Bravo di Tengah Prahara Manchester City
Gawang Claudio Bravo dibobol pemain Tottenham Hotspur/Getty Images |
Saat Mancester United sukses memperpanjang catatan positif,
tetangga berisik justru berada pada trend sebaliknya. Hasil imbang 1-1 kontra
Stoke City pada akhir pekan lalu, cukup bagi United mempertahankan rekor 17
pertandingan tanpa kalah. Sebaliknya, City justru menunjukkan trend menurun
dengan pola permainan yang semakin amburadul.
Kehadiran pelatih anyar Pep Guardiola belum mampu
menciptakan formula yang tepat untuk deretan pemain bintang di Etihad Stadium. Hampir
semua lini tengah bermasalah, terlebih sektor pertahanan.
Filosofi penguasaan bola Guardiola yang begitu bertaji kala
membesut Barcelona sama sekali tidak membantu, untuk mengatakan tidak bisa
begitu saja diterapkan di Liga Primer Inggris. Penguasaan bola, juga permainan “tiki
taka” yang pernah menjadi buah bibir itu nyaris kehilangan jejak dan kehabisan
pengaruh di sepak bola Inggris. Tottenham Hotspur menjadi contoh paling jelas
betapa penguasan bola dan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki tidak penting
untuk mendapatkan poin.
Seperti berada pada kutub berbeda, nasib Wayne Rooney dan
Claudio Bravo akhir-akhir ini. Rooney baru saja menyelamatkan United dari
kekalahan atas Stoke. Sepakan indah di menit keempat injury time itu mendatangkan rasa syukur bagi tim. Selain itu, satu
gol tersebut membuat namanya kini melegenda, bahkan lebih besar dari Sir Bobby
Charlton dalam hal sumbangsih gol bagi Setan Merah. Jumlah gol Rooney lebih
banyak satu biji dari Charlton. Wazza, sapaan Rooney, telah mengemas 250 gol
dan mencatatkan namanya sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah United.
Bisa saja Rooney akan akan menambah pundi-pundi golnya, menjauh dari selisih
satu gol itu.
Sementara Bravo semakin terpuruk. Penampilannya semakin
buruk di bawah mistar gawang The Citizen. Rentetan hasil buruk Manchester Biru
belakangan ini tak lepas dari penampilan minornya.
Bravo adalah bagian dari proyek besar Guardiola di masa awal
kepelatihannya. Penampilan gemilang pemain timnas Chile bersama Barcelona,
terlebih saat keduanya bersama di Nou Camp, membuat Guardiola hakulyakin bahwa
bersama mereka bisa membesarkan City. Joe Hart yang telah bertahun-tahun bahkan
nyaris menjdi icon klub pun ditendang keluar. Kini kiper timnas Inggris itu
justru bermain baik bersama Torino di pentas Serie A Italia
Sementara Guardiola mulai merasakan sendiri masa suram
pemain pilihannya itu. Alih-alih memperbaiki diri kiper 33 tahun itu masih saja
bermain buruk di hadapan pendukung sendiri yang memenuhi Etihad Stadium, saat
ditahan imbang Tottenham Hotspur, Minggu (22/1) dini hari WIB kemarin.
Claudio Bravo melihat bola mengalir ke gawangnya saat menghadapi Everton/manchestereveningnews.com |
City lebih dulu unggul dua gol. Namun mereka harus gigit
jari setelah Dele Alli dan Son Heung-min balik mengoyak gawang City. Meski
berada di bawah bayang-bayang City, anak asuh Mauricio Pochettino bermain lebih
efektif. Efektivitas itu tercermin dari gol yang tercipta dari peluang yang
sangat minim.
Persis di sinilah titik lemah Bravo mengemuka. Dua gol itu
tak lepas dari kesalahan posisi dan ketidakakuratannya menepis tembakan Spurs. BBC.com, tak sekali pun Bravo berhasil
melakukan penyelamatan, apalagi gemilang, khususnya di dua laga terakhir. Total
enam tembakan ke gawang (shot on target) yang mengarah ke gawangnya selalu
berbuah gol. Selain dua gol di laga ini, empat gol lainnya lebih dulu ditabung
Everton di laga sebelumnya.
Kita bisa tarik lebih ke belakang. Sejak menyelamatkan
sepakan Michael Keane dalam kemenangan 2-1 atas Burnley pada awal Januari, 16 gol
kemudian datanga tanpa henti dalam 24 sepakan akurat ke gawangnya.
Kedigdayaannya mencapai titik kritis dalam 180 menit pertandingan terakhir.
Enam tembakan, kemasukan enam gol.
Seburuk itukah penampilan Bravo? Bila pertanyaan ini
dilayangkan kepada sang pelatih tentu saja tidak. Pep tegas membela anak
asuhnya itu. Seperti hampir dikutip oleh semua media di Inggris terutama setelah
kontra Everton, Pep mengakui bahwa kesalahan utama terletak padanya. Bukan
Bravo, bukan pula para pemain lainnya yang patut disalahkan-termasuk barisan
depan yang tumpu- tetapi dirinya.
Pengakuan Pep itu ada benarnya juga. Setelah meninggalkan
pekerjaan di Jerman bersama Bayern Muenchen, Pep belum juga lepas dari
bayang-bayang kebesaran tiki-taka. City tidak hanya butuh permainan yang indah,
tetapi juga poin. Liga Inggris bukan menjadi ladang subur untuk menabur permainan
dari kaki ke kaki dan penguasaan bola bukan rumus utama menghasilkan poin. Sekali
lagi Tottenham yang mempecundangi mereka adalah bukti!
Dalam situasi seperti ini Pep terus menyesuaikan diri. Bongkar
pasang terutama di lini belakang terus saja terjadi. Kontra Spurs ia
membangkucadangkan John Stones, bek tengah yang bernasib sama seperti Bravo.
Aleksandar Kolarov yang menggantikan Stones pun tampil tidak lebih baik. Bisa
dimaklumi Kolarov buruk, karena sejatinya ia adalah bek sayap, bukan bek
tengah.
Jadi sebenarnya siapa kambing hitam buruknya performa City,
yang mebuat tim ini harus kehilangan delapan poin di empat laga terakhir dan
kini terpaku di peringkat kelima? Jangan-jangan bukan City yang bermain buruk tetapi
tim-tim lain telah jauh lebih padu dan berkembang. Bisa juga seperti Guardiola katakan ekspektasi
publik kepadanya dan tim terlalu tinggi di awal musim.
“Saat ini Anda baru sadar bukan? Nyatanya kami masih
membangun diri dan saya akan terus mengupayakan itu.”
Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 23 Januari 2017.
Comments
Post a Comment