Membaca Pertemuan Pochettino dan Guardiola
Pochettino
(kiri) dan Pep Guardiola/www.espnfc.com
Bukan pertandingan biasa.
Setidaknya itu kesimpulan yang bisa dipetik jelang matchday ke-7 Liga Primer Inggris antara tuan rumah Tottenham
Hotspur kontra Manchester City di White Hart Lane, Minggu (2/10) pukul 20:15
WIB. Secara peringkat, di tabel klasemen sementara, kedua tim teratas. City yang sempurna dalam enam laga hanya
berjarak empat poin dari Spurs. Sementara Spurs unggul satu poin dari Arsenal,
Liverpool dan Everton di lima besar.
Dengan tanpa bermaksud mengabaikan
yang lain, pertandingan ini akan menjadi ujian bagi kedua tim. City di bawah
asuhan Pep Guardiola sedang di jalur positif di pentas domestik. Sementara Spurs
pun demikian belum pernah kalah meski beberapa kali hanya mendulang hasil seri.
Kemenangan dalam laga ini jelas akan mempengaruhi konstelasi papan atas: entah
perolehan poin semakin ketata, atau sebaliknya.
Eks pemain Spurs, Jermaine Jenas kepada BBC Sport mengaku bahwa laga ini akan
menjadi ujian terberat pelatih baru The Citizen. Kemenangan dalam derby
Manchester, di kandang Manchester United beberapa waktu lalu, sekilas
menunjukkan sejauh mana hasil kerja mantan pelatih Barcelona dan Bayern
Muenchen itu. Namun, hasil positif di Old Trafford itt, menurut Jenas, belum
bisa dijadikan tolak ukur stabilitas komposisi City saat ini.
Secara sederhana dapat dikatakan
demikian. Guardiola memenangkan “perang” Manchester menghadapi pelatih baru
yang sedang berada dalam masa-masa adaptasi. Tak dapat dimungkiri saat ini
Mourinho sedang menghadapi pekerjaan rumit untuk membangun tim. Komposisi dan
formasi ideal seperti yang dicita-citakan
The Special One itu masih jauh panggang dari api. Bongkar pasang masih saja
terjadi.
Dalam kondisi seperti itu,
apresisasi pada Guardiola jelas bukan sesuatu yang berlebihan. Dibandingkan Mourinho,
yang juga diklaim sebagai salah satu pelatih hebat saat ini, langkah pelatih berkepala plontos jauh lebih
cepat. Apakah itu mengisyaratkan perbedaan kualitas di antara keduanya?
Jawaban terhadap pertanyaan itu jelas akan bersifat
prematur karena banyak faktor lain yang saling berkelindan untuk sebuah hasil
akhir. Masih terlalu dini menilai berhasil tidaknya kerja seorang pelatih
karena belum banyak batu ujian yang sudah dilewati. Mengorganisasikan sebuah
tim dengan banyak pemain dari beragam latar belakang usia, posisi, dan
pengalaman jelas membutuhkan waktu untuk mendapatkan pakem tertentu.
Setidaknya kesimpulan tersebut
terbersit dari mulut pelatih Liverpool, Jurgen Klopp. Kepada Sky Sports 'Monday Night Football belum lama ini, pelatih 49 tahun itu mengaku tidak
secepat yang dibayangkan para fans untuk melihat Liverpool saat ini seperti
Borussia Dortmund yang ditanganinya saat itu. Sejak kursi kepelatihannya pindah
ke Anfield hampir 12 bulan lalu, pria Jerman itu masih terus berproses,
memadukan antara apa yang diharapkan dengan sumber daya yang dimiliki.
Demikian pun belum bisa diambil
kesimpulan terhadap kinerja Guardiola. Ia baru memulai perjalanan bersama tim
barunya itu. Memang sedikit mengejutkan dengan start luar biasa Guardiola. Aksi
jempolan pria spanyol itu dalam masa transisi yang tidak mudah di Etihad Stadium.
Namun keterkejutan kita itu tampaknya masih perlu
pembuktian lebih. Seperti Anonio Conte yang juga baru bersama Chelsea, masa
transisi Guardiola masih muda. Hasil imbang kontra Celtic di Liga Champions
beberapa waktu lalu membuktikan bahwa transisi Guardiola belum berjalan
sempurna. Di pentas domestik laga terakhir kontra Swansea masih menyiratkan
pekerjan rumah untuk Guardiola.
Pochettino
(kiri) dan Pep Guardiola/www.espnfc.com
Pada titik ini pertemuan dengan
Tottenham bakal menjadi ujian berat Guardiola. Betapa tidak, tim yang
dihadapinya bukan tim baru yang sedang membangun. Finis di urutan ketiga musim
lalu sudah mengisyaratkan bahwa The Liliwhites akan semakin merepotkan tim-tim
besar lainnya.
Mauricio Pochettino, sang arsitek
sudah menunjukkan hasil baik. Proyek yang dibangunnya selama dua tahun terakhir
semakin jelas hasilnya. Musim ini mereka langsung tancap gas dengan enam laga
tanpa kekalahan. Pencapaian yang luar biasa dalam sejarah klub. Pertama kali
dalam 51 tahun terakhir.
Berbeda dengan klub-klub lain,
terutama para raksasa, yang sebagaimana biasa tak bisa diam di setiap bursa
transfer, pada musim panas ini Pochettino tidak terlalu agresif di jendela
transfer. Pasti banyak yang bertanya-tanya, mengapa pria Argentina itu tak mau
merogoh kocek setidaknya untuk satu dua pemain bintang? Apakah Spurs tidak
punya banyak uang?
Jawabannya tentu bukan karena
keterbatasan uang dan lemahnya negosiasi. Tetapi karena Pochettino merasa bahwa
tidak perlu ada perubahan lagi pada timnya. Sistem, skema, dan identitas tim
sudah ada sehingga tidak perlu dibongkar pasang, apalagi dirombak lagi.
Kepaduan itulah yang membedakan
Spurs dengan tim-tim elit lainnya. Karakter bermain sudah terlihat, dan para
pemain sudah tahu apa yang dikehendaki sang pelatih. Menurut Jenas lagi, saat
tidak bermain baik saja mereka sudah mampu mengambil poin, bagaimana kalau
mereka bermain baik.
Menghadapi Spurs, catatan
penguasaan bola City yang tinggi (rata-rata 64%) akan mendapat hadangan. Dua tim
yang sekilas secara statistik memperlihatkan dominasi gaya berbeda, agresif
versus defensif, akan saling beradu. Spurs yang tercatat memiliki prosentase
kemasukan paling sedikit akan menantang Manchester Biru yang dominan.
Namun gaya tersebut tak sepenuhnya
menunjukkan karakteristik bermain. Meski kemasukan paling sedikit tidak berarti
bahwa Pochettino mengamini gaya bertahan. Menurut catatan BBC.co.uk, dibanding City, prosentase shots per game (tembakan) Spurs lebih tinggi dari City, sekaligus
yang tertinggi dibanding tim-tim lain. Jumlah gol yang sudah tercipta pun tak
berbeda jauh. City hanya 8 gol lebih banyak dari Spurs yang sudah mengemas 10
gol sejauh ini.
Catatan tersebut memperlihatkan
bahwa pertandingan ini akan menjadi ujian berat City. Tim yang akan mereka
hadapi adalah tim yang sudah terbentuk, setidaknya jauh lebih padu dalam arti
terintegrasi antara pemain muda dan pemain senior, dan antara keinginan pelatih
dan kemampuan para pemain.
City memiliki Sergio Aguero yang
sudah mencetak lima gol dalam empat pertandingan. Namun Spurs punya Son
Heung-min-selain Harry Kane, Arik Lamela dan Dele Alli-yang tengah naik daun.
Pemain Korea Selatan itu menjadi mimpi buruk lawan-lawannya dalam tiga laga
terakhir dengan memborong gol yang kini total berjumlah 4 gol.
Di lini kedua dan ketiga Spurs,
seperti terlihat dari prosentasi kemasukan di atas, terlihat bahwa komposisi
yang ada sudah padu. Para pemain muda yang sudah menjadi tulang punggung sejak
musim lalu sudah paham bagaimana memainkan pertandingan, termasuk meladeni
City. Berman di kandang sendiri semakin mempertembal semangat mereka.
Head to head 32 pertemuan kedua tim, Spurs lebih dominan dengan 17
kemenangan (termasuk di pertemuan terakhir pada awal Februari tahun ini dengan
skor 2-1), 11 kekalahan dan empat hasil seri. Catatan ini semakin menyemangati
Hugo Lloris dan kolega untuk melanjutkan hasil positif. Tidak hanya untuk
mencatatakan hasil baik di lembaran sejarah pertemuan kedua tim, juga untuk
menunjukkan diri bahwa mereka pantas diperhitungkan sebagai kandidat juara
musim ini.
Musim lalu, Spurs nyaris membuat
kejutan andai saja tidak terjatuh di akhir musim. Ada yang menilai saat itu
para pemain telah kehabisan tenaga karena terlalu dipaksa Pochettino. Kelesuan
saat menghadapi Liverpool pada akhir Agustus menunjukkan hal itu. Tingkat
kebugaran bergerak negatif.
Jenas yakin Spurs sudah
jauh lebih matang baik dalam skill maupun kebugaran. Berbeda ketika ia di White
Hart Lane sejak 2005-2013, Spurs kini digerakkan oleh sosok muda, energik dan
ambisius untuk memenangkan gelar. Tidak hanya bermimpi dan berambisi besar,
menurut Jenas, Pochettino dan para pemain pun pun sudah tahu apa yang perlu
mereka lakukan untuk mewujudkannya, termasuk saat menjamu City nanti.
Mari kita menjadi saksi untuk pertemuan
ciamik ini.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 2 Oktober 2016.
Comments
Post a Comment