Ni Nengah di Tengah Ketidakadilan Dunia Olahraga
Ni Nengah (paling kanan)/gambar dari INDOSPORT.com
Usai perhelatan Olimpiade Rio dunia seakan kembali sepi.
Pesta olahraga antarbangsa sejagad yang dihelat sejak 5-21 Agustus itu seperti pucak
segala-galanya. Perjuangan dan pengorbanan selama bertahun-tahun tandas melebur
dalam tawa dan air mata, susah dan senang, kalah dan menang. Brasil menjadi
seperti tanur api yang membakar hangus segalanya.
Setelah Rio olahraga seakan tak ada lagi masa depan. Setelah
momen empat tahunan itu dunia olahraga seperti tak punya alasan untuk hidup. Upacara
pembukaan Paralimpiade yang dihelat tak lama berselang setelah Olimpiade di
kota yang sama, tergambar tak menarik. Pesta olahraga bagi kaum difabel yang
dimulai sejak 7 September lalu dan berakhir pada 18 September nanti seperti
sudah kehabisan daya tarik. Energi dan perhatian telah disedot habis euforia
dan glamour Olimpiade.
Kembang api dan berbagai atraksi yang berusaha dikemas
sedemikian menarik tak juga sanggup menutupi sepi penonton dan minim perhatian
ke stadion Maracana. Stadion sepak bola terbesar di Brasil bahkan dunia itu
terlalu akbar untuk penonton yang mudah dibilang jumlahnya. Para atlet yang
sebagiannya berarak mengguakan kursi roda seakan melambai-lambai pada
bangku-bangku kosong. Dibanding pembukaan Olimpiade, Paralimpiade jelas-jelas
kalah daya tarik, tertinggal dari segi antusiasme.
Apakah karena mereka cacat maka tak lagi menarik? Apakah karena
mereka berkekurangan karena itu tak perlu dirayakan? Apakah karena mereka tak
seperti orang kebanyakan maka tak perlu diperhatikan sebanyak mungkin orang?
Apakah karena mereka berbeda maka perlu dibedakan?
Saya tak perlu menjawab secara lugas atau secara hipotetis. Silahkan
saja kita bertanya diri, atau melihat sendiri dan mengambil kesimpulan sendiri.
Hanya satu yang kita sepakati, olahraga tak pernah boleh diklaim sendiri. Adalah
hak bersama untuk merayakan dan dirayakan, diperjuangkan dan diapresiasi,
dengan tanpa melihat siapa, dari mana atau seperti apa rupanya.
Di tanah air, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir belum juga
berhenti banjir hadiah wah nan menggiurkan. Medali emas satu-satunya dari
sektor ganda campuran itu membuat mereka seakan-akan satu-satunya yang pantas
dipuja-puji sedemikian tinggi. Terkesan, semua hanya untuk mereka karena
setelah itu tak ada lagi yang bisa dan tak perlu lagi ada yang bisa seperti
mereka.
Saya tak bermaksud mempersoalkan apresiasi pada pasangan
bernama manis Owi/Butet itu. Perjuangan panjang dan pengorbanan demi nama baik
bangsa patut diberi ganjaran. Sekeping emas yang dipersembahkan adalah gengsi dan
prestise bagi 250-an juta penduduk Indonesia.
Namun, patut diingat masih banyak hal dalam dunia olahraga
tanah air yang perlu diberi perhatian, bahkan semestinya lebih dari yang
diperoleh Owi/Butet. Regenerasi. Proses kaderisasi.
Perlu diakui hal penting dan mendasar itu masih belum
mendapat tempat yang pantas di negeri ini. Tak heran kemenangan satu dua orang
serta-merta dianggap begitu luar biasa. Padahal bila harus jujur potensi sumber
daya manusia Indonesia bisa menghadirkan kemenangan yang jauh lebih banyak.
Walau sekeping medali di ajang bergengsi seperti itu tak
bisa direngkuh dengan mudah, apalagi semata-mata menggantung harapan pada dewi
fortuna, kita kerap terjebak di titik akhir. Kita hanya menuntut hasil akhir
tanpa pernah memberi ruang untuk proses. Kita hanya menunggu di puncak,dan tak pernah menyediakan jalan. Tak pelak kita
pun cepat memberi segalanya, karena kita tak pernah sadar bahwa kemenangan adalah
muara dari jalan panjang berkelok-kelok dari hulu yang jauh. Karena itu satu kemenangan tak pernah boleh merenggut
semua perhatian untuk proses mencetak kemenangan-kemenangan selanjutnya.
Di Brasil sana, ada sembilan atlet difabel kita yang sedang
berjuang. Dengan serba keterbatasan mereka berusaha menggerek Merah Putih ke
tiang tertinggi. Satu prestasi pun sudah dituai.
Ni Nengah Widiasih baru saja menyumbang medali perunggu
cabang angkat berat. Tampil di Riocentro Pavilion 2, atlet kelahiran
Karangasem, Bali 26 tahun silam menjadi yang terbaik ketiga di kategori
powerlifting kelas 41 kilogram dengan total angkatan 96 kilogram. Di kelas ini medali
emas menjadi milik atlet Turki Nazmiye Muratli, dan wakil Tiongkok Cui Zhe
mendapat perak.
Sejak usia empat tahun wanita kelahiran 12 Desember itu
sudah harus menggunakan kursi roda karena kehilangan fungsi pada kedua kakinya.
Cacat tak membuatnya patah semangat. Sejak duduk di kelas enam, ia hidup di
asrama Yayasan Pembinaan Anak Cacat. Segala kebutuhan ditanggung pihak yayasan
dan sejak sekolah menengah biaya pendidikan dibayar melalui beasiswa.
Mengikuti saran dan jejak kakaknya I Gede Suantaka, Widiasih
mulai menekuni angkat besi. Kerja keras berlatih 4-5 kali seminggu mulai
berbuah manis. Jejak prestasi mulai tercium sejak di tingkat nasional. Prestasi
internasional pertama diukir pada 2008. Ia menyabet medali perunggu di ASEAN
ParaGames di Kakhom Ratchasima.
Setahun berselang ia meraih perak di Paralimpiade yang
dihelat di Kuala Lumpur, Malaysia. Di tahun 2014, ia menyabet medali perak
Asian Para Games serta medali perunggu Kejuaraan Dunia 2014. Di pentas terakbar
dunia, Paralympiade, Widiasih mulai ambil bagian sejak di London tahun 2012
bersama enam atlet lainnya dari Indonesia.
Gambar dari @KEMENPORA_ID
Medali perunggu kali ini menambah daftar pencapaian Widiasih
di pentas internasional dan membuat Merah Putih mampu berkibar di pesta
olahraga empat tahunan itu. Bila Owi/Butet mampu menyumbang emas, dan duo
lifter Sri Wahyuni dan Eko Yuli Irawan merengkuh medali perak, dari atas kursi
roda Widiasih mempersembahkan medali perunggu.
Kemenangan ini menjadi istimewa sebagai kado Hari Olahraga
Nasional yang jatuh saban 9 September. Semoga prestasinya tak hanya
mendatangkan sukacita dan kegembiraan bersama, juga menggelitik orang-orang
seperti dia untuk tampil ke publik dan unjuk gigi.
Atas prestasinya, ia tidak hanya layak diberi bonus seperti
para atlet Olimpiade, lebih penting dan berharga dari itu, mendapat penghargaan
kemanusiaan yang egaliter sebagai atlet yang utuh, insan olahraga yang
berjiwa-badan, makhluk Tuhan yang pantas dihargai selayaknya.
Apakah masih ada dari
antara kita yang memandang sebelah mata orang-orang seprti Widiasih? Semoga
saja tidak.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 9/9/2016.
Comments
Post a Comment