Butet Bukan Robot
Liliyana Natsir/Kompas.com |
Perasaan campur aduk menyertai
kekalahan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir alias Owi/Butet di semi final Super
Series Premier Malaysia Open yang baru saja berakhir di Kuching, Sarawak,
Malaysia, Minggu (9/4) lalu. Di satu sisi ada kecewa karena peraih emas
Olimpiade Rio 2016 itu gagal mempertahankan gelar. Tetapi di sisi lain ada rasa
iba dan solider.
Kecewa karena kegagalan Owi/Butet wajar. Tetapi ada hal yang
perlu dipahami. Lu Kai/Huang Yaqiong sedang berada dalam puncak performa. Dalam
sebulan terakhir keduanya sukses menggondol dua gelar, All England dan India Open.
Hal lain yang membuat kekalahan 8-21, 16-21 tidak perlu
terlalu ditangisi adalah lawan lebih bersemangat dari segi usia. Butet, 31
tahun, lebih kakak delapan tahun dari Huang Yaqiong. Sementara Owi empat tahun
lebih tua dari Lu Kai, 25 tahun. Secara akumulatif usia wakil China itu lebih
ideal untuk terjun dalam kompetisi sengit, bertensi tinggi, dan menuntut
stamina prima.
Di babak sebelumnya Owi/Butet harus mengeluarkan banyak
energi untuk pertandingan selama 82 menit. Kemenangan atas pasangan Kore
Selatan, Choi Solgyu/Chae Yoo Jung 16-21, 23-21, 22-20 itu berakhir larut
malam. Coba pertimbangkan berapa sisa waktu untuk mengurus keperluan pribadi
setelah itu: makan, mandi dan, terutama, istirahat.
Sementara hari besok sudah memanggil dengan jadwal
pertandingan awal. Tak pelak saat perebutan tiket final itu Owi/Butet seperti
telah kehabisan amunisi. Klimaks sudah terjadi dini sehingga pertandingan
berdurasi 37 menit itu kebagian sisa-sisa tenaga. Belum cukup waktu untuk recovery sehingga yang terjadi adalah underperformed.
Pengakuan Butet kepada badmintonindonesia.org seusai
kekalahan itu cukup untuk menjelaskan duduk perkara. “Dari segi tenaga, pertandingan di perempat
final sangat menguras energi, kami berharap dapat recovery dan istirahat lebih
lama, tetapi kami kaget saat melihat jadwal pertandingan. Semalam kami sampai
hotel jam 12 malam, dan hari ini dari pagi sudah harus bersiap tanding lagi.”
Seharusnya tidak
Seharusnya situasi tidak akan segalau itu bila kita memiliki
banyak pilihan. Di nomor ganda campuran misalnya, Owi/Butet masih saja menjadi andalan.
Keduanya tak putus diberikan tanggung jawab. Dengan segala prestasi dan hampir
semua gelar sudah dikoleksi seharusnya mereka bisa lebih santai memilih
turnamen dan tidak terlalu dituntut dengan target tinggi.
Namun para pelapis mereka tak cukup meyakinkan untuk
digantung harapan. Praveen Jordan/Debby Susanto terus dirundung malang sejak
menjuarai All England 2016. Performa keduanya seperti rangking dunia yang terus
menurun. Para pemain pelapis lainnya masih berjuang setidaknya membuktikan diri
menjadi juara di level grand prix/gold. Selain Owi/Butet dan Praveen/Debby,
belum ada pasangan ganda campuran yang berprestasi.
Sejak awal tahun staf pelatih ganda campuran melakukan
sejumlah ekperimen. Owi/Butet diceraikan sementara. Bila tidak ingin disebut
kebetulan bertepatan dengan cederanya Butet. Owi sempat dipasangkan dengan
beberapa pemain muda.
Hemat saya langkah ini tepat. Para pemain yang sudah
berpengalaman dan kaya prestasi pada titik tertentu harus berani dipisah.
Tujuannya agar mereka bisa memacu para pemain muda, mendorong mereka untuk
lekas berprestasi. Langkah berani itu memang harus diambil seandainya belum ada
pemain pelapis yang mencolok.
Ekperimen seperti ini bukan sesuatu yang baru. Beberapa
pemain dan pasangan hebat PBSI sebelumnya kerap berpindah pasangan, bahkan
berganti sektor. Dan saya kira naluri para pelatih hebat di PBSI cukup tajam
untuk mencarikan jodoh yang kelak menjadi pasangan top.
Owi/Butet sendiri adalah saksi sejarah. Sejarah yang turut
diukir oleh kehebatan Richard Mainaky. Sang pelatih itu nekat membongkar Nova
Widianto dan Butet di akhir 2010 setelah beberapa turnamen berakhir buruk.
Selain itu usia Nova jadi pertimbangan. Sebelum bertemu Owi, Butet sempat
dipasangkan dengan Devin Lahardi. Namun “jodoh”nya ternyata adalah Owi.
Sejauh ini Owi belum mendapatkan calon partner yang
meyakinkan meski sudah ada tanda-tanda bagus bersama Gloria Emanuelle Widjaja. Masih
perlu waktu untuk mencari penerus Butet, termasuk mencoba berbagai kemungkinan
pasangan. Pelatnas punya cukup stok. Ada Melati Daeva Oktavianti yang meraih
emas Kejuaraan Dunia Junior 2012 bersama Edi Subaktiar, lantas meredup tak lama
berselang.
Di samping itu Annisa Saufika yang kerap berpasangan dengan
Alfian Eko Prasetya. Usia Melati dan Anisa masih 23 tahun, peluang untuk
ditandemkan dengan Owi atau Praveen misalnya, sangat mungkin terjadi.
Sementara Butet,
sekalipun semangatnya masih menyala, perlu dipertimbangkan dari sisi lain yang
tak bisa dikompromi. Usia Butet sudah melewati masa puncak. Saatnya lebih
selektif mengikuti turnamen. Hanya ambil
bagian di turnamen bergengsi sekelas super series premier misalnya, bila ingin
bersaing dengan para pemain muda mancanegara yang muncul bak cendawan di musim
hujan.
Belum adanya tanda-tanda bagus renegenrasi sejak awal tahun
memunculan tanya. Mampukah Indonesia menjaga peluang juara di turnamen bergensi
seandainya masih berharap pada Owi/Butet?
Masih ada waktu setidaknya setahun, sebelum Asian Games 2018
di tanah air. Target tinggi sudah pasti dipatok kepada para pemain, termasuk
dari nomor ini. Namun kepada siapa harapan itu pantas diletakan?
Entah berapa lama lagi Butet bertahan. Tetapi usianya akan
terus bertambah, linear dengan stamina dan kecepatan yang mulai berkurang.
Meletakan harapan tinggi kepada Owi/Butet semata tidak hanya memantik pesimisme
bisa bersaing dengan pasangan-pasangan muda Tiongkok yang sedang naik
daun, juga menyeruak simpati. Bukan kepada para pelapis yang tak kunjung
berkembang, tetapi kepada Butet. Ya wanita dengan komitmen bela negara yang tak
diragukan lagi. Tetapi sejatinya bukan robot yang bisa dengan mudah mewujudkan
harapan dengan hanya sekali tekan melalui remote kendali. Dan kita adalah
penonton yang hanya bisa bersorak saat untung diraih atau nyinyir mencibir kala malang tak bisa ditolak.
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 10 April 2017.
Comments
Post a Comment