Antonio Conte untuk Chelsea, Orang Benar di Tempat yang Tepat?
Ilustrasi Dailymail.co.uk
Demikian
pertanyaan yang menggema menyusul penunjukkan Antonio Conte sebagai pelatih
Chelsea mulai musim depan. Pria 46 tahun itu akan berada di kursi pelatih The
Blues hingga tiga musim ke depan, tepatnya setelah menemani timnas Italia di
Euro 2016.
Di jagad
kepelatihan, nama manajer kelahiran Lecce itu tak perlu diragukan lagi. Kecemerlangannya
sebagai pemain menular saat menjadi pelatih di klub yang sama: Juventus. Sebagai
pemain Nyonya Tua (1991-2004), Conte sukses merengkuh Scudetto atau juara Serie
A lima kali (1995, 1997, 1998, 2002 dan 2003), Piala UEFA tahun 1993 dan Liga Champions tiga
tahun kemudian. Sementara saat duduk sebagai pelatih, eks manajer Arezzo, Bari,
Atalanta dan Siena itu berhasil mempersembahkan tiga gelar Serie A secara
beruntun sejak 2012.
Saat melatih
Juventus ini, tangan dingin Conte benar-benar terlihat. Ia mengambil alih
Bianconeri saat klub itu berada dalam situasi goyah, mendekam di tempat ketujuh
klasemen liga Italia. Perlahan tapi pasti ia mengangkat mental pemain dan
menerapkan strategi jitu hingga mencapai tangga juara di tahun yang sama.
Bahkan ia sukses mempertahankan kejayaan itu selama tiga musim secara
berturut-turut.
Kerja baik
pria kelahiran 31 Juli itu berlanjut saat dipercaya menangani timnas Italia
pada 2014. Conte membuktikan diri sebagai orang tepat dalam situasi yang tepat.
Keterpurukan mental dan performa Gli Azzurri di Piala Dunia Brasil pada tahun
yang sama berhasil dipulihkan.
Dengan kedisiplinan
dan indoktrinasi semangat memberi diri secara total, Conte berhasil membangun
kembali tim untuk menatap masa depan. Setidaknya, positif menatap turnamen
bergengsi berikutnya yakni Euro 2016. Tak tanggung-tanggung di bawah asuhan Conte,
Italia seperti mencapai titik balik yang signifikan. Gianluigi Buffon dan
kolega tak terkalahkan selama babak kualifikasi sekaligus menjadi salah satu
kandidat untuk menjadi juara Eropa.
Untuk
prestasi tersebut, kita patut mengangkat topi padanya. Namun karir selanjutnya
di tanah Inggris adalah sesuatu yang berbeda. Boleh jadi masih menjadi misteri
yang harus dipecahkan.
Conte datang
di tengah situasi Si Biru yang sedang meredup. Ditambah lagi Conte adalah orang
baru di sepakbola Inggris, walau ia bukan orang Italia pertama mengingat
sebelumnya Gianluca Vialli, Claudio Ranieri, Carlo Ancelotti, dan
Roberto di Matteo lebih dulu
menangani klub London Barat itu.
Terdepaknya
pelatih sekaliber Jose Mourinho dan tak dipermanen Guus Hiddink menjadi tanda
bahwa sang pemilik Roman Abramovic tak main-main dengan prestasi. Bahkan sejak mengakuisisi
Chelsea pada 2002, sudah ada 10 pelatih top yang datang dan pergi.
Pelatih
beken Leicester City saat ini, Claudio Ranieri hanya semusim di Stamford Bridge.
Nyaris melangkah ke final Liga Champions bila tak disikat Monaco tak mampu
menyelamatkan karirnya. Alhasil ia pun bergi dengan tak meninggalkan satu trofi
pun di lemari Chelsea.
Nafsu gelar
Abramovic tak juga berkurang. Ia pun kepincut pada Jose Mourinho yang
sebelumnya sukses menangani FC Porto dan Real Madrid. Tangan dingin Mourinho
berlanjut saat didaratkan di Inggris pada 2004. Ia sukses mempersembahkan dua
gelar Liga Inggris, Piala FA, dua gelar Piala Liga selama tiga tahun masa
kepelatihannya. Namun kegagalan mencapai final Liga Champions tetap
meninggalkan ‘noda’ di mata Abramovic. The Special One pun angkat kaki.
Bila
Mourinho saja harus terdepak, maka bukan hal aneh jika para penerusnya yakni
Avram Grant, Luis Felipe Scolari dan Andre Villas-Boas yang nir gelar bernasib
sama.
Demikianpun
dengan Guus Hiddink yang hanya mempersembahkan satu gelar (Piala FA musim
2008/2009), dan Carlo Ancelotti dengan gelar Liga Inggris dan Piala FA (musim
2009/2010).
Mimpi
Abramovic untuk menjadi juara Eropa sempat terwujud di masa kepelatihan Roberto
Di Matteo. Ditunjuk sebagai pelatih interim menyusul pemecatan Villas-Boas, pria
kelahiran Swiss itu berhasil mengawinkan gelar Liga Champions dan Piala FA di
musim pertamanya. Namun kegagalan mempertahankan konsistensi Chelsea membuatnya
hanya enam bulan menangani John Terry dan kolega.
Dua pelatih
berikutnya, Rafa Benitez dan Mourinho berhasil mendulang gelar. Sayang Benitez
tak berumur panjang di sana. Sebagai pelatih interim di sisa musim 2012/2013,
mantan pelatih Liverpool itu hanya mampu mempersembahkan gelar Liga Europa dan
membawa timnya finish di tempat keempat Liga Primer Inggris, sebelum akhirnya
angkat kaki juga.
Kembai
dipercaya sebagai pelatih, Mourinho hanya dua musim melatih. Setelah merengkuh
gelar Liga Primer Inggris dan Piala Liga (musim 2014/2015), performa timnya
terus menukik tajam. Bulan Desember tahun lalu, karirnya berakhir secara
menyakitkan. Ia dipecat dan meninggalkan timnya di ambang zona degradasi.
Sebagai manajer
sementara Hiddink belum juga menunjukkan kesuksesan. Rupanya peninggalan
keterpurukan Mourinho masih terlalu berat bagi mantan pelatih timnas Belanda
itu. The Blues hampir pasti tanpa gelar musim ini dan tengah berjuang bangkit
di pentas domestik. Abramovic pun tak ambil pusing, langsung menunjuk Conte
sebagai suksesor sejak musim depan.
Tanda tanya
besar pun menyeruak, apakah Conte akan bernasib sama seperti para pendahulunya?
Tentu, dalam sebuah klub sepakbola, sebagaimana telah terbukti selama ini, hal
seperti itu bukan tak mustahil terjadi. Namun, tak sedikit pelatih yang selalu
berada di jalur positif seperti yang ia torehkan di Juventus dan timnas Italia.
Conte masih
memiliki waktu berpikir dan merenungkan misi bersama The Blues. Sebelum mulai
menduduki ‘kursi panas’ di musim panas mendatang.
Berbagai perubahan
sudah pasti terjadi. Ia dikenal sebagai sosok yang fleksibel dengan permainan
modern. Bahkan ia digadang-gadang akan melakukan sejumlah ekperimen, termasuk
merubah pakem tim yang telah bertahan selama lima tahun terakhir. Di antaranya
dengan memainkan tiga pemain di lini belakang.
Relasinya
yang baik dengan sejumlah pemain bintang akan memuluskan langkahnya untuk
membangun tim impian. Dengan uang berlimpah sang pemilik, bukan tidak mungkin,
Conte akan mendatangkan Paul Pogba dari Juventus, gelandang Bayern Muenchen Arturo
Vidal, pemain AS Roma Radja Nainggolan, striker yang sedang gelisah bersama
Paris Saint-Germain Edinson Cavani serta bintang Napoli Gonzalo Higuain seperti
yang diidamkannya.
Termasuk menarik
kembali Romelu Lukaku dari Everton dan pemain pinjaman Roma dari Stutgart Antonio
Rudigier untuk mengisi lini belakang. Tak terkecuali memulangkan pemain yang
disebut-sebut menjadi biang hengkangnya Conte dari Juventus yakni Juan
Cuadrado.
Selain modal
sumber daya pemain, kerja keras, disiplin dan komitmen seperti yang dihidupi
selama ini amat diperlukan. Sudah pasti semangat yang sama akan merasuki tim. Dan mengganggu kemapanan para
pemain bengal seperti Diego Costa.
Akhirnya, kita
menanti kiprah Conte selepas putaran final Piala Eropa. Dengan bantuan lima
orang saudaranya Gianluca, Angelo Alessio, Massimo Carrera, Paolo Bertelli dan
Mauro Sandreani diharapkan Conte
bisa cepat beradaptasi, selanjutnya mampu menjawab pertanyaan apakah ia orang
benar di kursi pelatih Si Biru.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 8 April 2016.
Comments
Post a Comment