Cura Minimorum
Ilustrasi dari harianbernas.com |
Itu adalah patah kata bahasa Latin yang berarti perhatikan
hal-hal kecil. Ini salah satu peninggalan pelajaran bahasa kuno itu yang pernah
saya pelajari saat duduk di bangku sekolah menengah. Sayang saat itu saya
kurang intens dan tekun mendalaminya. Padahal manfaatnya sangat besar. Hampir
semua bahasa internasional berakar pada Latin.
Sebagai ganti penyesalan yang biasanya selalu datang
terlambat ini, ungkapan yang tertinggal itu saya abdikan sebagai salah satu
prinsip hidup. Memperhatikan hal-hal kecil. Jangan menyepelehkan hal-hal remeh
temah. Mulailah dari hal-hal sederhana. Kira-kira demikian pesan moralnya.
Kita biasa bermimpi akan hal-hal besar. Bercita-cita
setinggi langit. Tidak jadi soal. Toh setiap orang berhak bermimpi. Malah ada
ada anggapan bahwa kita harus berani bermimpi. Tuhan pasti akan memeluk mimpi
itu.
Tetapi setiap mimpi besar pun harus dimulai dengan langkah
pertama, diawali dari hal-hal sederhana, bukan? Tahun baru memang telah
berjalan mendekati separuh kalender. Tetapi belum terlambat untuk mengejar
target.
Sejauh ini saya sudah menggantung dua cita-cita. Pertama
bisa melengkapi diri dengan sejumlah peralatan menulis. Mengapa ini penting?
Ya, menulis adalah makanan sehari-hari saya selain pangan. Ia adalah kehidupan
saya. Selain darinya saya mendapatkan penghidupan, menulis adalah denyut nadi
yang menjaga saya tetap memiliki alasan untuk hidup.
Saya sudah memiliki sarana dasar seperti laptop dan koleksi
buku-buku saya cukup memadai. Tetapi saya perlu kamera dengan kualitas yang
baik. Selain menyajikan konten berupa tulisan, kehadiran gambar-gambar yang
berbicara serta video yang bagus amat membantu. Kata-kata, gambar dan video
sejatinya satu kesatuan untuk “berbicara” lebih jelas, terang, dan utuh.
Kedua, tak terlepas dari poin pertama, setidaknya saya
mendapatkan semangat yang berlipat ganda untuk meraih impian yang lebih besar.
Bila tidak memiliki motor pribadi, setidaknya saya mempunyai cukup uang sebagai
uang muka rumah pribadi.
Sejak merantau di ibu kota saya masih “bergantung” pada yang
lain. Baik kendaraan maupun tempat diam adalah buah belas kasihan keluarga.
Saya ingin suatu saat meski harus bersusah payah dan bekerja
keras sebelumnya memiliki tempat tinggal sendiri. Tidak harus lux. Tidak perlu
berukuran besar. Tidak juga dilengkapi perabot dan sarana yang memadai. Sekadar
tempat yang tidak membuat saya terus dihantui rasa bersalah karena
menggantungkan hidup pada orang lain, sudah lebih dari cukup.
Semoga cita-cita besar saya ini benar-benar memanggil saya
untuk mulai bergerak dari hal-hal kecil. Dimulai dari sekarang.
Comments
Post a Comment