Apa Arti Kenaikan Tarif KRL Rp1.000?
Informasi kenaikan tarif KRL/gambar dari @CommuterLine.
Kemarin, 18 Agustus 2016, saat tiba di Stasiun Palmerah
untuk menggunakan moda transportasi KRL Commuter Line menuju Stasiun Sudimara, saya
disambut sebuah spanduk yang berisi sosialisasi perubahan tarif yang mulai
berlaku sejak 1 Oktober nanti. Disebutkan bahwa sejak tanggal tersebut tarif
KRL Jabodetabek mengalami penyesuaian,untuk mengatakan kenaikan, sebesar
Rp1.000.
Disebutkan bahwa kenaikan tersebut merupakan bagian dari
penyesuain terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2016 tentang
Tarif Angkutan Orang dengan Kereta Api Pelayanan Kelas Ekonomi untuk
Melaksanakan Kewajiban Pelayanan Publik.
Masih menggunakan pola perhitungan sebelumnya berdasarkan
jarak (bukan lagi banyaknya stasiun), per 1 Oktober nanti, pada 1-25 kilometer
pertama, penumpang harus membayar Rp.3000. Selanjutnya, pada 10 km berikutnya
dan kelipatan, tarif yang dikenakan sebesar Rp.1000. Artinya, kenaikan tersebut
terjadi pada 1-25 kilometer pertama, yang sejak 2012, senilai Rp.2000.
Menurut pengambil kebijakan dan pihak pengelola, kenaikan
tersebut merupakan bagian dari penyesuain terhadap inflasi di satu sisi, serta
itikad untuk memenuhi kebutuhan pengguna akan fasilitas transportasi yang lebih
baik.
"Sejak tahun 2012, tarif KRL tidak ada peningkatan.
Sementara di sisi lain kebutuhan (transportasi) semakin meningkat karena
inflasi," ungkap Direktur Lalu Lintas Direktorat Jenderal Perkeretaapian
Kementerian Perhubungan, Zulfikri, (18/08/2016) dikutip dari Kompas.com.
Niat baik tersebut tentu bisa dipahami melihat perubahan
perkeretaapian, terutama KRL Jabodetabek yang berkembang pesat. Sepengetahuan
saya, bukti perubahan tersebut menyata dalam banyak hal. Terutama fasilitas
baik gedung maupun sarana-prasarana lainnya. Meski belum merata, setidaknya di
sejumlah stasiun kita dihadapkan pada kondisi yang “wah” dengan kelengkapan
akses tangga berjalan, mesin otomatis untuk membeli minuman dan tiket (vending
machine). Selain itu, inovasi yang terus digalakan untuk memanjakan pengguna
dengan aneka varian tiket seperti Tiket Harian Berjaminan Pulang Pergi (THB PP)
diberlakukan saat Lebaran tahun ini.
Tak hanya fisik gedung, kondisi KRL juga diupayakan semakin
nyaman dan bersih. Menurut penuturan salah satu rekan kerja, kondisi
perkeretaapian saat ini jauh lebih baik. Menurutnya, dulu kondisi stasiun
sangat tidak teratur. Para pedagang kaki lima leluasa berjualan di area stasiun
dan berebut tempat dengan para penumpan di dalam kereta. Selain itu, masih
mungkin saat itu para penumpang menguji nyali di atap kereta. Sebuah pemandangan
yang miris dan mencekam.
Saat ini hampir tak terlihat lagi transaksi jual-beli di
dalam area stasiun, apalagi di dalam kereta. Stasiun dan kereta benar-benar
steril dari para pedagang kaki lima. Namun, tentang sterlilisasi ini, masih
belum dirasakan di seluruh stasiun KRL.
Pernah suatu ketika, di tahun 2016, iseng-iseng saya
menjajaki KRL menuju ke stasiun Maja, pemberhentian terakhir dan terjauh yang
dijangkau KRL dari Tanah Abang. Di salah stasiun, maaf saya tidak ingat
persisnya di mana, masih ada pedagang yang masuk ke dalam stasiun untuk
menjajakan jualannya.
Saya terkejut mengapa bisa kebobolan seperti itu. Di sisi
lain, saya pun mafhum dengan aneka keterbatasan yang masih mengemuka. Selain
petugas yang terbatas dan bisa saja tak terkontrol, ditambah lagi pengamanan
lingkungan stasiun yang belum maksimal. Di sejumlah sisi stasiun tak terlihat
pagar pembatas sehingga siapa saja bisa masuk ke lingkungan stasiun. Belum lagi
jalur rel yang nyaris berpelukan dengan jalan raya yang saban hari dan waktu
dilintasi masyarakat.
Itu salah satu keterbatasan yang masih terjadi. Belum lagi
soal penumpukan penumpang yang tak sebanding dengan kapasitas kereta. Sejak 2009, pihak pengelola yakni PT KAI Commuter
Jabodetabek (KCJ) terus menambah armada secara berkala. Pada tahun ini sebanyak 60 unit KRL akan
didatangkan dari Jepang. Jumlah tersebut melengkapi 120 unit yang didatangkan
tahun sebelumnya.
Diharapkan penambahan tersebut bisa melayani penumpang yang
terus bertumbuh setiap waktu. Menurut data PT KCJ tahun lalu, sebanyak 257.527.772
penumpang terlayani. Tahun ini PT KCJ mengestimasi bisa melayani jumlah
penumpang yang naik sebesar 10,9 % menjadi 285.600.960 penumpang.
Data tersebut adalah rekapitulasi dari jumlah penumpang yang
terlayani dengan tanpa memperhitungkan kondisi pelayanan. Apakah penumpang yang
diangkut itu dalam kondisi nyaman, aman dan sampai tepat waktu? Tentu, tidak.
Saban hari, pada pagi dan sore hari, penumpukan penumpang
masih saja terjadi. Bahkan semakin menjadi-jadi. Kondisi menjadi sangat tidak
manusiawi. Hingga hari ini, setiap pagi saat berangkat dari stasiun Sudimara
pukul 07.00 pagi, mengambil rute KRL menuju Tanah Abang, volume penumpang
sangat tinggi. Penumpang yang telah menumpuk sejak dari stasiun sebelumnya,
terus bertambah hingga setidaknya dua stasiun di depannya yakni Stasiun
Jurangmangu dan Pondok Ranji.
Berkejaran dengan jam masuk kerja membuat para penumpang tak
ambil pusing. Kapasitas kereta yang terbatas, terpaksa mempertebal apatisme
penumpang untuk memaksa masuk walau sudah melebihi daya tampung. Selama sekian
menit berada dalam gerbong kereta yang penuh sesak sungguh-sungguh menyiksa. Jarak antara Stasiun Sudimara menuju Kebayoran, salah satu tujuan
Kondisi serupa paling tidak terjadi lagi saat jam pulang
kerja. Sampai kapan kondisi seperti ini tetap bertahan? Apakah penambahan
rangkaian kereta akan menjawab persoalan ini?
Tentu saja tidak. Selama lajur dan jalur kereta tidak
ditambah penumpukan penumpang akan terus terjadi. Rute Tanah
Abang-Serpong-Parung Panjang-Maja saja mengalami kendala seperti itu, bisa
dibayangkan seperti apa peliknya persoalan mereka yang mengambil jalur melewati
sejumlah stasiun transit terutama Stasiun Manggarai yang harus berbagi ruang
dengan begitu banyak relasi perjalanan baik KRL maupun Kereta Api.
Penumpang membludak di Stasiun Manggarai/VIVA.co.id/Agus
Rahmat
Belum lagi soal kebutuan akan tempat parkir dan tarif yang
tentu saja terus meningkat. Bila jumlah pengguna KRL terus bertambah otomatis permintaan
akan ruang parkir semakin tinggi. Tidak hanya untuk kendaraan para pengguna KRL,
juga untuk transportasi umum seperti angkot, atau ojek. Potret nyata akan
pentingnya ruang parkir itu jelas terlihat, di antaranya di Stasiun Sudimara. Bila
ingin tahu persis seperti apa, Anda dan para pihak terkait bisa mampir ke sana
saat jam pulang kantor.
Sedikit dari ragam persoalan yang terjadi menunjukkan bahwa masih
banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sehubungan dengan moda
transportasi ular besi itu. Kenaikan Rp1.000 tentu tak ada artinya.
Apalah arti Rp.1000 bila dibandingkan dengan tarif angkutan
umum lainnya? Uang yang dikeluarkan pengguna KRL masih jauh lebih kecil
dibanding menggunakan kendaraan umum seperti bus. Bagi pengguna KRL jurusan
Bogor-Jakarta Kota misalnya, hanya merogoh kocek Rp.5000 dan setelah
penyesuaian menjadi Rp6.000, dibanding menggunakan bus bisa menghabiskan
Rp.15.000 sekali perjalanan. Belum lagi energi yang terbuang dan waktu yang terkuras
di jalan di tengah tingkat kemacetan Ibu Kota yang kian menggila.
Namun, di balik kenaikan Rp1.000 itu ada harapan yang dilambungkan
dan kepercayaan yang digantung kepada pihak terkait untuk perubahan KRL sebagai
moda transportasi pilihan yang tak hanya murah, dan cepat, juga tepat waktu,
dan manusiawi.
Bagaimana menurut Anda?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 19 Agustus 2016.
Comments
Post a Comment