Gotong-royong ala Soekarno untuk Indonesia (Lebih) Sehat
Gambar dari
bpjs-kesehatan.go.id.
Indonesia adalah bangsa yang lahir dan berdiri di atas kemajemukan. Artinya, tak ada seorang atau sekelompok orang pun bisa sama entengnya berkata dan mewujudkan negasi ungkapan penyair Inggris, John Donne: no man is an island. Kesendirian dalam ruang Nusantara yang maha luas ini adalah kemustahilan dan utopia belaka.
Demikian pun sebaliknya. Naif bila ada yang mengklaim sebagai
penguasa, atau kelompok dominan yang mengatasi yang lain. Walau dalam arti
tertentu praktik monopoli mewujud di Tanah Air ini, namun penguasaan mutlak
atau absolut hanyalah mimpi siang bolong.
Entah mengapa individualisme dan
monopoli mutlak tak mendapat tempat nyaman di Indonesia. Selain bertentangan
dengan hakikat keberadaan di Indonesia, jiwa kegotong-royongan yang telah
tertanam sejak embrio pembentukan negara ini bagai darah yang selalu mengalir
dan menghidupi Nusantara.
Sebelum memaklumkan dan merumuskan dengan bahasa yang
jelas dan tegas di kemudian hari, semangat itu sudah hidup dan dihidupi dengan
tekun di hampir semua kebudayaan di Tanah Air. Bahkan jauh sebelum Nusantara
bersatu.
Maka tak heran kemudian sang founding fathers, Soekarno mencium
prasyarat berdiri dan hidupnya sebuah bangsa dan negara bernama Indonesia
dengan menghembuskan secara kencang angin semangat positif itu. Semangat
alamiah itulah yang kemudian mengikat manusia Indonesia secara spiritual dan
emosional. Walau dikendalikan akal sehat yang mudah tergelincir dalam
perhitungan untung-rugi dan berbagai kecendrungan oposisi biner lainnya,
semangat yang sudah mengakar kuat tersebut tak pernah bisa ditanggalkan begitu
saja.
Berbicara di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, presiden pertama di
republik ini berujar lantang: “Gotong-royong adalah pembantingan tulang
bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal
semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”.
Semangat
gotong-royong itulah yang kemudian menjadi salah satu elemen penting dari dasar
negara, Pancasila. Bahkan oleh Soekarno sendiri, gotong-royong itu menjadi inti
dari kelima sila.
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!”
Aplikasi
Dalam perkembangan waktu semangat tersebut terejawantah secara konkret-praksis
dalam banyak hal. Inti dari semangat kegotong-royongan itu seperti ungkapan
“berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.” Bekerja bersama, dan
menikmati hasil sesuai bagian secara adil.
Walau aplikasi semangat tersebut
sudah mulai tergerus virus individualisme dan aneka perhitungan ekonomis, dalam
arti tertentu semangat tersebut masih tetap awet terpelihara dalam sejumlah
sendi kehidupan. Salah satu yang mengemuka kini dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Dilandasi oleh Undang-undang No.40 tahun 2004, sistem ini
dilaksanakan atas dasar kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan sosial.
Tujuannya, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap anggota tanpa
terkecuali.
Walau baru mulai dilaksanakan secara lebih sistematis pada 1
Januari 2014 oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan
perintah Undang-Undang No.24 Tahun 2011, setelah sebelumnya melalui program
Jamsostek, sejatinya sistem penyelenggaraan seperti itu sudah termaktub dalam
falsafah dan dasar negara, terutama sila kelima tentang hak asasi atas
kesehatan.
UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, yang kemudian diperinci dalam UU
36/2009 berbicara tentang hak dan kewajiban warga tentang kesehatan. Setiap
orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan
terjangkau.
Setiap orang pun diikat oleh kewajiban untuk turut serta dalam
program jaminan kesehatan sosial. Pada titik ini prinsip kegotongroyongan itu
tercermin jelas. Setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan dan negara
memfasilitasi pemenuhan hak setiap orang melalui sistem jaminan sosial
tersebut.
Sulit dibayangkan bagaimana praksis kesehatan di Tanah Air ini bila
tak ada sistem tersebut. Sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan
kesehataan mempersyaratkan dua hal yakni elemen, komponen atau pembentuk sistem
tersebutdi satu sisi serta fungsi dalam sistem yang saling terkait atau
interkoneksi(disarikan dari pengertian WHO; 1996).
Secara sederhana sistem
tersebut terdiri dari sejumlah komponen penting yakni regulalor, pelayanan
kesehatan, pembiayaan kesehataan dan pengembangan sumber daya. Pemerintah
memainkan peran sebagai regulator bersama para pihak yang terkait untuk
membangun sebuah sistem yang baik. Pelayanan kesehatan mengacu pada para aktor
yang terlibat langsung baik para dokter, perawat dan berbagai pelaku medis baik
yang bekerja di puskesmas, klinik umum, dokter keluarga, klinik swasta, serta
rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta.
Sementara pembiayaan
kesehatan mengacu pada anggaran untuk pelayanan kesehatan. Dalam hal ini
anggaran tersebut bisa berasal dari negara secara langsung atau iuran dari para
anggota seperti yang saat ini dilaksanakan dalam program BPJS. Sedangkan aspek
pengembangan sumber daya menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah dan
pihak terkait.
Praksis
Lantas bagaimana pelaksanaan BPJS dalam semangat
kegotongroyongan saat ini. Pertama,pemerintah dalam hal ini BPJS berdasarkan
amanat UU No.24 Tahun 2011 bertugas untuk mengelola dana jaminan untuk
kepentingan peserta; melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta; menerima
bantuan iuran dari pemerintah; memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta;
memberikan informasi tentang penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada
Peserta dan masyarakat; mengumpulkan dan mengelola data peserta; membayar
manfaat dan/atau membiayai pelaksanaan kesehatan sesuai ketentuan program
Jaminan Sosial.
Dari tugas di atas jelas bahwa pihak pemerintah bertugas sebagai
regulator, fasilitator dan pelaksana kebijakan. Pemerintah memastikan
masyarakat mendapat layanan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sesuai amanat
konstitusi, BPJS pun bertugas untuk merangkul dan menarik semua warga Indonesia
untuk bergabung dan mengambil manfaat dalam program tersebut.
Untuk memastikan
program tersebut berjalan dan menjangkau semua kebutuhan BPJS juga menjalin dan
membina kerja sama dengan perusahaan-perusahaan asuransi swasta melalui skema
koordinasi manfaat atau coordination of benefit (CoB) dalam memberikan tambahan
manfaat non-medis kepada masyarakat mampu yang mengiginkan manfaat lebih.
Kedua,dari pihak masyarakat semangat kegotongroyongan ini tercermin dalam
kepesertaan yang tidak memandang status, latar belakang sosial-budaya maupun
ras. Semua warga Indonesia, bahkan juga warga negara asing (dengan ketentuan
minimal sudah 6 bulan di Indonesia), disasar oleh program tersebut.
Kehidupan dan keberlanjutan program ini pun bertumpu pada masyarakat. Iuran
yang dibayar saban bulan menopang masa depan program tersebut. Dan patut
diingat setiap iuran yang dibayar berdasarkan presentase penghasilan dan dengan
prinsip ekuitas. Artinya, program ini dilaksanakan seara adil kepada semua
anggota sesuai kebutuhan medis yang terikat dengan besarnya iuran yang
dibayarkan. Setiap orang mendapat apa yang menjadi bagiannya dari kewajiban
yang telah dipenuhi.
Dengan prinsip tersebut, maka pihak yang tidak memenuhi
kewajiban akan mendapatkan sanksi. Gotong royong tidak berarti setiap orang
bebas berbuat apa saja dan mendapat perlindungan begitu saja dengan tanpa
memperhatikan kewajibannya. Ingat prinsip sebelumnya bahwa mati hidupnya
program ini pun bertumpu pada kerjsa sama para anggota.
Karena itu, sebagai
regulator BPJS pun menelurkan sanksi bagi yang abai. Berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dalam layanan, termasuk
penyesuaian iuran untuk para peserta, termaktub aturan mengenai denda
keterlambatan pembayaran yang mulai berlaku pada 1 Juli 2016.
Dikutip dari
Kompas.Com,disebutkan bahwa “jika terlambat membayar iuran jaminan kesehatan
lebih dari satu bulan sejak tanggal 10, maka penjaminan peserta diberhentikan
sementara. .. dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali,
peserta wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan
kesehatan rawat inap yang diperoleh.”
Masih menurut sumber yang sama
berdasarkan ketentuan dalam pasal 17, denda tersebut besarannya adalah 2,5
persen daribiaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak. Bulan tertunggak
maksimal 12 bulan dan nilai denda maksimal Rp30 juta.
Namun demikian, BPJS tak
menutup mata kepada yang tidak mampu. Bagi yang mengalami kesulitan untuk
membayar akan dibebaskan dari sanksi tersebut namun dengan bukti surat
keterangan dari instansi berwenang. Jelas bahwa prinsip kegotongroyangan itu
tak menegasikan kewajiban, namun tak bersifat memaksa bagi yang tak mampu.
Gambar dari
bpjs-kesehatan.go.id.
Harapan
Melalui penjelasan singkat di atas jelas terbaca bahwa prinsip
kegotong-royongan adalah nafas hidup BPJS. Sulit dibayangkan program ini tanpa
semangat tersebut. Alias yang diutamakan adalah individualisme dan rigititas
tanpa peri kemanusiaan yang adil dan beradap.
Namun demikian, sebagai sebuah
sistem, program ini tak lepas dari kekuarangan. Sambal terus membenahi dan
menyempurnakannya, ada beberapa catatan yang sekiranya patut diperhatikan oleh
semua pihak.
Pertama,sistem pelaksanaan perlu dibuat seefektif dan sependek
mungkin terutama terkait tata cara pendaftaran dan saat mendapatkan perawatan.
Di daerah dan tempat tertentu masih dijumpai potret masyarkata yang mengular
saat berurusan dengan hal tersebut. Ketersediaan tenaga dan fasilitas serta
kerja sama yang semakin luas niscaya akan mengurangi masalah tersebut. Salah
satu cara praktis yang bisa ditempuh, melakukan pendekatan jemput bola,
mendatangi masyarakat melalui sarana mobil layanan keliling seperti yang
dipraktikkan oleh lembaga-lembaga tertentu.
Termasuk juga soal kemungkinan kerja sama dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan di mancanegara agar para warga yang berdomisi di luar negeri mampu merasakan manfaatnya pula.
Termasuk juga soal kemungkinan kerja sama dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan di mancanegara agar para warga yang berdomisi di luar negeri mampu merasakan manfaatnya pula.
Kedua,apakah perlu ditinjau lagi keluhan masyarakat
terkait proses pelaksanaan dan administrasi terutama metode berjenjangan.
Dengan mengikuti proses mulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat 1 (Klinik dan
Puskesma) dalam situasi dan kondisi tertentu dirasa terlalu merepotkan dan
riskan bagi keselamatan peserta.
Ketiga,lebih menggiatkan sosialisasi soal
program yang bagus ini agar bisa menyasar seluruh masyarakat Indonesia. Selain
memanfaatkan tenaga yang ada, kerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan,
media massa dan berbagai fora mutlak adanya. Selain diajak, masyarakat juga
disadarkan betapa pentingnya program tersebut. Tujuannya adalah semakin banyak
masyarakat yang terjangkau layanan ini dan melaksanakannya secara sadar dan
bertanggungjawab.
Bisa jadi beberapa persoapan yang mengemuka saat ini lantaran
titik pemahaman dan kesadaran anggota belum benar-benar disentuh. Bukankah
semakin banyak yang bergabung, melaksanakan dengan sadar dan bertanggung jawab,
maka prinsip kegotongroyongan itu terasa manfaat luhurnya, bukan?
Mari
bergotong-royong untuk Indonesia yang sehat, dengan gotong-royong semua
tertolong untuk Tanah Air yang maju dan jaya.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 18 Juni 2016 dan menjadi juara kedua dalam blog competition "Gotong royong demi Indonsia yang Lebibh Sehat"
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/gotong-royong-ala-soekarno-untuk-indonesia-lebih-sehat_5764f6e8b37e6197081c596a
Comments
Post a Comment