Menanti “Anggur Beralkohol” Profesor Wenger
Wenger dan para pemain Arsenal tampak lesu usai gagal
menjuarai Liga Champions 2005/2006/Dailymail.co.uk
Pencinta Arsenal dan Barcelona tentu tak bisa melupakan
Paris, 10 tahun silam. Bertempat di Stade de France, dua klub tersebut
bertarung merebut supremasi klub terbaik Eropa. Mereka bertarung untuk
mengangkat trofi Liga Champions dalam format baru yang ke-14 atau yang ke-51
secara keseluruhan.
Dramatis. Demikian kesan utama bila kita memutar kembali
roda waktu atau melihat kembali rekaman pertandingan pada 17 Mei 2006 itu. Saat
itu Arsenal hanya butuh stabilitas selama 14 menit untuk mempertahankan keunggulan,
setelah centre-back Sol Campbell
mengoyak jala Victor Valdes di menit ke-37.
Namun 14 menit masih terlalu panjang untuk mengawetkan
kemenangan. Dan 840 detik masih cukup bagi Blaugrana untuk mencetak dua gol.
Dan benar, sisa waktu kemudian menjadi mimpi buruk bagi Arsenal setelah Samuel
Eto’o balik menjebol gawang yang ditinggalkan Jens Lehman sejak menit ke-18 di
menit 76 dan pemain pengganti Juliano Belletti empat menit berselang.
Tak hanya Lehman yang kecewa, menyesali kesalahannya
melanggar keras Eto’o yang berbuah kartu merah dini. Semua pemain Arsenal pun
butuh penghiburan. Para fans dan penonton moderat pun merasakan hal yang sama
melihat bagaimana Arsenal bermain. Meski kehilangan Lehmann lebih awal, Arsenal
tetap tampil padu, taktis dan menghibur. Mengingat nasib tim London Utara itu,
kita terbayang Chelsea pada 2012 saat menghadapi Bayern Muenchen.
Gelandang Barcelona, Andres Iniesta masih mengingat jelas
suasana timnya saat itu. Dalam biografi terbaru berjudul Being Iniesta, pemain yang kini berusia 32 tahun, masih mengingat
dengan jelas ketegangan di tubuh timnya termasuk sang manajer Frank Rijkaard.
Duduk
di bangku cadangan selama babak pertama, Iniesta menulis, seperti dikutip dari Dailymail.co.uk, “What (Barca manager) Frank Rijkaard could not imagine was that his team
would struggle in the first half, with Sol Campbell’s header leaving his
original plan in pieces. He saw that Barcelona were unable to dominate the
game, not even against 10 men. They did not have control, they did not have the
ball. Only Victor Valdes, agile and strong, kept them in it.”
Seperti yang lain, sang manajer, Arsene Wenger pun merasakan sakit yang sama. Sejak berlabuh di Emirates Stadium pada 1996, itulah momen terbaik Wenger untuk mencapai puncak Liga Champions. Sebelum itu, Sang Professor hanya mampu menuntun timnya hingga babak perempatfinal (musim 2000/2001 dan 2003/2004).
Seperti yang lain, sang manajer, Arsene Wenger pun merasakan sakit yang sama. Sejak berlabuh di Emirates Stadium pada 1996, itulah momen terbaik Wenger untuk mencapai puncak Liga Champions. Sebelum itu, Sang Professor hanya mampu menuntun timnya hingga babak perempatfinal (musim 2000/2001 dan 2003/2004).
Pria Prancis yang kini berusia 66 tahun memang pantas
menyesali kekalahan itu bila melihat perjalanan timnya selama satu dekade
kemudian. Pencapaian di Paris itu adalah yang terbaik dan belum juga terulang. “Meriam
London” nyaris menginjak final pada musim 2008/2009.
Selebihnya,dalam enam
musim terakhir , skuad “Gudang Peluru” itu terperangkap di babak 16 besar.
Pertanyaan kini mengapa Arsenal terus menerus menuai kecewa?
Sebelum partai final itu, Arsenal bersaing menyamai rekor Barcelona yang telah
mengklaim satu gelar prestisius itu. Secara materi dan tradisi, keduanya
memiliki nama yang sama-sama dikenal di Eropa. Namun, setelah itu jalan hidup
mereka berbeda. Arsenal masih terus bermimpi merajai Eropa, sementara klub
Catalan itu sudah lima kali mengklaim gelar.
Bila Barcelona memiliki generasi emas, demikian pula
Arsenal. Azulgrana punya Xavi, Iniesta dan Lionel Messi yang sangat digdaya di
lini tengah, di samping pemain-pemain bintang lainnya. Sementara Arsenal pernah
memiliki generasi hebat yang tak kalah mumpuni mengawal sektor kedua dalam diri
Patrick Vieira, Emmanuel Petit dan Gilberto.
Keberadaan ketiga pemain itu benar-benar menakutkan. Bermodal
ketiga jagoan itu Wenger cukup percaya diri tampil di Liga Champions musim
2003/2004. Saat itu, Arsenal menjadi salah satu favorit juara. Namun apa yang
terjadi kemudian berbeda. Mereka tersisih secara menyakitkan di babak
perempatfinal. Kalah dari Chelsea yang diarsiteki Claudio Ranieri. Menurut sumber
yang sama, Wenger terlihat hampir menangis di konferensi pers setelah
pertandingan itu.
Rob Draper, kolumnis Dailymail
mensinyalir Wenger cukup terobsesi dengan gaya bermain Barcelona di bawah
Pep Guardiola. Ia ingin menanamkan filosofi penguasaan bola kepada anak
asuhnya. Namun, Wenger gagal mengadopsi gaya raksasa Spanyol itu secara
sempurna.
Penguasaan bola yang dikehendaki Wenger tak didukung dengan
intensitas dan permainan kolektif. Wenger hanya meminta para pemainnya untuk
mendominasi pertandingan, berjuang mendapatkan presentase penguasaan bola yang
lebih. Namun, saat bola sudah dipegang, pekerjaan selanjutnya menjadi milik
segelintir orang.
Guardiola mengaku bahwa menekan melibatkan seluruh pemain,
tak terkecuali kiper. Sementara yang terlihat di kubu Arsenal, tekanan yang
diberikan tidak bersifat kolaboratif dan intensif. Tak pelak Draper menilai
Arsenal adalah Barcelona “tanggung”, ibaratnya “anggur non-alkohol”, terlihat
menyengat namun tak memiliki toksin (racun).
Theo Walcott merayakan gol ke gawang Chelsea/Dailymail.co.uk
Penampilan di atas tampaknya tidak berlebihan. Melihat
semangat baru yang kini ditunjukkan Alexis Sanchez dan kolega, Wenger masih
bisa menaruh harapan untuk mengakhiri sejarah buruk selama ini.
Kegemilangan membungkam Chelsea tiga gol tanpa balas, Sabtu
(24/9) lalu memberikan angin segar bagi reformasi permainan Arsenal. Kolektivitas
dalam menyerang dan bertahan terlihat jelas,
terutama sepanjang 45 menit babak
pertama.
Theo Walcott tampil begitu agresif dan Sanchez sangat liat dan
berbahaya, keduanya seperti menemukan kembali taji yang hilang. Tak ketinggalan
pemain muda Alex Iwobi yang menunjukkan tanda-tanda baik untuk masa depan tim. Sebiji
gol yang masih-masing mereka sumbangkan tak hanya membungkam The Blues dan
pelatih barunya Antonio Conte, juga membangkitkan asa baru.
Namun Chelsea adalah batu kecil yang baru dilewati. Wenger
dan Arsenal hari ini masih harus diuji lagi oleh tim-tim kuat. Demikianpun kemenangan
terkini dini hari tadi atas FC Basel di penyisihan grup Liga Champions adalah
noktah kecil di lembaran besar sejarah tim yang masih harus diukir. Andai saja
mereka lolos fase grup, tim-tim besar akan siap menghadang. Di sana akan kita
lihat seperti apa Arsenal mutakhir setelah dua dekade diracik Sang Professor.
2015-16: 16 besar
2014-15: 16 besar
2013-14: 16 besar
2012-13: 16 besar
2011-12: 16 besar
2010-11: 16 besar
2009-10: perempatfinal
2008-09: semifinal
2007-08: perempatfinal
2006-07: 16 besar
2005-06: Final
2004-05: 16 besar
2003-04: perempatfinal
2002-03: fase grup
2001-02: fase grup
2000-01: perempatfinal
1999-00: fase grup
1998-99: fase grup
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 29 September 2016.
Comments
Post a Comment