Makna Tempat Ketiga untuk AS dan Kolombia
AS dan Kolombia saat berduel di laga pembuka Copa
America Centenario pada 4 Juni lalu/gambar dari mlssoccer.com
Konsentrasi dan perhatian publik kepada Copa America
Centenario boleh saja tertuju pada partai puncak yang mempertemukan dua finalis
Copa America edisi sebelumnya, Argentina dan Chile pada Senin, (27/6) pagi WIB.
Menanti bagaimana dua
tim saling melampiaskan dendam
dan ambisi adalah daya tarik tersendiri. Demikianpun, tak sabar melihat
bagaimana para bintang beraksi dan mengukir sejarah menjadi keasyikan
tersendiri.
Namun,
pertandingan antara Kolombia dan tuan rumah Amerika Serikat untuk memperebutkan
tempat ketiga tetap penting dan menarik ditonton. Walau bukan klimaks, usai
keduanya gagal ke partai puncak, laga ini tetap berarti.
Pertandingan
pada Minggu, (26/6) pagi WIB di University of Phienix Stadium, California, lebih dari sekadar partai ulangan setelah
sebelumnya mereka bertemu di fase penyisihan grup D, sekaligus laga pembuka. Tampil
di hadapan mayoritas pendukung sendiri yang memenuhi Levi’s Stadium, Santa
Clara, Selasa (4/6) pagi WIB lalu, The Yanks bertekuk lutut setelah Cristian
Zapata dan James Rodriguez bergantian menjebol jala Brad Guzan.
Bagi tuan
rumah, laga ini bisa disebut sebagai momen balas dendam. Di tengah sorotan
seusai menjadi bulan-bulanan Argentina di semi final, saatnya Clint Dempsey dan
kolega memulihkan kembali kepercayaan publik Amerika Serikat.
Meski kalah
kelas, melihat anak-anak asuh Jurgen Klinsmann tampil saat menghadapi Argentina,
sungguh tak terlihat rupa AS yang tegar dan pantang menyerah. Keseblasan Negeri
Paman Sam itu benar-benar kehilangan kekhasan mereka.
Sehingga pertemuan
kembali dengan Los Cafeteros lebih dari cukup untuk menunjukkan kembali jati
diri AS yang sebenarnya. Sekaligus memberikan harapan kepada masyarakat setempat
bahwa masih pantas mereka mengelu-elukan dan membanggakan diri.
Menilik posisi
dan prestasi James Rodriguez dan kawan-kawan yang saat ini berada dua strip di
belakang Argentina, maka laga ini tak ubahnya pertandingan menghadapi tim
unggulan. Seperti Argentina, Kolombia pun memiliki deretan pemain bintang yang populer
di liga-liga elit Eropa.
Amerika
Serikat pun dituntut untuk menyiapkan diri secara serius. Selain komposisi
pemain Kolombia yang sarat “bintang”, tuan rumah pun berpeluang menjadi sasaran
pelampiasan akibat kegagalan mereka menembus babak final.
Kekalahan
dua gol tanpa balas atas Chile di babak semi final bukan mustahil telah
meninggalkan luka pada kedigdayaan Kolombia yang dihuni deretan pemain berkelas
di setiap lini seperti kiper David Ospina yang kini bermain untuk Arsenal, bek
Cristian Zapata (AC Milan), gelandang James Rodriguez (Real Madrid), hingga Juan
Cuadrado (Juventus).
Selain itu,
kekalahan atas Chile menjadi puncak performa kurang meyakinkan Kolombia di
turnamen kali ini. Setelah mencatatkan kemenangan atas AS dan Paraguay, skuad
Jose Pekermann tampil mengecewakan saat digulung Kosta Rika di pertandingan
terakhir Grup A, serta hanya mampu menang adu penalti atas Peru di babak
delapan besar, sebelum kalah telak di semi final.
Laga ini
pun menjadi kesempatan Pekermann untuk membungkam semua kritik dengan
menampilkan permainan yang baik dengan memperbaiki taktit dan strategi. Tempat
ketiga setidaknya tak terlalu buruk dijadikan kado bagi warga Kolombia.
Ekperimen
Walau kemenangan
adalah harga mati demi predikat juara ketiga, laga ini menjadi momen yang pas
bagi kedua kubu untuk memberi jam terbang bagi para pemain muda. Memberikan
kesempatan kepada para pemain penerus sambil membentuk formasi masa depan juga
penting.
Baik Kolombia
maupun Amerika Serikat memiliki ambisi dan rencana tersendiri di kemudian hari.
Sekalipun sebagai turnamen inagurasi untuk memperingati seabad Copa America,
ajang tersebut adalah kesempatan saling uji kekuatan sebelum Piala Dunia Rusia
yang tinggal dua tahun lagi.
Dengan tanpa
bermaksud mengabaikan Kolombia, ambisi besar Klinsmann membawa AS menjadi semi
finalis Piala Dunia 2018 menjadi menarik dengan melihat sejauh mana pria Jerman
itu mempersiapkan armadanya.
AS atau
santer dikenal dengan sebutan USMNT (berbeda dengan USWNT untuk tim wanita)
berkomposisi pemain senior dan junior dengan rataan usia di atas 27,6 tahun.
Artinya, secara umum Klinsmaan memanggil para pemain senior dan junior secara
seimbang.
Namun, sejauh
ini ketergantungan Klinsmann pada para pemain senior masih cukup tinggi. Bisa dimaklumi,
dengan target prestasi di Tanah Air sendiri, maka menyerahkan kepercayaan lebih
kepada para pemain berpengalaman adalah pilihan rasional. Tetapi di sisi lain
hal tersebut justru memangkas peluang Klinsmann untuk mengorbit dan membentuk
formasi bayangan untuk dua tahun mendatang.
Terlepas dari
keterikatan pada para veteran seperti Dempsey, Jermanie Jones, Fabian Johnson,
Michael Bradley, Alejandro Bedoya, Kyle Beckherman dan Graham Zusi, laga
terakhir ini bisa dipakai untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada wonderkid
Christian Pulisic, DeAndre
Yedlin (22 tahun) dan John Brooks (23 tahun).
Selain itu,
dengan belajar dari penampilan di laga-laga sebelumnya, pertandingan menghadapi
Kolombia bisa dipakai untuk mencoba formasi berbeda. Beberapa kemungkinan bisa
dikedepankan.
Pertama, mencari
pengganti Fabian Johnon untuk lebih berperan optimal sebagai pemain sayap. Pemain
28 tahun itu tampil kurang menggigit saat menghadapi Argentina di semi final. Dalam
formasi 4-1-3-2, yang kini membela klub tanah kelahirannya Jerman, Borussia
Mönchengladbach itu mati kutu dengan tak memiliki satu kesempatan untuk
melepaskan tembakan ke gawang La Albiceleste.
Beberapa
pilihan nama seperti Eric Lichaj, Timmy Chandler atau Brandon Vincent bisa diuji. Sosok yang disebutkan
pertama memiliki pengalaman tampil lebih dari 12.000 menit di pentas sepak bola
Inggris di divisi Premiership dan Championship dalam lima tahun terakhir. Hal
itu sekiranya lebih dari cukup untuk menambah 11 capsnya bersama timnas. Belum
lagi pada 2018 nanti ia akan mencapai usia matang yakni 29 tahun.
Sementara Chandler
walau kurang meyakinkan bersama AS masih menjadi starter bersama klub Bundesliga, Eintracht Frankfurt.
Kedua, menemukan posisi ideal bagi Darlington
Nagbe dan Kristen Pulisic. Sejauh
ini Klinsmann lebih banyak memberikan kesempatan kepada Pulisic untuk
beriperasi di sisi sayap dan terlihat nyaman. Sedangkan Nagbe pun cukup handal
sebagai pemain box-to-box yang telah terbukti sangat efektif di pentas MLS.
Rotasi yang
dilakukan Klinsmann selama ini dengan para pemain seperti Jermaine Jones
dan Alejandro Bedoya cukup masuk
akal. Nagbe perlu bermitra dengan Bradley untuk mendapatkan pengalaman. Sementara Pulisic perlu diberi posisi berbeda untuk melihat apakah
masa depannya sebagai pemain sayap, atau mungkin sebagai pengganti Dempsey yang bergerak dari lini kedua.
Salah
satu pemain senior sekaligus kapten tim AS, Michael Bradley berdebat dengan
wasit di semi final Copa America kontra Argentina/Kevin Jairaj/USA Today.
Ketiga, mengorbitkan Bobby Wood dan Gyasi Zardes di sektor
penyerang untuk menggantikan striker veteran Chris Wondolowski yang tampil mengecewakan sejauh ini.
Sejauh ini AS cukup kerepotan
menemukan striker tunggal dengan kemampuan memaksimalkan bola udara.
Memaksa
Clint Dempsey sebagai ujung
tombak semata wayang sudah terbukti kurang bertaji seperti saat Piala Dunia
lalu. Harapan baru sempat tumbuh dalam diri Jozy Altidore namun sayang cedera yang dialami
sejak musim semi membuat AS kembali kehilangan pemain dengan karakter tersebut.
Kini
harapan itu muncul dalam diri Wood dan Zardes yang tampil cukup baik di babak
kedua saat menghadapi Argentina.
Dengan
potensi dan kemungkinan yang ada, tinggal saja bagaimana Klinsmann berani
meminggirkan pertimbangan pragmatis demi hasrat yang lebih besar.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 25 Juni 2016.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/seberapa-penting-tempat-ketiga-untuk-as-dan-kolombia_576d81b2147b61800d124fdc
Comments
Post a Comment