Messi, Dempsey dan Jimat Itu
Lionel
Messi/GUSTAVO ORTIZ DIARIO AS (tigernewsbd.com)
Barba non facit philosophum. Di-Inggris-kan menjadi a beard does not constitue a philosopher. Janggut tak membuat seseorang menjadi filsuf atau berjenggot tak berarti bijak, demikian kurang lebih bila dialihkan ke bahasa Indonesia.
Ungkapan yang berasal dari penulis Latih, Aulus Gellius itu bisa bermakna jamak. Paling kurang pangkal pemahamannya adalah kulit luar, cover atau penampilan tak otomatis menggambarkan isi. Yang berjanggut tak selalu terbaca sebagai seorang filsuf. Atau kaum bijak bestari tak selamanya ditandai dengan janggut. Bisa saja yang tak berjanggut adalah juga kaum bijak atau filsuf itu.
Seorang Lionel Messi atau Clint Dempsey misalnya. Mereka berjanggut, tetapi bukan pemikir. Mereka adalah pesepakbola top yang bergulat di lapangan hijau, bukan berkutat dengan alam pikiran. Bagi Messi dan Dempsey janggut bukanlah penanda jati diri. Rambut lebat yang menutup sebagian wajah mereka adalah bagian dari penampilan.
Kini, dari pilihan memelihara janggut atau brewok itu, telah ‘naik tingkat’ menjadi keyakinan. Tengok saja pernyataan terbuka Messi tentang brewoknya.
"If I lose the beard the others would kill me, we believe this is a kabbalah so we will be able to break our bad run and win the trophy. There's no way I'm shaving it off now, my team mates wouldn't let me."
Pernyataan yang dikutip dari AS itu menggambarkan bahwa brewok tersebut adalah bagian dari ‘jimat’ untuk memutus rantai kegagalan yang selama ini membelit timnya. Walau sukses menjadi finalis di dua turnamen mayor dalam beberapa tahun terakhir, Piala Dunia 2014 dan Copa America 2015, berkomposisi para pemain bintang yang malang melintang di liga-liga elit Eropa, bukanlah target yang pas.
Apalagi Messi. Menggondol hampir semua penghargaan individu, dan mengukir banyak gelar di level klub bersama raksasa Catalan, Barcelona, angkat trofi bergengsi bersama La Albiceleste adalah mimpi yang belum menjadi kenyataan. Walau dipuja-puja di seantero jagad dengan lima gelar pemain terbaik dunia, kontribusi pemain berjuluk La Pulga atau Si Kutu itu bagi tim nasional belum mewujud trofi bergengsi. Messi seakan tak putus dirundung malang saat berseragam putih-biru langit itu. Argentina dengan segala kebesaran pemainnya sudah berpuasa gelar selama 23 tahun.
Karena itu, selain pertolongan kapabilitas individu, kali ini Messi dan timnya mendamba bantuan dari brewok lebat di wajah pemain yang sebelumnya berpenampilan klimis itu. Hasilnya? ‘Jimat’ itu mulai bekerja saat Messi mencetak tiga dari lima gol ke gawang Panama di fase grup D, Sabtu, 11 Juni lalu.
Tampil di babak kedua, masih dalam bayang-bayang cedera bahu yang memaksanya absen di laga pertama menghadapi Chile, pemain 28 tahun itu mengukir hattrick hanya dalam tempo 26 menit.
Pelatih Panama, Hernan Dario Gomez melihat dari pinggir lapangan bagaimana Messi “mengamuk” dengan jimatnya itu.
Dikutip dari foxsports.com, Gomez berujar, “Sebelum Messi masuk, laga berjalan biasa, tak banyak berbeda [dari babak pertama]. Messi adalah monster. Jika Anda membuat kesalahan dan Messi berada di dekat Anda, maka bersiaplah untuk dihukum. Bermain dengan sepuluh pemain, kemudian Messi masuk, tentu saja menakutkan!”
Di laga pamungkas fase grup menghadapi Bolivia, Messi tak mencetak gol. Walau demikian, muncul dari bangku cadangan di babak kedua, pemain kelahiran Rosario itu tetap tampil mencengangkan dalam laga yang berakhir dengan kemenangan Argentina tiga gol tanpa balas itu.
Dempsey
“Jimat” yang sama tampaknya sedang dipakai pula oleh Clint Dempsey. Berbeda dengan kepunyaan Messi yang tak teratur, pemain bernama lengkap Clinton Drew "Clint" Dempsey itu pun benar-benar bertaji dengan brewok yang ditata rapi. Sempat melempem di laga pembuka menghadapi Kolombia yang berakhir kalah 0-2, jimat Dempsey benar-benar bekerja di laga selanjutnya.
Saat mencukur Kosta Rika empat gol tak berbalas pada 8 Juni, pemain 33 tahun itu mencetak gol pembuka melalui titik penalti. Pemain yang pernah malang melintang di Liga Primer Inggris bersama Fulham dan Tottenham Hotspur itu pun turut menyumbang dua assist masing-masing untuk gol kedua dari kaki Jermaine Jones dan gol ketiga yang dicetak Bobby Wood.
Di laga krusial menghadapi Paraguay pada 12 Juni, Dempsey benar-benar menjadi buah bibir. Betapa tidak. Pemain yang kini berseragam klub MLS, Seattle Sounders FC mencetak gol semata wayang untuk membuka pintu lebar-lebar bagi The Yanks ke babak perempat final dengan status juara grup.
Tak sampai di situ, pemain yang telah berseragam “The Stars & Stripes” sejak 2004 itu benar-benar menunjukkan peran pentingnya saat memainkan partai knock out menghadapi Ekuador di CenturyLink Field, Jumat (17/6).
Clint Dempsey.
Tampil di depan lautan pendukungnya, Dempsey menjadi motor sekaligus pahlawan tim. Bahkan ia menjadi panutan sekaligus rekan kerja yang baik bagi dua striker muda Bobby Wood, 23 tahun dan pemain LA Galaxy berusia 24 tahun, Gyasi Zardes.
Armada Jurgen Klinsmann patut berterima kasih kepada Dempsey. Sumbangan satu gol dan satu assist kepada Gyasi Zardes mengantar “Negeri Paman Sam” selangkah lebih dekat ke tangga juara. Kemenangan 2-1 dalam laga ‘keras” dengan dua kartu merah itu cukup bagi AS ke babak semi final.
Sumbangan gol-gol penting Dempsey ini menunjukkan peran pentingnya yang tak bisa diragukan lagi. Ia sempat keluar masuk timnas dalam beberapa tahun terakhir. Setelah tersisih dari dua partai kualifikasi Piala Dunia 2018 pada November lalu, pemain yang tengah bertunangan dengan wanita cantik bernama Ciara, kembali dipanggil pada bulan Maret untuk tajuk yang sama.
Copa America Centenario menjadi momen pembuktian bahwa masa depan Dempsey belum berakhir. Saat ini ia hanya tertinggal lima gol dari Landon Donovan yang menjadi pencetak gol terbanyak timnas AS dengan 57 gol.
Pemain yang sudah tampil di tiga edisi Piala Dunia terakhir ini masih menaruh harapan untuk mengukir gol bersama timnas. Bahkan ia berharap masih bisa tampil di Piala Dunia keempatnya di Rusia dua tahun mendatang.
Dengan tanpa menggali lebih jauh rahasia Dempsey masih “awet” hingga saat ini, “jimat” yang dimilikinya itu bisa menjadi jawaban.
Keampuhan “Jimat” tersebut akan diuji di laga semi final. Batu ujian yang akan diangkat Dempsey dan kolega di empat besar akan jauh lebih sulit karena tim yang berpeluang dihadapai adalah favorit juara, Argentina yang diprediksi akan menggusur Venezuela pada Minggu (19 Juni) pagi WIB.
Selain lebih diunggulkan, Argentina pun memiliki Messi yang juga sedang bergantung pada “jimat” yang sama. Lantas, “jimat” siapa yang akan lebih sangkil dan mangkus? Laga pada Rabu, 22 Juni di Houston, Texas nanti akan membuktikan.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 17 Juni 2016.
Comments
Post a Comment