Iuran BPJS Kesehatan Antara “Gabe” dan “Aufgabe”
Ilustrasi dari www.bpjs-kesehatan.go.id
Dua tahun sudah, sejak mengganti
layana Asuransi Kesehatan (Askes) pada 1 Januari 2014, sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) berjalan. Sebagai salah satu program dari dan dikendalikan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), JKN merentangkan tangan selebar-lebarnya
bagi segenap masyarakat Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan.
JKN hadir sebagai implementasi
perintah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 3 tentang hak atas jaminan
sosial, yang diterjemahkan dalam sistem jaminan sosial sesuai amanat pasal 34 ayat 2. Dengan dasar
konstitusional tersebut tak ada alasan bagi negara untuk tidak memenuhi hak
warga negara apapun latar belakangnya.
Selama dua tahun BPJS telah
berusaha menjalankan misi konstitusional tersebut. Data resmi di laman BPJS
menyebut peserta program JKN per 9 September 2016 sudah mencapai 167,8 juta
jiwa. Hingga akhir tahun ini ditargetkan jumlah tersebut meningkat menjadi 188
juta dan tiga tahun ke depan menginjak angka sempurna, 100 persen. Artinya,
tahun 2019 tak satu pun warga Indonesia tak terlayani program ini.
Menariknya, dari jumlah yang ada,
meski baru lebih separuh dari total penduduk Indonesia, berasal dari kelompok
miskin. Tak kurang dari 60 persen kelompok miskin ini terjaring dalam program
JKN dengan tanpa mengeluarkan sepeserpun. Kepada mereka, sesuai dengan amanat
konstitusi, negara wajib menunjukkan tanggung jawabnya dengan menanggung iuran
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Secara teknis,kelompok masyarakat tersebut masuk
kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sementara itu kelompok masyarakat lainnya,
atau yang tidak terkategori PBI, menunjukkan tanggung jawabnya terhadap program
ini dengan ikut berpartisipasi membayar iuran. Itu pun dengan aneka skema
pembayaran dengan besaran berbeda-beda tergantung manfaat yang dikehendaki (Rp
25.500 per orang per bulan untuk mendapatkan manfaat ruang perawatan Kelas III,
selanjutnya Rp 51.000 untuk Kelas II dan Rp 80.00 untuk kelas I).
Iuran bagi Peserta Pekerja
Penerima Upah yang bekerja di Lembaga Pemerintah (PNS, anggota TNI/Polri,
pejabat negara dan pegawai pemerintah non pegawai negeri) sebesar 5 % dari gaji
per bulan dengan ketentuan 3 % dibayar oleh pemberi kerja dan 2% dibayar
peserta.
Besaran iuran yang sama berlaku
pula untuk peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta.
Bedanya 4% dari iuran tersebut dibayar oleh Pemberi Kerja sementara sisanya
oleh peserta.
Iuran untuk keluarga tambahan
Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari aak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua,
iuran yang dipatok sebesar 1 persen dari gaji atau upah per orag per bulan yang
dibayar oleh pekerja penerima upah.
Tanggungan untuk kerabat lain dari
Pekerja Penerima Upah (saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll),
peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja seperti
disebutkan di atas (Rp25.500 per orang per bulan untuk Kelas III, Rp 51.000
untuk kelas II dan Rp 80.000 untuk kelas I).
Para veteran, perintis
kemerdekaan, janda, duda dan anak yatim pun tak ketinggalan. Namun iuran yang
dibebankan sebesar 5 % dari 45 % gaji pokok PNS golongan ruang III/a dengan
masa kerja 14 tahun dan dibayar oleh Pemerintah.
Sistem tersebut jelas menunjukkan tanggung
jawab negara dengan tanpa mengabaikan prinsip keadilan. Selama masyarakat
tersebut mampu-artinya berpenghasilan cukup- mengapa tidak turut membantu. Di sini
berlaku prinsip gotong royong. Yang mampu menolong yang kurang atau tidak mampu
melalui iuran yang dibayar.
Hasilnya tentu sudah terlihat
dalam berbagai tingkatan. Masyarakat miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan,
misalnya untuk 155 jenis penyakit yang sedianya bisa ditangani di puskesmas
sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Pada tingkat lanjut, masyarat yang
menderita penyakit seperti jantung, gagal ginjal dan kanker pun terbantu. Bukan
rahasia lagi penyakit-penyakit mematikan tersebut membutuhkan biaya pengobatan
yang sangat tinggi dan biasanya dibebankan kepada penderita sehingga kehadiran
JKN sungguh sangat membantu. Sebagai ilustrasi, untuk menutup biaya pengobatan
satu pasien kanker dbutuhkan iuran 1.253 peserta sehat.
Meski jauh dari kata
representatif, setidaknya survey terkini yang dilakukan harian Kompas, (Minggu, 18/9/2016, hal.1) terhadap
masyarakat Jabodetabek memperlihatkan dampak positif dari adanya layanan BPJS. Hampir
separuh warga (49 persen) menilai layanan BPJS Kesehatan cukup memuaskan. Sebanyak
68 persen dari kelompok warga yang puas sudah membuktikan dengan menggunakan layanan
BPJS Kesehatan itu. Lebih dari separuh penggunanya berasal dari kelas akar
rumput yakni kelompok ekonomi bawah, berpendidikan rendah, berusia 60 tahun ke
atas dan kelompok pensiunan.
Akar masalah
Dari deskripsi singkat di atas
terlihat bahwa JKN adalah berkah (gabe) dari negara kepada masyarakat dan dari
sesama kepada sesama yang lain. Meski belum berjalan sempurna dan dirasakan
sepenuhnya oleh seluruh masyarakat setidaknya tanda-tanda baik sudah terlihat.
Sejauh ini beberapa kekurangan
yang masih terlihat mulai dari penolakan pasien JKN, pelayanan kurang ramah, hingga
antrean yang mengular. Selain itu kualitas layanan yang kurang memadai yang
dialami sejak dari fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama. Masih menurut
hasil survey Kompas, kualitas layanan
yang belum maksimal di faskes tingkat pertama terlihat dari pemberian obat yang
tidak sesuai dengan kesehatan pasien.
Berbagai kekurangan tersebut tak
lepas dari “cacat” manusiawi maupun kendala sarana prasarana seperti faskes dan
personalia. Bila tidak segera dibenahi bisa menghabat kepakan sayap BPJS untuk menjangkau
lebih banyak peserta. Masih dari survey yang sama, baru 83 persen warga
memiliki kartu BPJS, itu pun 15 persen di antaranya kartu baru dimiliki oleh
sebagian anggota keluarga.
Namun, BPJS pun menghadapi kendala
yang tidak kalah pelik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, sebagai program negara,
sistem ini berjalan tidak sepenuhnya bertumpu pada sumber daya finansial
negara. Negara tidak menjadi tulang punggung satu-satunya. Bisa dibayangkan
bila biaya kesehatan 250 juta lebih penduduk Indonesia ditanggung sepenuhnya
oleh negara. Ruang fiskal APBN yang sangat sempit seperti sekarang ini tak
hanya membuat langkah pembangunan semakin
terseok-seok, juga berpotensi menjerumuskan bangsa ini ke jurang keterpurukan.
Dengan skema seperti diterangkan
sebelumnya, JKN juga bertumpu pada masyarakat Indonesia sendiri. Namun yang
terjadi saat ini adalah dana talangan negara semakin membengkak. Defisit anggaran
yang dikelola BPJS semakin meningkat. Tahun 2014 PBJS mengalami defisit Rp 3,3
triliun. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 5,6 triliun pada 2015 dan
diprediksi terus membesar mencapai Rp 6,8 triliun pada tahun ini.
Pertanyaan krusial, mengapa bisa
terjadi demikian? Dua kemungkinan paling masuk akan bisa dikemukakan. Pertama, banyaknya peserta yang
menunggak terutama peserta mandiri yakni Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan
Bukan Pekerja (BP).
Berdasarkan laporan Kompas, Kamis 15/9/2016, hal.14, Saat ini
tunggakan iuran BPJS Rp 2 triliun. Mayoritas peserta mandiri kurang tertib dan
patuh membayar iuran. Padahal berdasarkan data BPJS tahun 2015, segmen tersebut
menyerap Rp 16,6 triliun biaya kesehatan atau 29,2 persen dari total biaya
kesehatan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan besarnya iuran yang terkumpul
dari PBPU yang hanya berjumlah Rp 4,6 triliun. Hingga minggu keempat Agustus,
tingkat pengumpulan iuran (kolektabilitas) iuran peserta PBPU paling rendah di
antara segmen peserta lain yakni 48 persen. Sementara kolektabilitas segmen
peserta lain di atas 95 persen.
Dalam situasi seperti itu
pertanyaan bisa dikembangkan lebih jauh, mengapa bisa sampai terjadi demikian? Berdasarkan
aturan yang ada, sejak 1 Juli 2016, keterlambatan pembayaran iuran dikenakan
bila dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan diaktifkan kembali, peserta
tersebut memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap, maka dikenakan denda
sebesar 2,5 persen dari biaya kesehatan untuk setiap bulan tertunggak
Denda tersebut dikenakan
berdasarkan ketentutan jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan dan besar
denda paling tinggi Rp.30.000,00. Apakah regulasi yang mengatur tentang ini
terlalu lunak? Aspek penegakan yang bermasalah? Atau ada hal lain yang
mengganjal?
Kedua, jumlah peserta yang belum maksimal. Saat ini masih ada
sekitar 90 juta masyarakat yang belum terjaring program ini. Meski rasio
peserta tersebut lebih kecil ketimbang peserta yang sudah terdaftar, patut
dicatatan mayoritas berasal dari kelompok pekerja formal. Berarti mereka
berasal dari kelompok di luar tanggungan negara.
Dibandingkan peserta JKN pada akhir
2015 sebanyak 156,7 juta jiwa, pada semester I-2016 mengalami peningkatan
sekitar 10 juta warga menjadi 166,9 juta. Lebih dari separuh, atau 6 juta
peserta berasal dari tambahan penerima bantuan iuran (PBI) dan hanya 4 juta di
luar PBI.
Bila dirata-rata, penambahan
peserta baru di luar PBI per bulan selama 6 bulan pertama 2016 hanya sekitar 500.000
warga. Bila rerata penambahan tidak membaik, bukan hanya target tiga tahun ke
depan yang tidak tercapai, juga membuat jurang defisit semakin lebar. Saat ini
rasio klaim biaya manfaat terhadap pendapatan iuran semester I-2016 mencapaii
102 persen. Bila tak segera ditangani dengan baik bukan tidak mungkin bisa
mengancam keberlangsungan program tersebut.
Aufgabe
Terlihat jelas tantangan di depan
mata yang sedang kita hadapi bersama. Sebagai “gabe” JKN telah mewujud sistem
yang memungkinkan kita saling menolong agar semua tertolong. Namun tugas kita
tidak sampai di situ. Hadiah tersebut bukan tanpa tangung jawab. Ada tugas atau
“aufgabe” penting yang sedang menanti kita.
Masih dalam nafas gotong royong,
adalah tugas kita untuk membenahi beberapa hal mendasar sekaligus menggalakkan
semangat kegotongroyongan itu dalam berbagai bentuk. Gotong royong tidak hanya
dengan membayar iuran semata dan semangat tersebut tidak hanya menjadi milik
satu dua pihak saja. Mulai dari pemerintah, masyarakat, badan usaha hingga
tenaga kesehatan perlu terlibat aktif.
Pertama, selain mendisiplikan peserta mandiri dengan menyentuh
ruang kesadaran mereka, secara realistis diperlukan peserta baru yang sehat dan
disiplin membayar iuran. Mereka perlu dirangkul untuk turut mendaftar dan
memperkuat barisan anggota BPJS.
Salah satu sasaran adalah segmen
pekerja formal. Selain melakukan pendekatan kepada para pekerja maupun kepada
lembaga tempat mereka bekerja atau badan usaha, melakukan pendekatan kepada
pemerintah daerah adalah pilihan yang mungkin.
Saat ini masih ada dua provinsi
yakni Bali dan Sumatera Selatan, serta 172 kabupaten atau kota yang belum
mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan JKN. Pemerintah daerah perlu mendorong badan usaha
untuk memasukan pekerja formal dengan tingkat ekonomi bawah ke dalam program
Jamkesda. Saat ini sudah 383 pemda yang mengintegrasikan Jamkesdanya dengan JKN
(Kompas, Jumat, 12/8/2016, hal.15).
Dengan integrasi tersebut, atau
kalaupun belum ada Jamkesda, pemerintah daerah bisa didorong untuk mensyaratkan
kepesertaan JKN dalam pengurusan perizinan usaha. Sehingga setiap badan usaha
yang hendak didirikan atau diekpansi bisa turut mengakomodir peserta JKN baru.
Kedua, terkait
dengan poin pertama, selain memakai pendekatan langsung, cara lain yang bisa
ditempuh yakni dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Saat
ini hampir tak ada yang tak bersentuh atau terpapar perkembangan tersebut.
Seperti dilakukan
asuransi-asuransi swasta umumnya, TIK pun bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan
literasi JKN. TIK adalah sumber daya kekinian yang sangat berlimpah tidak hanya
untuk meningkatkan kinerja internal BPJS, juga untuk kegiatan literasi yani
memasyarakatkan JKN dan men-JKN-kan masyarakat.
Penggunaan media sosial seperti
facebbok dan twitter tidak hanya untuk melayani pertanyaan, permintaan, atau
masukan dari anggota, juga untuk mengedukasi dan menarik minat anggota baru. Indonesia
adalah pasar potensial jejaring sosial seperti itu, mengapa tidak kita
manfaatkan untuk kepentingan JKN? Mengapa tidak kita gunakan segala kemewahan
yang ditawarkan untuk bergotong-royong membangun JKN?
Ketiga, untuk memacu penambahan peserta perbaikan sistem pelayanan
perlu dilakukan. Selain memperbanyak fasilitas dan tenaga medis, perlu penambahan
fasilitas kesehatan swasta dan dokter praktik perorangan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan.
Keempat, memaksimalkan peran puskesmas sebagai tempat perawatan
menyeluruh. Sebagai ujung tombak penanganan kesehatan masyarakat, sekiranya 155
penyakit yang bisa ditangani di puskesmas benar-benar terealisasi.
Saat ini penumpukan pasien di
Rumah Sakit Tipe A dan Tipe B tak terelakkan. Padahal beberapa penyakit
semestinya bisa ditangani di RS Tipe B atau puskesmas. Karena penumpukan di
faskes tingkat lanjut maka peran dokter spesialis pun bertambah. Alhasil mereka
memiliki waktu yang sangat terbatas untuk riset dan menangani penyakit yang
benar-benar membutuhkan keahlian khusus.
Karena itu dokter-dokter yang
bekerja di puskesmas perlu meningkatkan kompetensinya untuk menangani 155
penyakit tersebut. Selain itu peran yang tak kalah penting adalah mengambil
peran sebagai dokter keluarga yang bersentuhan langsung dengan kelompok
masyarakat luas.
Kelima, melakukan inovasi pelayanan. Tujuannya tidak hanya memudahkan
pelayanan, lebih dari itu menciptakan sistem yang bisa mendisiplinkan peserta
membayar iuran.
Saat ini BPJS sudah menerapkan
sistem pembayaran satu akun virtual bagi semua anggota keluarga terdaftar,
khususnya peserta mandiri. Tujuan utama memastikan iuran seluruh anggota
keluarga dibayarkan.
Sebelumnya pembayaran iuran
peserta untuk semua anggota keluarga dalam kartu keluarga dilakukan satu per
satu. Jelas cara ini kurang efektif dan efisien. Dengan sistem baru ini,
pembayaran iuran dilakukan sekali dengan memakai salah satu nomor peserta
anggota keluarga dalam KK yang terdaftar. Selain itu menghemat biaya
administrasi karena bila peserta membayar iuran lewat loket PPOB (payment point online banking) hanya
dikenai satu kali biaya administrasi transaksi untuk pembayaran iuran seluruh
anggota keluarga. (Kompas, Kamis
15/9, hal.14)
Inovasi dan terobosan seperti
itulah yang dibutuhkan. Dan diharapkan tidak sampai di situ. Sumbangsih para
praktisi IT dan mereka yang pakar dibidang TIK sangat dibutuhkan.
Keenam, patut diakui, konteks pembicaraan kita sebelumnya lebih mengedepankan
aspek pengobatan. Sejatinya ada hal yang paling penting dan mendasar adalah
aspek promosi dan pencegahan penyakit.
Berbicara tentang JKN dan semangat
gotong royong fokus kita semata-mata tertuju pada pembayaran iuran. Padahal ada
aspek penting yang tidak hanya membuat biaya kesehatan kita murah, tetapi juga
derajat kesehatan masyarakat meningkat.
Cara tersebut adalah menggalakkan
kampanye hidup sehat. Menurut pengakuan Menteri Kesehatan Nila A Moeloek
seperti dilansir Kompas (Jumat,
16/9/2016, hal.13) ada lima penyakit dengan klaim terbesar yang harus dibayar
pemerintah ke beberapa rumah sakit dalam sistem Indonesia Case Base Group.
Penyakit tersebut berkaitan dengan pola hidup tidak sehat yakni merokok.
Merujuk data Kementerian
Kesehatan, pemerintah mengeluarkan Rp 6.9 triliun untuk membayar klaim penyakit
jantung, kanker (Rp 1,8 triliun), stroke (Rp 1,5 triliun), dan diabetes melitus
(Rp 1,2 triliun). Selain itu dana yang terpakai untuk penanganan gagal ginjal Rp 2,5 triliun.
“Biayanya hampir Rp 1 juta per
pasien, dalam satu bulan ada 2.000 kasus baru,”tandasnya.
Secara umum anggaran yang
dikeluarkan pemerintah untuk kesehatan masyarakat, termasuk pencegahan penyakit
cukup besar dan terus meningkat. Pada tahun 2015 anggaran yang dibutuhkan
sebesar Rp 1,4 triliun, naik menjadi Rp 2,4 triliun pada 2016. Sementara anggaran
untuk BPJS Kesehatan lebih dari Rp 40 triliun per tahun, itu pun masih defisit
dan harus ditalangi negara.
Dalam situasi seperi itu bila
tidak dilakukan pembenahan terhadap kesehatan warga makan akan membuat anggaran
kesehatan meningkat dan defisit BPJS pun setali tiga uang. Terkait hal tersebut
beberapa hal praktis bisa dilakukan. Salah satunya adalah meningkampanyekan hidup sehat.
Pertama, berkaca pada klaim terbesar di atas maka kita perlu
memperhatikan serius terhadap rokok. Kompas,
(Kamis, 8/9/2016, hal.14) mencatat saat ini perokok pemula terus meningkat.
Angka pertama kali merokok pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 33,1 persen
tahun 2007 naik menjadi 43,3 persen tahun 2010.
Angka pertama kali merokok di kelompok
umur 10-14 tahun di perode yang sama juga meningkat dari 10,3 persen menjadi
17,5 persen. Yang mengkhawatirkan peningkatan angka pertama kali merokok pada
kelompok umur 4-9 tahun dari 1,2 persen per tahun 2007 menjadi 1,7 persen pada
tahun 2010.
Ancaman terkait rokok sudah di
depan mata. Karena itu setiap elemen mulai dari keluarga, lembaga pendidikan,
LSM/NGO, pemuka agama dan tokoh adat perlu bahu membahu meredam laju angka
tersebut. Tak hanya dengan ceramah, dan wejangan, yang tak kalah penting adalah
teladan.
Kedua, sebagai motor penggerak utama, pemerintah bisa memulai
dengan melakukan sejumlah program prioritas di bidang sanitasi. Menkes memberi contoh, beberapa daerah sudah
memulai mengayun langkah positif meningkatkan derajat kesehatan. Payakumbuh, Sumatera
Barat, misalnya memprioritaskan kesehatan lingkungan dibandingkan upaya
pengobatan. Pemerintah setempat membuka akses air bersih bagi warga.
“Pemerintah melarang warga buang
air besar di kolam ikan sehingga ikan yang dihasilkan bermutu baik,”tuturnya.
Di Banyuwangi ada program arisan
jamban yang dipelopori Puskesmas Tampon, Banyuwangi. Penggunaan jamban yang
baik dan sehat mampu menurunkan angka kasus penyakit akibat lingkungan.
Tentu masih banyak cara yang bisa
dilakukan untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat dan meningkatkan derajak
kesehatan. Setap daerah dan masing-masing kita belum habis akal untuk mencari
cara yang lebih pas untuk itu. Di sini aspek penting dari semangat gotong
royong dalam JKN itu mendapat penekanan, tidak hanya sebagai gabe, juga aufgabe.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 19 September 2016.
Comments
Post a Comment