Tenis Kusayang, Tenis Indonesia-ku Malang
Yayuk Basuki saat meraih medali emas Asian Games 1998
(gambar Juara.Net)
Sebagai
pencinta olahraga, tenis menjadi salah satu cabang yang disukai. Walaupun tak
memiliki kemampuan sama sekali untuk bermain tenis, ditambah pengetahuan dasar
seadanya, sepak terjang olahraga tersebut hampir tak pernah luput dari
pantauan.
Walau
akhirnya saya harus jujur, pesona tenis manca negara jauh lebih memikat. Meski
sedikit terlambat, kiprah dan kompetisi antarpara petenis top dunia, baik putra
maupun putri sejauh dapat saya ikuti.
Turnamen-turnamen
tenis bergengsi, terutama level Grand Slam, hampir tak pernah luput dari
pantauan. Daya pikat kompetisi berkelas itu, mulai dari benua Australia
(Australia Open) di awal tahun, berlanjut ke benua Eropa (Prancis Open dan
Wimbledon) dan berakhir di Amerika (US Open) menjelang akhir tahun, begitu memikat.
Hadiah
menjanjikan, antusiasme penonton yang luar biasa, sarana prasarana tanpa
kekurangan sedikitpun, berpadu padan dengan pesona para petenis terbaik dari
seantero jagad. Mereka datang berkompetisi, berjuang menjadi yang terbaik. Dunia benar-benar disuguhkan atraksi yang
sempurna, sesempurna rupa sejumlah petenis jelita seperti Maria Sharapova yang
baru saja tersangkut doping, Sorana Cirstea, Ana Ivanovic, dan Elena
Dementieva-beberapa dari deretan petenis cantik versi majalah pria dewasa Maxim.
Belum lagi
hiburan gratis desahan Sharapova yang membuat imajinasi kaum adam menari ke
mana-mana. Atau teriakan menggelegar sebagai representrasi kegigihan si wanita tangguh Serena Williams. Meski hanya
sanggup menyaksikan lewat layar kaca, atraksi-atraksi tersebut sungguh
menghibur.
Sementara
di sektor putra, persaingan klasik antara Rafael Nadal dan Roger Federer selalu
menarik dinanti, sama memikat dan menggetarkan seperti laga El Clasico antara Real Madrid dan
Barcelona bagi para pencinta sepakbola, terutama La Liga.
Demikian
pun sepak terjang petenis Serbia, Novak Djokovic yang begitu digdaya, selalu
mengundang tanya di benak: siapa lawan yang bakal menjungkalkan dan
menggesernya dari puncak ATP? Pun rasa penantian yang sedikit nakal, kapan
Djokovic menemui kesudahan, atau setidaknya mengikuti riwayat Barcelona yang kini
mulai menurun?
Penantian
demi penantian serta perrtanyaan demi pertanyaan tersebut membuat tenis dunia
semakin menarik di mata saya. Walau sempat dihebohkan dengan kasus meldonium
yang menyeret Sharapova ke ujung karir, tenis tetap tak kehilangan pesona.
Lantas,
bagaimana tenis Tanah Air?
Sambil menarik
nafas panjang, patut diakui, tak hanya kehilangan pesona, prestasinya pun
setali tiga uang. Pada era 90-an, Indonesia memiliki Sri Rahayu Basuki, atau
karib disapa Yayuk Basuki. Wanita yang kini berusia 45 tahun itu menjadi salah
satu kebanggaan Indonesia.
Ia menjadi
satu-satunya petenis Indonesia dengan peringkat terbaik. Ia pernah berada di
urutan 19 WTA untuk kategori tunggal dan peringkat sembilan di sektor ganda.
Pada masa
jayanya, wanita asal Yogyakarta ini sukses merengkuh prestasi di tingkat dunia.
Sejumlah petenis top pada masa itu seperti Martina Hingis, Lindsay Devenport,
Anke Huber, Anna Kournikova, Mary Pierce, Gabriel Sabatini hingga Amelia
Mauresmo pernah ditaklukkan.
Wanita yang
pernah mengharumkan Indonesia di Asian Games 1998 di Bangkok, total merengkuh
enam gelar tunggal WTA Tour dan sembilan gelar ganda.
Setelah gantung
raket, satu-satunya anggota Eight Club (lembaga
yang menampung alumni delapan besar Wimbledon), yang kini menjadi politisi itu,
Indonesia masih memiliki Angelique Widjaja.
Wanita yang
akrab dipanggil Angie
mulai bersinar sejak menjadi juara Wimbledon Junior tahun 2001. Kelahiran Bandung,
31 tahun silam itu, membanggakan Indonesia saat menjadi tuan rumah WTA Tour. Sepanjang
2003 hingga 2004 kiprahnya di sektor ganda pun kemilau.
Seperti pendahulunya
Yayuk, sejumlah petenis top dunia pun pernah jadi korban. Beberapa dari
antaranya seperti Dinara Safina, Anna Kournikova, Patty Schnyder, hingga legenda kelahiran Amerika
Serikat, Tamarine Tanasugarn.
Di sektor
putra kita pernah memiliki Daniel Heryanto. Sayang, pria tersebut telah menjadi ‘milik’
Singapura dengan status permanent resident
yang dimiliki dan kini menjadi mengasah bibit-bibit muda Negeri Singa.
Setelah
masa Daniel, kita bergantung pada Christopher Rungkat. Walau prestasinya tak
secemerlang Yayuk atau Angie, pria yang kini berusia 26 tahun itu tetap menjadi
tulang punggung sektor putra.
Kemampuan yang
dimiliki petenis berdarah Belanda dan Kamboja itu tak bisa lagi diandalkan. Seperti
di sektor putri, perkembangan negara-negara lain sudah sedemikian jauh. Arena
Piala Fed Grup II Zona Asia Oseania yang baru saja berakhir menjadi bukti.
Sejak keikutsertaan
Indonesia di ajang tenis beregu wanita sejak 1969, tahun ini menjadi tahun
terburuk. Kekalahan demi kekalahan yang ditorehkan, pada gilirannya menempatkan
Indonesia di posisi kelima dari 11 peserta. Indonesia berada di belakang
Malaysia, Singapura dan Filipina yang berada di peringkat pertama.
Kapten tim
Fed Indonesia, Sri Utamingsih mengakui perkembangan pesat negara-negara
tetangga. “Mungkin Indonesia tidak mundur, namun yang sudah pasti adalah negara
lain di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Singapura dan
Malaysia sudah maju pesat meninggalkan Indonesia,”ucap Sri dikutip dari Kompas.com.
Perkembangan
negara tetangga yang sudah meninggalkan Indonesia diakui juga oleh Yayuk. “Terus
terang saya pas dengar kabar itu, hati saya patah sepanjang sejarah kita kalah
dari Singapura. Bukan tidak mau menerima Singapura bermain lebih bagus, tapi
ada apa ini? Kesalahan siapa ini? Itu yg lebih saya pikirkan, pemain dan
pelatih hanyalah prajurit dan juga korban akan ketidakbecusan dan
ketidakmampuan para pengurusnya,” ungkap Yayuk kepada INDOSPORT
usai Indonesia dibekuk Singapura 1-2.
Tak hanya
di ajang beregu itu, aroma kemunduran sudah tercium di arena SEA Games dalam
beberapa tahun terakhir. Alih-alih meraih medali, Indonesia tak lebih dari
penggembira (Kompas.com).
Maka,
sampai kapan keterpurukan ini dipelihara? Siapa yang harus mengambil tanggung
jawab untuk mengembalikan kejayaan tenis Indonesia?
Apa perlu
seperti kata penyanyi Ebiet G.Ade, kita bertanya kepada ‘rumput yang bergoyang’?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 18 April 2016.
Comments
Post a Comment