Menulis Itu seperti Lidah dan Rasa
Yayat
(kiri) dan Yos Mo, sang moderator/gambar dari facebook Rahab Ganendra.
Menulis bukan hanya soal teknik. Merangkai kata demi kata
menjadi kalimat, paragraf hingga utuh sebagai sebuah tulisan, tak cuma bermodal
waktu, kepandaian atau kecakapan linguistik. Ada faktor lain yang turut
berperan agar tulisan yang dihasilkan itu bernyawa. Bisa hidup di hati pembaca,
pun di sanubari sang penulis sendiri.
****
Sore itu, Sabtu 18 Juni 2016. Lewat pukul 16.00 petang.
Studio Kompasiana yang terletak di lantai 6 Gedung Kompas Gramedia, Palmerah
Barat, Jakarta, terlihat seperti kapal pecah. Sejumlah barang bertebaran di
sana sini mulai dari yang bersifat elektronik hingga perkakas ruangan. Namun,
keadaan itu sama sekali tak memecah belah, apalagi memudarkan keceriaan kongkow sejumlah Kompasianer.
Suasanananya jauh dari kesan mentereng seperti promosi
beberapa hari sebelumnya di Kompasiana dan jejaring sosial ikhwal acara
bertajuk “Menangkap Momen dan Euforia Event Olahraga” yang sempat membuat saya
harus berpikir serius untuk mempersiapkan diri.
Ternyata situasinya santai dan penuh keakraban. Sama sekali
tak formal. Jumlah orang bisa dihitung dengan jari, mungkin karena itu
pula, terasa sekali aura kedekatan di antara para penulis dan penggemar
olahraga yang selama ini hanya bertemu dan bertutur sapa lewat kata. Seperti
namanya, “Ngoplah,” Ngobrol di Palmerah, momen tersebut begitu cair dan hangat,
seperti antarkawan lama yang sudah lama tak bersua.
Saya berkesempatan bertemu muka dan bercakap langsung dengan
beberapa kompasianer yang selama ini hanya terjadi di ruang virtual. Mungkin
saja karena jam terbang saya di Kompasiana yang terbilang “muda” alias
pendatang baru. Bisa juga karena waktu dan kesempatan yang terlalu mahal.
Karena itu, Ngoplah kali ini datang pada waktu yang pas, persis ketika jagad
nasional dan dunia disibukan dengan beragam agenda olahraga yang datang dan
pergi silih berganti.
Kehadiran dua pembicara, Kompasianer Yayat dan Jalu
Wisnu Wirajati dengan sendirinya membentuk topik pembicaraan sore itu. Yayat,
fans sejati Valentino Rossi. Sementara Kang Jalu adalah seorang jurnalis
berpengalaman yang sudah sangat akrab dengan sepak bola dan kini menjabat
Assisten Managing Editor portal berita olahraga Juara.net. Jelas, yang satu
bicara tentang balap. Lainnya, lebih tentang sepak bola.
Hemat saya, dua pembicara dengan dua topik berbeda ini cukup
representatif. Dalam konteks Kompasiana, sejauh pengamatan saya, topik
seputar balap adalah minoritas. Lalu lintas tulisan di Kompasiana tentang dunia
ini kalah “banyak” di banding cabang olahraga lain, terutama sepak bola. Selain
jumlah artikel, kuantitas penulis pun setali tiga uang.
“Jarang sekali ada tulisan tentang balap dan Vale,”demikian
pengakuan Mba Yayat saat mulai “nge-blog” di Kompasiana pada Agustus 2010,
atau dua tahun setelah komunitas itu berdiri.
Pemandangan serupa tak hanya terjadi enam tahun lalu, yang
bisa jadi menjadi alasan lain Mba Yayat menulis di Kompasiana. Saat ini,
situasi serupa tak juga berubah.
Di sisi lain, kehadiran Kang Jalu adalah representasi kaum
dan isu mayoritas yang ramai diperbincangkan tanpa henti di Kompasiana. Walau
bukan blogger, latar belakangnya sebagai seorang jurnalis profesional, membuka
sisi lain yang kadang luput dari pengamatan Kompasianer. Sosok yang sudah
belasan tahun bergulat dengan dunia olahraga itu menyuntik ilmu jurnalistik
agar menjadi blogger profesional, blogger kekinian.
“Saat ini tulisan para blogger di Inggris lebih didengarkan
dan dibaca,”ungkap Kang Jalu memberi bukti.
Nyaris pingsan
“Yang saya bicarakan ini sebenarnya lebih sebagai sharing pengalaman
saja karena mungkin saja ada kompasianer yang lebih paham dari saya,”Mba Yayat
merendah,membuka pembicaraan, tak lama setelah dipersilahkan moderator Yos Mo.
Perjumpaannya dengan Velentino Rossi terjadi secara tak
terduga. Saat dunia sedang mengelu-elukan pebalap asal Italia itu yang
sedang bertarung di MotoGP 2002, Yayat hanya menatap sinis. “Siapa sih sosok
yang pecicilan ini?”Kira-kira demikian ringkasnya.
Namun, selepas tiga seri rasa sinis itu berganti penasaran.
Yayat pun mulai jatuh hati setelah menyelami Rossi lebih jauh. Catatan
prestasi dan kepribadian Rossi memerangkap Yayat dan membuatnya tak bisa lagi
berpaling dari pebalap
berambut kribo itu.
“Rossi itu sosok yang sangat menghibur, selalu juara, ramah,
jago balap,”ungkap Yayat mantap.
Bahkan menurut Yayat, kepribadiannya yang sangat bersahaja
itu selalu terpancar dalam segala situasi. Saat capek sekalipun, lanjut Yayat,
kesahajaan itu tak juga pudar.
“Saat capek ia selalu tersenyum. Walau mulut tak bisa
berbicara, dari mata terpancar keramahannya. Hal seperti itu tak ada pada
pebalap lain.”
Pengakuan yang mengalir lancar dari mulutnya itu akhirnya
membut kita mafhum mengapa Yayat sedemikian jatuh hati kepada Vale. Tak sekadar
memuji, Yayat pun membuktikan bahwa Rossi benar-benar sosok idola.
Pada 2014 Yayat berjuang sendiri untuk menyaksikan pemilik
nomor 46 itu melaju secara langsung di Sirkuit Sepang, Malaysia. Namun
keputusannya untuk nonton langsung itu tidak datang dengan sendirinya. Setelah
“dikomporin” dan diyakinkan teman-teman yang sudah merasakan langsung sensasi
menyaksikan sang idola dari dekat, Yayat akhirnya berubah sikap.
“Semula saya berpikir nonton langsung itu ribet, belum lagi
butuh biaya. Mending nonton di TV.”
Yayat pun menyiapkan segala sesuatu sendirian mulai dari
mencari informasi tentang akomodasi, harga tiket, hingga penginapan. Belum lagi
saat berada di Malaysia, ia masih harus berjuang untuk bisa bertemu dengan sang
idola. Semua itu benar-benar
tak segampang membalikkan telapak tangan.
“Pagi-pagi jam 04.30 pagi teman udah ketuk kamar agar bisa
segera sampai ke acara tanda tangan rider. Berangkat jam 7 dan baru mulai
antri jam 11,”ungkapnya.
Namun, Vale bukan milik Yayat seorang. Dari pengakuannya
saat mensambangi Sepang, dominasi fans Rossi terlihat jelas. “Jangan salah di
Sepang pemandangan 70 persen berwarna kuning.”
Tak heran bila Ia harus berjuang dengan ribuan orang untuk
mendapat tempat terdepan.
Bahkan untuk hal itu ia hampir jatuh pingsan.
“Jam 10 kami dapat kabar Vale tidak bisa melayani
tanda tangan di tempat itu,” ungkap Yayat dengan raut sesal yang tampak masih
terpelihara hingga kini.
Yayat tak kapok saat peristiwa tak mengenakkan kembali
terjadi pada sesi pit line walk.
Ia harus berjuang berdesak-desakan dengan 1.500 orang demi mendapatkan tempat
terdekat dengan pagar pembatas agar bisa melihat Vale dari dekat.
“Udah nyelip masuk dekat pagar tetapi Vale tidak
keluar. Setelah satu jam menanti baru diberitahukan oleh Dorna (penyelenggara MotoGP),”kisah
Yayat.
“Sebagai gantinya motor Vale dikeluarkan. Mungkin
sebagai bentuk hiburan kepada ribuan orang yang telah menanti.”
Perjuangan demi perjuangan untuk bertemu sang idola akhirnya
terwujud setahun kemudian. Dengan proses yang kurang lebih sama, Yayat pun bisa
melihat dari dekat sang idola.
“Tak bisa berkata-kata. Unforgettable,”beber
Yayat dengan wajah berseri-seri.
Tak hanya berburu kesempatan saat musim balap di Sepang
tiba. Yayat juga menunjukkan kecintaannya pada sang idola dengan turut
membentuk komunitas fans Valentino Rossi yang tergabung dalam persekutuan Fan
Club Valentino Rossi Indonesia (FCVRI) pada 16 Feruari 2014, tepat di hari
ulang tahun Rossi.
Dengan segala dinamikanya FCVRI terus berkembang dan
diorganisir dengan baik. Hal itu terlihat dari jumlah anggota yang
terorganisasi dalam regional-regional mulai dari Papua (Timika, Jayapura),
Jawa, Makassar, Bali, Medan, hingga Lampung.
Mereka tak hanya diikat dengan rasa cinta kepada sosok yang
sama, dan hubungan tak hanya diantarai oleh jejaring sosial. Tali silaturahim
di antara mereka juga dibangun secara kasat mata melalui aktivitas nonton
bareng, kopi darat, touring, dan bakti sosial.
“Di bulan puasa kali ini regional Jakarta juga bagi-bagi
takjil,”tutur Yayat menyebut salah satu contoh kegitan mereka bertempatan
dengan bulan puasa kali ini.
Berbagi
Segelintir pengalaman itu menunjukkan bagaimana ‘kedekatan”
Yayat dengan Rossi. Kedekatan itu tak disimpannya sendiri. Ia kemudian menuangkannya dalam tulisan di
Kompasiana. Yayat
sendiri punya prinsip, yang kemudian dijadikannya sebagai tips, bahwa setiap
informasi tak elok bila dipendam. Prinsip berbagi itu kemudian mendatangkan
kepuasan tersendiri bagi Yayat.
Keyakinan
itu benar-benar dipegang teguh. Sejauh
pengamatan saya, Yayat hampir tak pernah melewatkan sedikitpun informasi
tentang sang idola. Tolak ukur sederhana saja. Apakah setiap sesi balapan,
Yayat bakal absen membuat reportase? Tentu saja tidak. Bila tak percaya,
silahkan cek!
Saya sempat
membuat ekperimen sendiri untuk membuktikan hal itu. Momen itu terjadi saat
perhelatan Tour de Flores yang dimulai sejak 19-23 Mei lalu. Saat itu, Yayat terpilih
meliput mewakili Kompasiana. Berada di
Flores yang notabene memiliki infrastrukter terutama komunikasi yang terbatas,
serta agenda liputan yang padat, saya pun bertanya-tanya, apakah Yayat bakal
melewatkan liputan tentang seri Mugello, Italia yang jatuh pada tanggal 22 Mei?
Ternyata tidak. Dari jauh, Yayat tetap mengisi ruang di Kompasiana.
Sejak mulai menulis tentang Vale pada Agustus 2010, kini
jumlah tulisannya di Kompasiana berjumlah 538 dan lebih dari separuh, atau 538
tentang dunia yang disukai dan sosok yang diidolai yakni MotoGP dan Vale.
Beberapa alasan
itu akhirnya membuat Yayat hampir selalu diidentikan dengan Vale. Yayat sendiri
merasakan hal itu. Sehingga tak heran Yayat kerap disapa Nyonya Vale. Baginya
itu merupakan konsekuensi positif-untuk mengatakan berkah yang kemudian
disebutnya sebagai personal branding.
Profesional
Bila Yayat dekat dengan Rossi dan telah mewujudkannya dengan
berbagai cara, Kang Jalu memiliki cara tersendiri. Sebagai seorang jurnalis
olahraga, Kang Jalu juga tak bisa
menutup diri sebagai penggemar sepak bola.
Ia mengaku
Liverpool mendapat tempat utama di hatinya. Selain itu ia juga menggemari klub
Inggris lainnya yakni Crystal Palace. Alasannya menyukai Crystal Palace pun
sederhana yakni lantaran pada suatu ketika pernah mengalahkan Manchester
United.
Namun demikian
sebagai seorang jurnalis, Kang Jalu selalu berusaha untuk menampilkan diri
secara profesional. Profesionalisme dalam menulis itulah yang kemudian
dibagikannya dalam tajuk Reporting Sports
Story.
Hemat saya,
ada beberapa poin penting dari pemaparan Kang Jalu yang bisa dipetik oleh para
blogger. Pertama, memanfaatkan
potensi unggul. Menurut Kang Jalu, blogger memiliki sejumlah keunggulan yang
tak dimiliki para jurnalis. Bila seorang wartawan terikat dengan target,
deadline, ruang, atau juga framing tertentu,
tidak demikian dengan blogger. Waktu lebih luas sehingga seorang blogger bisa
lebih fokus dan leluasa untuk menulis.
Kang Jalu/gambar dari facebook Rahab Ganendra.
Keunggulan inilah
yang sejatinya menjadi modal untuk menghasilkan tulisan yang bermutu dengan gaya
tulisan tertentu dan karakter yang kuat. Ditambah dengan riset yang kuat dan
perencanaan yang matang, rasa ingin tahu yang tinggi, visualisasi yang kreatif (penambahan
gambar, video dll), maka bukan mustahil akan menghasilkan tulisan yang bernas
dan diapresiasi.
Seperti
sudah disinggung sebelumnya, pengalaman para blogger di Inggris bisa menjadi
rujukan. Dalam pemberitaan dan pengupasan masalah, mereka lebih didengarkan
ketimbang tulisan dari media arus utama.
Kedua, berani tampil beda. Menurut Kang Jalu, dan
sebagaimana kecenderungan umum, tulisan yang berbeda dari kebanyakan akan
mendapatkan respon yang lebih. Mengikuti arus informasi atau topik yang sedang
hangat diperbincangkan (riding the waves)
boleh saja. Malah penting. Namun, melihat dan mengangkat sisi lain dari arus
umum itu akan menjadi nilai lebih.
Namun, tampil
beda atau nyeleneh tidak lantas
berarti serampangan. Berkali-kali Kang Jalu menekankan soal objektivitas. “Boleh
saja menjadi blogger ‘nakal’ tapi harus based
on data.”
Tak bisa
dipungkiri data menuntut akses. Pada titik ini patut diakui, dalam arti
tertentu, tingkat aksesibilitas seorang jurnalis lebih besar dari blogger. Namun,
menurut kang Jalu dengan berkaca pada pengalaman Amerika Serikat, bukan
mustahil pada suatu ketika baik blogger maupun jurnalis akan mendapatkan akses
yang sama.
Walau akses
terbatas tak berarti tak ada jalan sama sekali. Kemajuan teknolog informasi dan
komunikasi, terutama ketersediaan internet, memungkinkan para blogger untuk
mendapatkan informasi dan data memadai. Dengan informasi serba ada, selain
bersandar pada data yang benar dan tepat, Kang Jalu mengingatkan, agar tak alpa
melakukan cross check atau mencari
data pembanding.
To report well in a sport, you must know the
sport thoroughly. Kira-kira
demikian inti sarinya seperti diungkapkan Kang Jalu.
Lidah dan rasa
Sulit memang
untuk menarik benang merah pembicaraan sore itu. Di satu sisi Yayat enggan
mengaku sebagai jurnalis walau dalam banyak hal telah menghidupi prinsip-prinsip
jurnalisme. Sementara Kang Jalu telah tinggal tetap dalam dunianya sebagai
jurnalis profesional.
Namun, dari
pemaparan mereka ada hal kecil yang saling bersinggungan. Yayat dengan mudah
menghembuskan kedekatannya terhadap dunia dan sosok yang diidolakan pada setiap
tulisan.
Dengan kelebihan
dan kekurangannya, tulisan Yayat tentang Vale adalah ekpresi jujur terhadap
seorang idola. Karena saking dekatnya itu, Yayat masih belum bisa berpaling ke
cabang olahraga lainnya.
“Saya
pernah mau coba tulis F1, tetapi belum dapat feel.”
Rasa atau feel itu dirasakan pula oleh Kang Jalu yang
sudah belasan tahun jatuh hati pada olahraga, terutama sepak bola. Menurutnya
kejujuran sebagai nilai dasar olahraga sukar dimanipulasi. Menyaksikan
pertandingan sepak bola, hampir tak ada orang yang bisa membantah apalagi
menyangkal ketika seorang striker mencetak gol. Pun air mata dan tawa seorang
pemain adalah ekpresi jujur dari hati.
“Sport
tidak mengajarkan kebohongan. Ekpresi di lapangan itu jujur,”aku Kang Jalu.
Bila bisa
disimpulkan, Yayat dan Kang Jalu, atas cara mereka telah menghidupi seperti
bunyi salah satu iklah produk makanan. Bagi mereka, menulis itu seperti lidah
dan rasa, tak pernah bisa bohong.
N.B:
Foto-foto
dalam tulisan ini diambil dari akun facebook Rahab Ganendra yang diposting di
grup KOPROL. Mohon izin dan terima kasih sebelumnya kepada Mas Rahab.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 24 Juni 2016.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/menulis-itu-seperti-lidah-dan-rasa_576cf4a7f37a61da070de2d2
Comments
Post a Comment