TSC, TNI-Polri dan Sejumlah Pertanyaan
Peluncuran TSC, gambar Kompas.com
Setahun sudah sepak bola Indonesia mati suri. Sejak PSSI dibekukan pada 17 April
2015, roda sepak bola Indonesia berjalan
di tempat-untuk mengatakan terhenti sama sekali. Walau kompetisi demi kompetisi
bermunculan, namun perannya tak lebih dari pelipur lara dan statusnya pun tak
resmi.
Aneka turnamen
dadakan itu semata-mata diikhtiarkan sebagai pengisi kekosongan di tengah
terhentinya kiprah Merah Putih baik ke dalam maupun ke luar. Kompetisi domestik
resmi di bawah naungan PSSI tinggal kenangan. Sementara, peran serta Indonesia
di kancah internasional tertutup sama sekali.
Kini, publik
menanti perkembangan nasib Indonesia yang telah dialienasi dari percaturan
sepakbola global. Akankah ada kado manis di ulang tahun PSSI ke-86 yang berselisih
sebulan dengan Kongres Luar Biasa FIFA di Meksiko bulan Mei nanti? Atau jangan sampai, sanksi berlipat bakal diterima
yang membuat sepakbola kita semakin terkapar? Entahlah.
Sembari
menanti perkembangan nasib sepakbola Indonesia, satu turnamen muncul lagi. Semula
bernama Indonesia Soccer Championship (ISC) A, karena diembeli sponsor utama,
turnamen tersebut pun menjadi Torabika Soccer Championship (TSC), sejak
diluncurkan secara resmi pada Senin, (18/04) lalu.
Dioperatori
oleh PT Gelora Trisula Semesta (GTS), GTS akan bergulir sejak 29 April hingga Desember tahun ini. Untuk kategori
GTS A, diikuti 18 klub ISL, dengan total 306 pertandingan.
Tak hanya
mengakomodasi klub-klub papan atas, klub-klub Divisi Utama pun kebagian
panggung. Sejak 30 April hingga 4 September, sebanyak 53 klub dari Divisi
Utama akan unjuk gigi.
Sekilas,
kehadiran turnamen jangka panjang ini membuat atmosfer sepakbola Tanah Air serasa
bergeliat lagi. Masyarakat mendapat hiburan dan tontonan yang lebih variatif dan
berdurasi panjang, ketimbang sejumlah pagelaran sebelumnya.
Namun, dengan
segala hingar-bingar turnamen yang datang
dan pergi itu, satu pertanyaan mendasar mengemuka: kapan persoalan esensial di
sepakbola Indonesia disentuh dan diselesaikan? Apakah sepakbola kita hanya
berhenti di level kompetisi dadakan?
Tak dipungkiri,
turnamen-turnamen tersebut hakikatnya sebagai pengisi kevakuman. Anggap saja
sebagai momentum menjaga kebugaran dan semangat insan persepakbolaan. Sederhananya,
membuat nyala sepakbola kita tak benar-benar padam di tengah penantian akan
perubahan tata kelola sepakbola dalam negeri.
Hingga kini
ikhtiar perubahan itu hampir tak tersentuh sama sekali. Setelah membekukkan
PSSI, pemerintah sepertinya tak bergerak untuk mengambil langkah solutif. Buktinya,
turnamen dadakan dibiarkan terus bermunculan, sementara urusan pembinaan
berjenjang sejak usia dini hingga nasib tim nasional tak diperhatikan.
Fenomena TNI-Polri
Menarik ‘catatan
olahraga’ di harian Kompas, Rabu
(20/04) tentang keterlibatan TNI dan Kepolisian Negara RI (Polri) dalam dunia
sepak bola Tanah Air. Kini dua institusi tersebut hadir secara aktif dengan
membentuk tim-tim sepakbola.
Sejak kemunculan PS Polri pada Piala
Bhayangkara, kini hadir PS TNI yang baru saja memproklamirkan diri sebagai klub
profesional dengan mengakuisisi Persiram Raja Ampat. Kehadiran kedua klub tersebut mengingatkan
kita pada negeri tetangga, Singapura yang juga memiliki klub yang beranggotakan
polisi dan tentara.
Ada Home United FC yang dimiliki polisi serta
Warriors FC yang digadang-gadang milik tentara Singapura. Kedua klub tersebut
telah lama berdiri dan dikelola dengan sangat profesional. Seperti klub-klub profesional
lainnya, kiprah mereka dimulai dari divisi amatir hingga berkembang menjadi
klub yang sangat disegani di Negeri Singa.
Home United menempati posisi ke-7 di S-League
(kompetisi liga professional tertinggi) musim ini dan sukses menggaet sponsor
internasional seperti Coca Cola. Sementara Warriors menjadi klub terkuat dan
menjadi langganan juara S-League.
Berbeda dengan PS Polri dan PS TNI, seperti
disinggung di atas, pengelolaan kedua klub tetangga itu jauh lebih profesional,
dimulai dari bawah dan tidak dengan cara akuisisi. Belum lagi biaya operasional
kedua klub itu tanpa campur tangan uang negara.
Peraturan menteri dalam negeri (permendagri)
menegaskan bahwa klub profesional tidak boleh memakai dana APBN. Seperti klub
profesional lainnya, apakah klub-klub yang dikelola institusi negara itu, benar-benar
tak menggunakan dana negara?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 20 April 2016.
Comments
Post a Comment