Neymar, Marta dan Maracana
Ekpresi Neymar, pelatih timnas U-23 dan para pemain Brasil di final sepak bola Olimpiade Rio/gambar dari Dailymail.co.uk.
Sulit dibayangkan seperti apa reaksi publik Brasil bila
hasil akhir pertandingan final cabang sepak bola Olimpide 2016, Minggu (21/8/)
pagi WIB berbeda. Demikianpun tak terbayangkan bagaimana reaksi Neymar, pemain
senior sekaligus bintang dunia yang rela “turun kelas” mendampingi para pemain
U-23, andaisaja timnya gagal mendulang medali emas.
Umpatan masyarakat, tentu saja. Resesi ekonomi dan
instabilitas politik akut telah melahirkan amarah dan apatisme publik pada
perhelatan Olimpiade, bakal memancing reaksi lebih dan meluas. Di Brasil,
seperti beberapa negara Amerika Latin lainnya, sepak bola adalah segalanya. Tidak
hanya sekadar cabang populer dan bergengsi, bahkan telah menjadi seperti agama yang
disembah, dipuja-puji dan didewakan. Bagaimana jadinya bila sepak bola Brasil
gagal menghadirkan kebahagiaan dan sukacita di tengah himpitan hidup yang
menyiksa?
Dalam keadaan seperti itu, rasa sesal para pemain akan
bertambah-tambah. Terlebih Neymar Jr. Sengaja tak diikutsertakan di Copa
America pada Juni lalu agar lebih siap untuk mendulang prestasi di negeri
sendiri. Emas olimpiade masih menjadi harapan yang diperam sepak bola Brasil,
walau di laci prestasi sudah ada lima gelar Piala Dunia, empat trofi Piala
Konfederasi dan delapan mahkota Copa America.
Meski sukar menjadi juara umum di pesta bangsa-bangsa empat
tahunan-dan hal itu terbukti saat ini-setidaknya dengan meraih medali emas
cabang paling bergengsi ini, akan menjadi kado manis bagi negara dan
masyarakat. Hati Neymar pasti begitu remuk, bila harapan besar itu gagal
terwujud.
Namun, sejarah akhirnya berkata lain. Tampil di hadapan
publik sendiri, Neymar sukses memimpin rekan-rekannya merebut emas di stadion
kebanggaan, sekaligus sangat keramat, Maracana.
Tangis Neymar pecah setelah bola hasil eksekusi dari titik
12 pas sukses bersarang di gawang Timo Horn. Bintang Barcelona itu benar-benar
digelayut perasaan yang mengharu-biru. Bahagia dan haru jadi satu.
Neymar tahu, emas itu tak diraih dengan mudah. Jerman bukan tim
gampangan. Gol cantik Neymar hasil tendangan bebas di menit ke-26 bukanlah
penentu. Kapten Tim Panser, Max Meyer, mencetak gol balasan di menit 59 yang
memaksa laga ditentukan melalui adu tos-tosan. Di situ, sepakan Neymar
benar-benar menjadi penentu. Eksekusi Nil Petersen berhasil digagalkan kiper
Brasil, Weverton dan dibalas dengan sepakan keras Neymar ke pojok kanan atas
yang berbuah manis. Dialah eksekutor terakhir yang memastikan kemenangan
Brasil.
Kemenangan ini pun menjadi klimaks dari perjalanan tak
menentu Brasil sejak fase penyisihan. Dua pertandingan pertama, masing-masing
menghadapi Irak dan Afrika Selatan berakhir tanpa gol. Pesimisme publik menguat
dan Neymar menjadi sasaran olok-olokan masyarakat.
Baru setelah melewatkan 180 menit pertandingan tanpa gol,
Brasil akhirnya melewatkan saat-saat kritis itu. Empat gol tanpa balas atas
Denmark memastikan langkah Brasil ke perempatfinal. Kemenangan itu menjadi
titik awal kebangkitan. Kemenangan 2-0 atas Kolombia berlanjut, Honduras dilumat
6-0 di semi final.
Menariknya, melihat lawan Brasil di final kali ini. Jerman. Ya,
tim yang telah menggoreskan luka di hati masyarkat Jerman. Walau di tempat
berbeda, dua tahun lalu, di Mineirao, Belo Horizonte, Brasil menjadi
bulan-bulanan Der Panzer. Di semi final Piala Dunia 2014, tujuh gol bersarang
di gawang Brasil. Neymar yang absen karena cedera bergabung dengan puluhan ribu
masyarakat Brasil menyaksikan kekalahan tragis 1-7 itu.
Kemenangan ini setidaknya sedikit mengobati sakit hati
Brasil atas Jerman, meski di level berbeda. Selain itu, sedikit mengurangi
keangkeran Maracana dan ketidakberpihakan stadion terbesar di dunia itu kepada
Brasil, sejak Piala Dunia 1950. Masih lekat dalam ingatan publik tragedi
Maracana atau Maracanazo, saat Brasil
dipecundangi Uruguay di final Piala Dunia 1950. Sebanyak 174.000 fans Brasil harus
menelan pil pahit.
Rasa pahit itu masih berlanjut hingga 17 Agustus lalu. Dewi
fortuna Maracana belum jua berpihak pada anak negeri, kala melihat tim sepak
bola putri Brasil gagal membuka pesta kemenangan bagi rakyat Brasil. Selalu menang
dan menguasai bola sejak awal, dan dimotori peraih lima kali pemain terbaik
dunia, Marta Vieira da Silva, “As Canarinhas” atau Kenari Betina kalah adu
penalti dari Swedia di semi final.
Kekalahan itu dramatis. Tak hanya soal proses yakni ketika tendangan
Andressa diblok Hedvig Lindahl dan mengubah segalanya. Juga, lantaran tim yang
sama sebelumnya telah dipermalukan 5-1 di penyisihan grup. Marta dan 70.500
penonton Brasil kelu. Ruang besar bernama asli Estadio Jornalista Mario Filho seperti tak berpenghuni. Mayoritas bungkam di hadapan kenyataan yang tak bisa
dipercaya begitu saja.
Marta tak kuasa menahan tangis. Harapan untuk
mempersembahkan emas pertama Brasil, setelah di Olimpiade Athena 2004 dan
Beijing 2008 hanya beroleh perak, tak tercapai. Ia gagal membahagiakan rakyat
Brasil.
Marta terlihat sedih dan kecewa setalah dikalahkan Swedia di
semi final Olimpiade Rio/gambar dari www.smh.com.au.
Berbeda dengan Marta, air mata yang keluar dari pelupuk mata
Neymar kali ini adalah ekspresi bahagia. Bahagian karena bisa menjawab
kepercayaan masyarakat Brasil. Bahagian karena bisa membahagiakan rakyat
Brasil.
Apakah kemenangan tersebut menjadi sinyal kebangkitan sepak
bola Brasil? Empat tahun lagi, di Tokyo, mampukah Brasil mempertahankan medali
emas tersebut? Mungkin empat tahun masih lebih panjang dari Piala Dunia yang
lebih akbar, yang akan dihelat kurang dari dua tahun. Bisa juga dua tahun itu
masih lebih panjang, dari pernyataan Rogerio Micale, pelatih yang membantu
Neymar Cs meraih emas di Maracana ini.
“Saya yakin ini akan memberikan alasan untuk rasa bangga dan
kepercayaan bagi rakyat Brasil dan tim nasional. Kami tahu tantangan besar
dipikul di pundang tim Olimpiade. Di atas segalanya, sepak bola adalah olahraga
nomor satu di Brasil. Tetapi fase ini [kegagalan di Piala Dunia] telah berlalu.
Kami bisa melihat masa depan sepak bola Brasil ke depan dengan lebih percaya
diri, lebih bangga, dan sekali dan untuk semua, sepak bola Brasil tidak mati,”tandas
Micale, sosok lembut dan bersahaja, dikutip dari www.si.com.
Ya, sepak bola Brasil tidak mati.
Comments
Post a Comment