Tentang Kabin Menyusui di Stasiun (Jakarta Kota)
Ilustrasi Kabin Menyusui/Foto Dokpri
Patut diakui, saya merupakan pelanggan baru Commuter Line
atau KRL Jabodetabek. Sejak setahun terakhir, KRL menjadi teman setia sekaligus
tumpuan harapan bertransportasi dari dan ke tempat kerja.
Sejak pertama kali berkenalan dengan ular besi itu, saban
hari, kecuali hari libur, KRL selalu jadi andalan. Perjalanan yang selalu
dilalui yakni dari Stasiun Sudimara (mengambil jalur Tanah Abang-Serpong/Parung
Panjang/Maja), selanjutnya memilih alternatif (tergantung waktu) antara jalur
Tanah Abang menuju Manggarai atau Tanah Abang-Kampung Bandan, untuk mengakhiri
perjalanan di Stasiun Jakarta Kota.
Di titik-titik persinggahan atau transit itu pemandangan
hampir tak pernah berubah. Tak ada perubahan berarti, selain arus penumpang
yang makin meningkat dan pola pengguna yang semakin beragam untuk memanfaatkan
berbagai sarana yang ada.
Namun, dalam semangat memberikan layananan yang semakin baik
kepada pelanggan setia, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) selaku operator,
tampaknya sedang giat membenahi sarana-prasarana baik fisik, maupun fasilitas.
Tentang fisik, secara nyata ralam renovasi sejumlah stasiun yang hingga kini
masih berlanjut.
Sementara terkait fasilitas, di antaranya dengan melakukan
sejumlah terobosan antara lain penggunaan e-ticketing
dengan bergam bentuk baik kartu multi-trip maupun secara artistik dalam
bentuk gelang, dan sebagainya. Selain itu, untuk mengefisienkan sumber daya, KCJ
mulai mengoperasikan vending machine untuk transaksi tiket, serta penjualan
minuman secara otomatis.
Melalui selayang pandang pengamatan saya, satu fasilitas
yang kini tersedia adalah kabin menyusui. Sejauh pengamatan saya, fasilitas
bagi para ibu menyusui ini baru tersedia di stasiun Jakarta Kota dan Depok
Baru.
Entah mengapa baru satu kabin (bila tak salah) yang tersedia
dan hanya ada (bisa dokoreksi) di salah satu sudut stasiun legendaris sekaligus
terbesar di Jakarta itu. Padahal fasilitas tersebut juga dibutuhkan di
stasiun-stasiun lain.
Bisa jadi kabin menyusui semata
wayang itu dalam rangka uji coba untuk melihat tingkat kebermanfaatan dan kebutuhannya.
Dari penelusuran informasi, ternyata kabin tersebut sudah ada sejak 2014, hasil
kretivitas dan inisiatif Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Indonesia, berdasarkan riset tentang ruang laktasi (menyusui) di ruang publik
ibu kota (Sumber:eng.ui.ac.id).
Kabin tersebut diikhtiarkan sebagai solusi untuk menjaga
kesehatan ibu, terutama anak agar bisa tetap menyusui di tengah arus mobilitas
di ruang transportasi publik yang tinggi. Desainnya pun dibuat sedemikian rupa
agar nyaman, terjangkau dan akomodatif untuk para ibu, serta praktis dalam
pemanfaatannya.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, bila fasilitas tersebut
benar-benar ditujukkan untuk para ibu menyusui maka jumlah tersebut tentu masih
sangat jauh dari kata cukup. Benar bahwa sejak awal kabin tersebut
diperuntukkan di stasiun Jakarta Kota dan Stasiun Depok Baru yang dianggap
sebagai stasiun jarak jauh dan transit utama dan sibuk.
Namun dari waktu ke waktu jumlah kesibukan, terutama arus
penumpang dari dan ke stasiun-stasiun lain juga meningkat. Kini hampir sulit
mengkategorikan sebuah stasiun KRL di Jabodetabek sebagai besar atau kecil terutama
pada jam-jam sibuk mengingat pemandangan membludak hampir terlihat di semua
stasiun. Maka, para ibu yang yang berangkat dari dan menuju ke stasiun-stasiun
tersebut juga membutuhkan fasilitas serupa.
Selain jumlah, kebermanfaatannya pun patut diperbincangkan. Di
Stasiun Jakarta Kota, kabin yang satu itu letaknya agak ke pojok, di depan
peron jalur 11 dan 12. Kotak itu berbentuk persegi panjang dengan bagian atas
sedikit membesar dan tanpa penutup. Ada dua daun pintu yang saling mengiris dan
fleksibel untuk dibuka-tutup.
Entah mengapa setiap kali melewati tempat tersebut, ruang
tersebut selalu kosong. Bisa jadi memang saat itu sedang tak ada ibu menyusui,
bila ada pun sedang tak membutuhkannya. Aktivitas menyusui kadang tak bisa
dijadwalkan secara pasti. Tak heran saat kereta melaju, aktivitas tersebut baru
terlihat. Maka dengan segala cara, para
ibu berusaha melayani kebutuhan sang anak sambil menjaga adat kesopanan, walau
ada juga yang tak ambil pusing.
Apakah ini menjadi pertanda kabin tersebut tak terlalu
diperlukan? Mungkin dalam situasi serba tergesa mengejar kereta kurang terasa
manfaatnya, tetapi hemat saya pada intinya di ruang publik manapun fasilitas bagi
orang-orang berkebutuhan khusus seperti ibu menyusui amat diperlukan. Di negara
kita, ruang publik belum berpihak kepada mereka yang berkebutuhan khusus itu.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 27 April 2016.
Comments
Post a Comment