Siapa Bilang Atlet Tak Boleh Berpendidikan Tinggi?
Raphael Varane/.insidespanishfootball.com |
Dilema kadang menghampiri seorang atlet. Mana yang
diutamakan, karir atau pendidikan. Ada yang akhirnya memilih bertekun mengejar
prestasi dengan tak menghiraukan pendidikan. Tetapi ada yang menyandingkan
keduanya seiring sejalan meski harus berjuang ekstra keras. Seberat apapun
perjuangan di arena masih ada ruang
untuk pendidikan baik masih berupa impian yang kelak akan diwujudkan, maupun tertatih-tatih
mewujudkannya di tengah sempitnya waktu
luang.
Ada banyak contoh atlet yang puas dengan pendidikan
seadanya. Misalnya merasa cukup dengan ijazah SMA atau lebih rendah saat meniti
karir dan tetap bertahan dengan itu hingga lewat masa pensiun. Di sisi berbeda,
banyak atlet yang merasa perlu untuk memasukan pendidikan sebagai prioritas.
Tentang kelompok kedua, atlet yang tidak hanya haus prestasi
olahraga juga pendidikan, ada baiknya diangkat karena jumlahnya kalah banyak. Dan
lebih penting dari itu adalah mencerna setiap pertimbangan yang diambil. Mengapa mereka masih mau berbagi waktu untuk
sekolah dan kuliah? Tidak cukupkah olahraga menghidupkan mereka?
Pada 21 Desember 2016 Lindaweni Fanetri, pemain tunggal
putri tim nasional Indonesia memutuskan gantung raket. Keputusan tersebut jelas
mengagetkan. Di tengah prestasi sektor tunggal putri Indonesia yang menjadi
sorotan, mundurnya Lindaweni mendatangkan rasa kehilangan. Betapa tidak, ia
merupakan pemain paling senior yang masih bertahan dengan rangking dunia
terbaik, meski tidak masuk jajaran elite.
Di bawah Lindaweni mayoritas pemain pelatnas berusia di
bawah 20 tahun. Artinya peran Lindaweni sebagai pengayom, penuntun, dan
penyemangat masih dibutuhkan. Kehadirannya bisa menjembatani jurang
antargenerasi yang cukup lebar sehingga bisa menarik para pemain di bawahnya
untuk segera “naik”.
Mundurnya wanita asal Jakarta itu mengingatkan kita pada
Susy Susanti. Walau keduanya memiliki riwayat prestasi berbeda, Lindaweni dan
Susy memutuskan pensiun justru saat berada di usia emas. Linda mundur pada usia
26 tahun, setali tiga uang dengan juara Olimpiade Barcelona 1992 itu.
Sekitar 19 tahun lalu, Susy melayangkan surat pengunduran
diri setelah memutuskan akan mengikat janji pernikahan dengan sesama pahlawan
Indonesia di Olimpiade 1992 di nomor tunggal putra, Alan Budikusuma. Pasangan
juara Olimpiade 1992 itu pun menjadi pasangan suami istri.
Lindaweni Fanetri/ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf |
Sementara Linda melayangkan pengunduran diri karena ingin
fokus pada pendidikan. Setelah dipertimbangkan matang-matang, wanita kelahiran
18 Januari 1990 itu hendak menyelesaikan pendidikan strata satu (s1) program
studi akuntansi di Universitas Trisakti. Selain itu, ia akan melanjutkan bisnis
keluarga.
Pertanyaan besar untuk Lindaweni kemudian muncul. Apakah
demikian alasan utama di balik keputusan mundur dari pelatnas? Jangan-jangan,
ia tak kuasa menahan beban karena tunggal putri terus menerus mendapat sorotan,
bahkan cibiran. Tidak ada yang benar-benar bisa memastikannya selain Linda
sendiri.
Seperti Lindaweni, beberapa hari lalu pemain ganda putra dan
ganda campuran Korea Selatan, Ko Sung Hyun mengutarakan niat pensiun. Seperti
diberitakan Badzine.net mengutip media di Negeri Ginseng itu Yonhap
News Agency yang melakukan wawancara mendalam dengan Ko akan menarik
diri dari timnas pada akhir bulan ini.
Ko akan mengikuti jejak mantan tandemnya Lee Yong Dae yang
lebih dulu mundur usai Korea Open Superseriap, Oktober 2016 lalu. Seperti Lee,
Ko sama sekali tidak akan meninggalkan bulu tangkis. Ia akan tampil di liga
internasional dan membela Gimcheon City Hall di kompetisi domestik.
Ko yang merupakan kelahiran 21 Mei 29 tahun lalu telah
mempertimbangkan matang-matang. Rasa sesal dan bersalah harus meninggalkan
partnernya di ganda campuran Kim Ha Na agar bisa menuntaskan kuliah S2 di
bidang psikologi olahraga (sports
psychology).
Ko Sung Hyun/Alchetron.com |
Sedikit lagi tentang Ko. Ia merupakan sedikit, atau bahkan
pengecualian dari pebulutangkis Korea lainnya dengan jejak perjalanan yang
pendek menuju karir internasional. Ia tidak bermain di tim junior saat di
sekolah menengah seperti para pebulutangkis lainnya. Turnamen internasional
pertamanya tepat 10 tahun lalu saat Korea Open Super Series 2007.
Setahun kemudian ia merebut gelar Vietna Open bersama Kwon
Yi Goo. Itu adalah gelar internasional pertama pada perjalanan keluar negeri
kedua.
Pencapaian terbaiknya adalah medali emas Kejuaraan Dunia 2014
bersama Shin Baek-cheol. Bersama Kim Ha Na pernah merasakan puncak rangking
dunia pada tahun lalu. Tiga tahun sebelumnya, tepatnya tahun 2013, bersama Yong
Dae keduanya merajai nomor ganda putra sebelum
secara mengagetkan dipisahkan, yang kemudian mempertemukannya dengan Shin.
Turnamen Korea Open Grand Prix Gold, Desember tahun lalu,
menjadi penutup sempurna karir Ko. Di Pulau Jeju, tempat asal Kim, Ko berhasil
merebut dua gelar sekaligus yakni di nomor ganda putra dan ganda campuran. Selanjutnya
Ko akan tercatat seperti Lin Dan, Wang Shixian, dan Zhao Yunlai dari Tiongkok yang
tidak hanya mahir sebagai pebulutangkis juga penyandang gelar master akademik.
Atlet yang haus pendidikan tidak hanya dari dunia tepok bulu.
Di cabang lainnya seperti sepak bola pun ada banyak contoh. Jauh di masa
lampau, mantan kapten timnas Jerman Oliver Bierhoff tercatat memiliki gelar
akademis. Karir sepak bola yang gemilang tak menyurutkan semangatnya untuk
melewatkan kuliah jarak jauh di Universitas Hagen, Jerman untuk merebut gelar
sarjana ekonomi bisnis. Sebelum itu ada Socrates. Mantan bintang timnas Brasil
itu juga seorang dokter.
Cukup banyak pesepakbola yang masih aktif pun menyandang
gelar sarjana. Yuto Nagatomo, bek asal Jepang yang kini masih membela Inter
Milan di usia kepala tiga adalah pemilik titel sarjana ekonomi dari Universitas
Doshisha di Jepang Barat. Bek tengah timnas Prancis Raphael Varane sukses meraih
sarjana ekonomi sebelum hijrah ke Real Madrid.
Pertanyaan mendasar yang belum terjawab, untuk apa semua
gelar akademis itu? Seberapa penting pendidikan bagi seorang atlet?
Dedeh Erawati/@Erawati_dedeh |
Dedeh Erawati, pelari gawang 100 meter andalan Indonesia
punya alasan. Kepada detik.com wanita kelahiran Sumedang, Jawa Barat 37 tahun
lalu, mengaku pendikan berguna untuk menambah wawasan dan membangun pola pikir.
Pikiran dan kecerdasan yang terasah akan mempermudah saat menerima dan
menjalankan arahan dan program latihan. Selain itu membantu mengontrol emosi
dan sikap terhadap lingkungan, termasuk saat berada di lapangan. Alasan itulah
yang membuatnya tak patah arang selama lima tahun menyelesaikan sarjana
manajemen komunikasi di Fakultas Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta dengan
Indeks Prestasi Akhir 3,37. Peraih emas SEA Games 2007, 2009 dan 2013 ini pun
mantap ke jenjang S2.
Manfaat senada dirasakan pula oleh mantan sprinter Suryo
Agung Wibowo. Bagi Suryo pendidikan berguna untuk membentuk karakter atlet. Di samping
itu menjadi tabungan di hari esok.
Setiap atlet dibatasi usia. Tidak semua atlet mampu bertahan
hidup selamanya dengan mengandalkan prestasi sebagai atlet. Karena itu
pendidikan memungkinkan atlet mendapatkan pekerjaan setelah pensiun.
"Tapi atlet seperti kita yang mengandalkan fisik tidak
mungkin juga lama-lama jadi atlet. Belum lagi di pertengahan jalan, kalau
cedera atau apa. Makanya pendidikan ini sebagai tabungan kita di masa depan.”
Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 21 Januari 2017.
Comments
Post a Comment