Pencopotan Arcandra Tahar dan Rupa Buruk Administrasi Kita
Arcandra Tahar/Kompas/Wisnu
Widiantoro
Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap terhadap
polemik kewarganegaraan ganda menteri ESDM Arcandra Tahar. Pro kontra yang
mengemuka akhir-akhir ini berakhir dengan keputusan memberhentikan menteri
berusia 45 tahun itu.
Berbeda saat mengumumkan reshuffle jilid II pada 27 Juli
lalu, kali ini, Jokowi mempercayakan pemakluman keputusan pemberhentian itu
kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg ) Pratikno.
"Presiden memutuskan untuk memberhentikan dengan hormat
saudara Arcandra Tahar dari posisi menteri ESDM," ujar Mensesneg Pratikno
dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Senin (15/8/2016) malam.
Saat pembacaan keputusan itu Pratikno hanya didampingi juru
bicara Kepresidenan, Johan Budi. Tanpa perlu mempersoalkan teknis penyampaian,
Pratikno menyampaikan bahwa keputusan diambil setelah orang nomor satu di
negeri ini mempelajari segala dinamika yang ada termasuk masukan dari berbagai
sumber.
Tentu, dinamika yang mengemuka lebih terkait status pria
kelahiran Padang, 10 Oktober itu. Walau ada yang berpikir positif niat baik
memanggil pulang dan menggunakan tenaga anak negeri untuk kepentingan Tanah
Air, namun di sisi lain Arcandra dinilai telah melanggar konstitusi yakni UU No
6/2011 tentang Keimigrasian, UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan, serta UU No
39/2008 tentang Kementerian Negara.
Mengutip Kompas.com,
15 Agustus 2016, “Tercatat, sejak Maret 2012, Arcandra melakukan empat
kunjungan ke Indonesia dengan menggunakan paspor AS. Namun, saat Arcandra
dilantik sebagai Menteri ESDM, dia menggunakan paspor RI yang secara hukum
sudah tak sah dipakainya.”
Jika demikian apa yang bisa kita katakan tentang Arcandra?
Apakah ia tak paham dengan regulasi yang ada atau sengaja abai? Berstatus pejabat
negara, apalagi menduduki posisi strategis, Arcandra entah sadar atau tidak,
sebetulnya telah membohongi publik dengan status kewarganegaraannya. Pada titik
ini interpretasi publik meluas, merasa dicederai oleh ketidakjujuran pejabat. Juga
memunculkan aneka dugaan terkait lolosnya Arcandra ke dalam kabinet kerja
Jokowi-JK.
Namun demikian, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan
Arcandra. Ia tidak datang dengan sendirinya dan menduduki kursi panas nan empuk
tersebut. Ia dipanggil pulang dan dipercayakan oleh Jokowi-JK untuk menjadi
pembantu mereka.
Persoalan kini, apakah Arcandra dipanggil dengan niat yang
tulus dan tujuan yang jelas untuk menahkodai kementerian yang membawahi
sektor-sektor strategis tersebut? Bila tulus dan jelas tujuan tersebut, mengapa
negara bisa kecolongan?
Di sini tergambar jelas seperti apa kerja administrasi
kenegaraan kita. Jusuf Kalla sendiri mengakui ada kekeliruan admistrasi, yang
sebetulnya penegasan atas kecerobohan dan ketergopohan kerja keadministrasian kita.
"Bahwa dibutuhkan penyesuaian administrasi iya. Mungkin
kemarin terlalu cepat sehingga penyelesaian administrasinya perlu diperbaiki,"
demikian pengakuan Kalla di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng,
Tangerang, Senin (15/8/2016).
Bukan kali ini saja Jokowi terkecoh oleh kerja para
pembantunya. Bahkan Jokowi pernah “dikibuli” oleh hal elementer saat membacakan
pidato peringatan Hari Pancasila, I Juni tahun lalu. Apakah ini pertanda Jokowi
tak melengkapi diri dengan para pembantu yang kompeten? Entahlah.
Arcandra mungkin belum puas menikmati "bulan madu" sebagai
pejabat negara. Rentang 20 hari kerja terlalu singkat bagi kita untuk melihat
seperti apa sepak terjangnya bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Namun durasi
tersebut sudah lebih dari cukup menggambarkan seperti apa rupa urusan
administrasi di negeri ini yang sarat tumpang tindih, kesemrawautan dan
ketidakjelasan hampir di semua lini. Di tingkat elit saja bisa seperti itu,
bagaimana dengan tingkat-tingkat di bawahnya.
Walau menahan malu atas kecolongan dan kecerobohan ini, Jokowi
perlu berintrospeksi. Bertanya diri agar lebih jeli dan matang dalam mengambil
keputusan. Sekaligus mempertanyakan dan memperbaiki kerja para bawahannya agar
tak menjebak apalagi menggali lubang untuk dirinya. Juga momentum yang pas
untuk membenahi urusan administrasi di negeri ini.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 15 Agustus 2016.
Comments
Post a Comment