Rooney, Hart dan Southgate dalam Labirin “Tiga Singa”
Inggris vs Slovenia/Dailymail.co.uk
Apakah Anda menyaksikan laga Inggris kontra Slovenia dalam
lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2018, Rabu (12/10/16) dini hari WIB? Bagaimana
Anda melihat performa The Three Lions saat itu?
Bila tak sempat menyaksikannya, aneka pemberitaan yang
menyusulnya sudah lebih dari cukup memberikan gambaran terkait penampilan Tim
Tiga Singa di Ljubljana pagi tadi. Tak bermaksud meremehkan Slovenia dan mengulang
pemberitaan, laga tersebut berakhir
dengan skor kaca mata.
Hasil yang pantas untuk sebuah tim sekelas Inggris? Bila
pertanyaan tersebut diarahkan kepada publik Inggris jawaban tentu saja tidak. Namun
melihat kondisi tim saat ini, hasil tersebut tampaknya tidak berlebihan.
Timnas Inggris hari ini sedang berada di titik kritis.
Kehilangan gairah, ketiadaan kreativitas, dan kelumpuhan daya serang sedang
menggerogoti Wayne Rooney dan kolega. Sejak ditinggal pergi Sam Allardyce yang
hanya bertugas selama 67 hari, dan dilanjutkan pelatih sementara, Gareth
Southgate dalam empat laga terakhir, Tiga Singa belum juga mendapatkan
kegarangannya. Pelatih boleh berganti namun riwayat tim tak juga berubah.
Tak ada perubahan signifikan yang terlihat, selain sedikit
menjawab kekecewaan publik Inggris terhadap peran Rooney. Di laga dini hari
tadi pelatih 46 tahun itu nekat membangkucadangkan Rooney dan baru
mengijinkannya merumput sekaligus mengambil kembali ban kuning itu dari tangan
Jordan Henderson sejak menit 73.
Suntikan semangat pemimpin baru tak memberikan dampak
berarti. Sosok Henderson belum cukup berdaya memacu spirit rekan-rekannya.
Penunjukkan Henderson sempat menuai pro kontra. Barisan kontra menilai kapasitas
kepemimpinan Henderson belum cukup mumpuni mendobrak semangat dan daya juang
tim. Dalam situasi krisis saat ini Inggris butuh pemimpin karismatik seperti
Steven Gerrard atau John Terry. Namun mengharapkan kehadiran sosok seperti itu
tak ubahnya pungguk merindukan bulan.
Inggris memang sedang krisis kepemimpinan, baik di tingkat
pelatih maupun tim. Namun yang paling dibutuhkan adalah sentuhan manajerial
untuk menemukan kembali puzzle yang hilang di setiap lini. Empat gol dalam lima
pertandingan adalah cermin kerapuhan tim.
Di lini depan, Daniel Sturridge yang kali ini mengakuisisi
nomor 10 dari Rooney belum mampu mengambil peran penting itu. Demikianpun winger Theo Walcott, yang masih seperti
dulu, belum juga menemukan greget
saat berseragam Tiga Singa. Tercatat sepanjang babak pertama Jan Oblak lebih banyak
berdiri manis di bawah mistar gawang Slovenia. Kiper muda Atletico Madrid itu hanya diuji
sekali oleh Jesse Lingard.
Jordan Henderson, Eric Dier dan Dele Alli gagal menciptakan
keseimbangan di lini tengah. Penguasaan bola dan kreativitas membangun serangan
belum seiring sejalan. Koordinasi dan konektivitas antarlini belum cukup baik
dibangun. Malah kerja sama Dier dan Henderson nyaris berbuah blunder, saat backpass Henderson kepada Gerry Cahill hampir menjadi santapan empuk Josep Ilicic. Untung
saja Inggris masih punya Joe Hart.
Malam itu Hart seperti merayakan kembali dirinya sebagai “si anak
hilang” yang kembali gemilang. Tak ada yang protes, kiper jangkung itu tampil
sangat baik di laga itu. Sejak dibuang ke Torini, Hart seakan dibakar semangat
membuktikan bahwa pilihan Pep Guardiola mendepaknya dari Manchester City adalah
keliru.
Aksi penyelamatan gemilang Joe Hart/Dailymail.co.uk
Malam itu pemain bernama lengkap Charles Joseph John Hart ini
menjadi pemikul “dosa” para pemain lain. Ia menjadi penyelamat muka Inggris
dari sejumlah peluang berbahaya. Sejak babak pertama, Slovenia mencatatkan
sejumlah peluang matang.
Laga baru berjalan 10 menit Bezjak nyaris mengoyak jala
Inggris andai saja ia mampu memaksimalkan kans satu lawan satu dengan Hart. Di awal
babak kedua, bila bukan karena kiper 29 tahun itu, Inggris mungkin sudah
kemasukan dua gol. Yakni dari umpan silang Kurtic yang mampu diamankan dengan
aksi refleks luar biasa serta sundulan Krhin di tiang dekat yang mampu dihalau
Hart dengan baik.
Bila Guardiola tak menganggapnya penting, tidak demikian
dengan Torino. Sejak berlabuh di Turin pada akhir Agustus lalu, Hart sudah
mencuri hati fans Il Toro. Meski debutnya berakhir pahit, kalah 1-2 di kandang Atalanta,
empat laga kemudian Hart menebusnya dengan baik. Kemasukan dua gol dari empat
laga, sudah cukup membuatnya menjadi idola baru Torino.
Penampilan Hart bersama Tiga Singa malam itu membuatnya
semakin dekat di hati fans Torino. Tak terkecuali publik Inggris. Performa Hart
yang membaik melecut para pemain lain untuk bisa bangkit bersama menyelesaikan
krisis.
Inggris akan terus diuji setidaknya di dua laga
internasional berikutnya. Menjamu Skotlandia dalam lanjutan Kualifikasi Piala
Dunia 2018 di Wembley pada 11 November dan menantang tim kuat Spanyol dalam
tajuk persahabatan empat hari kemudian.
Wayne Rooney di laga kontra Slovenia/Dailymail.co.uk
Dua pertandingan ini amat penting. Tak hanya krusial
menentukan langkah Inggris menuju Piala Dunia Rusia di mana Lithuania dan
Slovenia terus membuntuti dengan selisih dua poin dari Inggris di puncak grup F
dengan 7 poin. Juga menentukan masa depan tim yang tengah dibelit labirin
persoalan mulai dari masa depan kapten tim hingga nasib sang caretaker, Southgate.
Sepertinya jawaban atas dua pertanyaan ini berada di tangan Southgate. Mantan pemain timnas Inggris itu adalah pemangku kepentingan dan pengambil keputusan terpenting saat ini. Masa depannya kini ada di tangannya sendiri, sekaligus nasib timnas Inggris: semakin teratur atau kian semrawut.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 12/10/2016.
Comments
Post a Comment