiran taman dan kolam yang asri dan tertata.
Sistem ini sudah jamak di negara-negara lain, sesuatu yang sedang
diperjuangkan di Indonesia. Langkah yang sedang ditempuh Gunawan sekiranya
terus didukung dan direplikasi agar cara alternatif pengolahan air limbah ini
bisa semakin memasyarakat. Memperbanyak proyek percontohan agar bisa meyakinkan
banyak orang. Bila terasa berat untuk mengusahakan sistem tersebut secara
individu bisa saja mencoba Constructed
Wetland secara komunal.
Sasarannya adalah memperbaiki kualitas air, dan mengurangi
efek berbahaya dari limbah dan berperan dalam konservasi air. Bila situasi ini
bisa terjaga maka akan meningkatkan kualitas sanitasi yang pada gilirannya berdampak
paga kualitas kesehatan dan kehidupan masyarakat.
Model wetland lainnya/slide presentasi Gunawan Wibisono |
Krisis air dan persoalan limbah yang semakin terasa mestinya
mendorong kita agar lebih menaruh perhatian dengan kerja-kerja nyata mulai dari
lingkungan terdekat dan ruang lingkup terkecil.
Pertama, membiasakan
pola hidup sehat dalam menjaga sanitasi dan kebersihan mulai dari keluarga bahkan diri sendiri.
Kedua, tidak
membuang sampah sembarangan, apalagi sampah manusia seperti tinja ke selokan atau sungai. Beralihlah menggunakan
septic tank, bila tidak mampu mengusahkan secara pribadi bisa berbagi menggunakan tangki septik bersama..
Ketiga, memperhatikan
sistem air minum dan saluran limbah, menjaga sumber-sumber air dan
menghindarkan penggunaan air secara berlebihan tanpa manfaat. Perhatikan letak tangki saptik dan sumur air dalam jarak aman.
Keempat, setiap
rumah tangga bisa menerapkan sistem pengolahan limbah sendiri agar setiap
polutan yang ada dalam deterjen, sabun dan bahan kimia yang lain tidak
mencemarkan lingkungan. Limbah organik bisa dimanfaatkan sebagai kompos. Limbah
plastik bisa didaur ulang. Sementara limbah cair diolah menjadi air bersih
dengan cara-cara sederhana seperti yang dicontohkan Aqua dan Gunawan.
Setiap orang harus merasa bertanggung jawab terhadap masa
depan air. Sulit membayangkan bila krisis air belum merasuk ruang kesadaran, apalagi
tidak segera diatasi. Tidak hanya merusak target pemerintah pada 2019 dan sasaran SDGs 2030, juga bakal mengancam kelangsungan
hidup. Benar pernyataan sang penyair
berkebangsaan Amerika yang dikutip Karyanto seperti tertera pada awal tulisan
ini. Thousand
have lived without love, not one without water. Tanpa air segalanya sia-sia
belaka.
Sumber tulisan:
Materi presentasi
Gatra, 29 Maret
2017.
Tulisan Anna Catharina Sri Purna Suswati dan Gunawan
Wibisono berjudul “Pengolahan Limbah Domestik dengan Teknologi Taman Tanaman
Air” dalam Indonesian Green Technology Journal Vol.2 No.2, 2013.
Peserta #Bincang Air yang diselenggarakan Aqua. Terima kasih Aqua. Gambar dari @aqua_lestari |
Comments
Post a Comment