Tekad Sejarah Messi Akankah Semanis “King” James?
Messi
merayakan golnya ke gawang Venezuela di babak perempat final Copa
America/skysports.com
LeBron Raymone James dan Lionel Messi. Dua nama dengan dua latar belakang sangat berbeda. Yang pertama dengan tubuh tinggi tegap tak kurang dari 2,03 meter, menjadi salah satu pebasket legendaris di kompetisi bola basket paling bergengsi sejagad, NBA. Sosok kedua, sedikit lebih dari separuh yang pertama, tersohor di jagad sepak bola dunia.
Bila LeBron baru saja berpesta bersama segenap penduduk Cleveland, Messi masih perlu dua langkah lagi untuk menggelar pesta bersama masyarakat Argentina. Dengan segala kebesarannya, “King” James, begitulah dunia basket menggelari LeBron, baru saja menorehkan noktah sejarah dalam karir profesional sekaligus jejak indah di Cleveland Cavaliers.
Ya bersama klub tersebut, “King” James baru saja merengkuh trofi NBA, Senin (20/6/2016) pagi WIB, setelah memenangkan persaingan sengit atas sang juara bertahan Golden State Warriors.
Sempat tertinggal 1-3 dan oleh banyak pihak mustahil mengejar apalagi balik memimpin, “King” James dan kolega berhasil membalikkan anggapan tersebut. Merebut tiga game secara beruntun hingga mengunci kemenangan di laga ketujuh, sekaligus laga pamungkas.
James tampil ciamik di laga final dengan sumbangan triple-double sehingga diganjar predikat Most Valuable Player (MVP) sebagai pemain terbaik. Namun, pria 31 tahun itu mendapat jauh lebih dari itu yakni tempat istimewa di jantung sejarah Cavaliers dan hati penduduk Cleveland. Pertama kali Cavaliers merengkuh gelar NBA. Penantian kota Cleveland untuk gelar juara olahraga profesional selama lebih dari setengah abad, tepatnya 52 tahun pun terpenuhi.
Usai laga dengan berurai air mata, kepada wartawan ESPN, Doris Burke, “Sang Raja” James berujar, “Saya memasang target dua tahun lalu ketika saya kembali, untuk membawa gelar juara ke kota ini. Saya memberi semua yang saya miliki. Kucurahkan hatiku, darahku, keringatku, air mataku ke dalam pertandingan ini."
“King James” telah memenuhi nazar sejarahnya. Kini giliran Messi. Apakah tekad yang telah diperamnya sejak pertama kali berseragam tim nasional senior Argentina pada 2005, dan juga penantian segenap warganya selama 23 tahun, bakal berbuah gelar?
Dengan segala kehebatannya, hampir tak ada gelar dan prestasi yang lewat dari genggaman pemain ajaib berjuluk La Pulga atau Si Kutu ini. Kecuali satu: gelar turnamen mayor itu. Jika “King” James hanya butuh dua tahun, setelah tahun lalu tersandung di laga final di tangan Warriors, untuk mewujudkan mimpinya, tidak dengan Messi. Satu gelar bersama La Albiceleste untuk melengkapi semua prestasi hebatnya di level klub, masih terus dikejar hingga kini. Dua peluang terakhir yakni di Piala Dunia 2014 dan Copa America 2015 hanya berakhir sebagai runner-up.
Kini, momentum mengakhiri puasa gelar tersebut berada di depan mata. Copa America Centenario menjadi kesempatan yang pas untuk mewujudkan rindu yang dipelihara berpuluh tahun itu.
Dengan modal para pemain terbaik dari berbagai kompetisi elit di Eropa, Messi cs nyaris tampil tanpa cela sejak awal hingga menggapai semi final. Tinggal menghadapi tuan rumah Amerika Serikat di NRG Stadium, Houston, Rabu (22/6) pagi WIB untuk mendekatkan mereka dengan gelar juara.
Messi tak peduli dengan torehan tiga gol dari lima gol kemenangan ke gawang Panama di fase grup hanya dalam 19 menit-setelah dihantui cedera punggung sebelum turnamen di laga uji coba kontra Honduras- dan sebiji gol di babak perempat final untuk memulangkan Venezuele, untuk menyejajarkannya dengan Gabriel Omar Batistuta sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah timnas Argentina dengan 54 gol. Yang ingin ia rasakan adalah proses, jalan mencapai semi final dan tentu saja menggapai tangga juara.
“Penting untuk apa artinya menjadi pencetak gol terbanyak, karena itu adalah [rekor] Batigol. Tetapi apa yang membuat saya lebih bahagia adalah tim, hasil, karena kami berhasil sampai ke semi final,”ungkap Messi usai pertandingan kontra Venezuela yang berakhir dengan skor 4-1, dikutip dari espnfc.com.
LeBron James
Tak mudah
Di atas kertas Messi dan timnya berpeluang memenangkan pertandingan. Bahkan kans untuk membawa pulang gelar juara. Di pertandingan semi final lainnya juara bertahan Chile dan Kolombia akan saling bertemu. Bila bertemu Chile, berdasarkan rekor pertemuan, Argentina berpotensi mengulangi hasil manis di fase penyisihan grup yang berakhir dengan kemenangan 3-1.
Tetapi kali ini armada Jurgen Klinsmann akan tampil habis-habisan demi memuaskan para pendukungnya yang haus akan prestasi. Euforia warga Amerika yang tengah berada di musim semi kecintaan pada sepak bola tak ingin digugurkan dengan kegagalan.
Ditambah lagi, ambisi Klinsmann untuk menghapus predikat sebagai underdog di jagad sepak bola dunia akan melipatkan motivasi mereka untuk mengakhiri rekor 21 tahun tak pernah menang atas Argentina.
"Ini benar-benar saat sekarang yang istimewa. Ini adalah momen yang – sudah saya katakan kemarin kepada pemain di sini sebelum kita mulai pelatihan - ini adalah kesempatan sekali dalam seumur hidup untuk Anda. Anda mencapai semifinal, Anda membuat diri Anda bangga, tapi sekarang pergilah untuk lebih."
Kata-kata pemenang Piala Dunia 1990 bersama timnas Argentina yang dikutip dari Goal internasional, itu mengisyaratkan tekad besarnya bersama The Yanks. Namun, menghadapi tim bertabur bintang tak cukup bermodal semangat.
Setidaknya beberapa hal menjadi catatan penting bagi Klinsmann. Pertama, kehilangan tiga pilar yakni Jermaine Jones, Bobby Wood dan Alejandro Bedoya adalah kehilangan besar. Banding yang diajukan untuk Jones dan Wood sudah ditolak sehingga Klinsmann perlu mencari pengganti sepadan menutup tempat yang mereka tinggalkan.
Formasi 4-4-2 dengan menempatkan Fabian Johnson dan Graham Zusi di sisi sayap dan Matt Besler dan DeAndre Yedlin di posisi full-back, sekiranya cukup ideal bagi skuat Paman Sam untuk membendung laju serangan Argentina yang dimotori Messi, dan Gonzalo Higuain.
Selain mengunci sisi pertahanan, mereka juga perlu menutup ruang gerak kedua bomber maut itu di area penalti. Tak hanya mematikan pergerakan, juga menutup ruang mereka untuk melepaskan tembakan. Performa saat menghadapi Ekuador di babak delapan besar adalah contoh baik.
Ketika bola tidak mencapai area penalti, duo batu karang John Brooks dan Geoff Cameron bisa memanfaatkan peluang untuk memberikan bola kepada Brad Guzan. Bila tak mampu mengendalikan permainan secara langsung, kemampuan tackling Kyle Beckerman bisa dimanfaatkan untuk menahan aliran bola dari lini tengah.
Selanjutnya Michael Bradley bisa memanfaatkan lebar lapangan untuk menusuk pertahanan Argentina dari sisi sayap. Dengan kecepatan yang dibutuhkan untuk mengimbangi lini tengah Argentina, kemampuan Bradley dan Clint Dempsey bisa digunakan untuk memberikan ruang lebar kepada DeAndre Roselle Yedlin, Johnson, Zusi atau Gyasi Zardes untuk menyerang dari sisi sayap.
Dengan akselerasi dan kecepatannya Yedlin dan Zardes bisa bergerak dari lini pertahanan, menusuk dari sayap untuk menciptakan peluang di kotak penalti lawan. Bila The Yanks mampu memanfaatkan peluang untuk menekan sejak menit awal maka akan membuka peluang bagi mereka mendatangkan bahaya bagi Argentina. Bila lini serang buntu Darlington Nagbe dan Kristen Pulisic bisa menjadi alternatif.
Catatan, selain kehati-hatian, memanfaatkan momentum adalah kata kunci bila tak ingin diambil Argentina dengan segala kelebihan individualnya untuk menciptakan mimpi buruk bagi tuan rumah.
“Sekarang menjadi lebih lapar, menjadi lebih agresif, lebih menekan dari yang dilakukan sebelumnya. Jadi tambahkan 10 persen lain dari apa yang sudah Anda lakukan. Jika setiap orang melakukannya, maka kita akan mendapatkan sebuah permainan dengan Argentina,”simpul Klinsmann.
Beban sejarah
Walau diunggulkan, Argentina tidak pernah boleh jemawa. Apalagi merasa di atas angin. Sudah banyak bukti, bahwa kesombongan berbuah petaka. Sejarah masa lalu sudah mereka rasakan. Termasuk saat menghadapi Jerman dan berlaga di negeri Paman Sam.
Salah satu sosok yang akan dihadapi Argentina kali ini pernah menorehkan luka sejarah. Masih ingat momen Piala Dunia 1990? Klinsmann adalah bagian dari kedigdayaan Jerman menggulung Argentina yang diperkuat sang maestro bola Diego Armando Maradona di final di Italia. Kemenangan tersebut sekaligus merontokkan kedigayaan Argentina sebagai juara dunia edisi sebelumnya di Meksiko.
Empat tahun kemudian, Argentina tersungkur di babak 16 besar Piala Dunia Amerika Serikat. Diperkuat Maradona, Tim Tango disingkirkan tim non unggulan Rumania.
Dua tahun kemudian, pada ajang Olimpiade nasib buruk kembali menerpa Argentina. Kehadiran para pemain bintang seperti Ariel Ortega dan Hernan Crespo, Argentina tak berkutik saat bertemu Nigeria.
Dengan pengalaman sejarah itu, sedikit banyak membuat Argentina waspada. Bermaterikan pemain bintang perlu dipadukan dengan soliditas, dan semangat militan untuk meredam ambisi tuan rumah.
Pernyataan pelatih Argentina, Gerardo Tata Martino, yang telah mendampingi Argentina dalam tiga tahun terakhir termasuk di dua final turnamen mayor yakni final Piala Dunia 2014 dan Copa America 2015 , menjadi awasan sekaligus tantangan.
"Sebagian besar dari mereka [yang tampil di dua turnamen sebelumnya kembali tampil kali ini], mereka bermain sangat baik. Namun sayang, mereka tidak melakukannya dengan baik di dua turnamen sebelumnya."
Tak terkecuali bagi Messi untuk menjadi lebih dari apa yang telah ditunjukkan sejauh ini. Menyitir pernyataan “King” James tentang dedikasinya untuk Cleveland, bangsa Argentina tentu menanti saat Messi mengatakan, “Ah, Argentina-ini untukmu!”
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 21 Juni 2016.
Comments
Post a Comment